Pages

أهلا وسهلاعلى بلدي بلوق أن يفسر معنى في رحم الإسلام

Sabtu, 10 Desember 2011

"Konsep Ta’aruf & Pembentukan Keluarga dalam Islam"

Pada dasarnya manusia tertarik pada lawan jenisnya karena perasaan ingin bersama, berkenalan atau saling menukar informasi, dsb. Kondisi ini biasanya muncul ketika manusia melihat dan memandang lawan jenisnya yang berbeda dengannya; misalnya, keadaan fisik yang ayu, molek, cantik atau gagah, ganteng dan tampan. Hasil pandangan mata itu, kemudian menjadi hayalan manusia dengan kesimpulan pikiran; “bila”, “andaikata”, “seandainya” aku bersama dia, kan dapat curhat, berinteraksi dan berkomunikasi, sepertinya cukup menyenangkan hidup ini.


Konteks inilah lambat laun yang dilandasi niat baik untuk “memiliki” secara fisik seseorang dalam kehidupan akan berubah kepada keadaan yang bersifat psikologis, yaitu suka dalam bentuk suasana hati yang mendalam, cinta dan kasih sayang hingga berkomitmen untuk membentuk keluarga. Ketertarikan manusia terhadap manusia lain (laki-laki atau perempuan) dalam realitas adalah hal yang lumrah karena manusia adalah makhluk yang keinginan (homo volens), begitu pandangan kaum psikoanalisis.

Di sisi lain, para ahli –utamanya psikolog sosial– menemukan adanya “sifat tertentu” dalam diri manusia yang menyebabkan manusia tertarik kepada orang lain. Sifat tersebut biasanya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: pertama, faktor situasi, misalnya; kondisi geografis, lingkungan, budaya, bahasa, agama, dsb. Kedua, faktor kepribadian, seperti umur, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, harga diri, selera, dsb. Namun, dari sejumlah variabel yang berlainan tersebut dalam aplikasi interaksi sosial dan lain kasus di kehidupan ini dengan mudah dilanggar oleh individu sebagai akibat dari; daya tarik fisik, kedekatan, kemiripan dan keuntungan yang didapatkan individu yang bersangkutan.

Sementara perspektif Islam, melihat ketertarikan manusia terhadap manusia lain dalam rangka mengaplikasikan konsep hablumminannas dalam realitas, sehingga dapat memakmurkan bumi ini sebagai wujud pengabdiannya kepada Allah SWT tidak terputus. Hal ini sesuai dengan gharizah fithriyyah (naluri) pada manusia, dimana antara lawan jenisnya saling butuh membutuhkan untuk menumpahkan rasa kasih sayang, dan sekaligus sebagai realisasi penyaluran kebutuhan biologisnya. Untuk mengarah kepada tujuan ini, maka manusia tertarik untuk mengenali lebih jauh orang lain sehingga merasa cocok dan puas dalam membentuk ikatan pernikahan. Karenanya selaras dengan konteks tersebut, tulisan ini hendak mendiskusikan konsep ta’aruf hingga pembentukan keluarga menurut analisis psikologi Islam.

Pemahaman mengenai istilah ta’aruf hanya dikenal dalam sistem pendidikan Islam, yaitu ta’akhrafa –ya’krifu–ta’aruf, yang artinya: mengenal, saling mengenal, hendak mengetahui atau melakukan pendekatan hubungan (Louis Ma’luf, 1986). Berpijak pada makna ini, maka konsep ta’aruf adalah suatu pendekatan hubungan yang dilakukan manusia untuk saling kenal mengenal (Mahmud Yunus, 1989). Konsep ta’aruf merupakan suatu proses perkenalan antara dua insan yang dibingkai dengan akhlak yang benar, yang di dalamnya ada aturan main yang melindungi kedua pihak dari pelanggaran berperilaku atau maksiat (Jundy/Majalah Izzah, No. 30/Th. 3, 19 Juli—18 Agustus 2002 ).

Bermuara pada pandangan ini, maka konsep ta’aruf dapat dimengerti sebagai konteks operasional islamis nan uptudate yang menggantikan kata “pacaran” dalam mengenal calon pasangan sebelum membentuk keluarga. Analogi konteks ini, merupakan suatu jalan yang ditempuh manusia dalam upaya saling kenal mengenal antara sama lain sebelum menikah. Kebermaknaan konsep ta’aruf dalam ajaran agama Islam diawali dengan usaha saling mengenal antar satu sama lain, meskipun berbeda bahasa, suku, dan bangsa. Firman Allah SWT dalam al-Qur’an berbunyi:

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al Hujaraat: 13)

Sesuai dengan firman Allah SWT ini, sesungguhnya manusia dapat mengambil pelajaran yang berharga bahwa usaha dan dorongan untuk saling berinteraksi, berkomunikasi dan membentuk pergaulan diantara sesama adalah usaha konsep ta’aruf dalam berbagai dimensi pengertian, baik dalam memperkokoh ikatan persaudaraan antar manusia, membentuk tali silaturrahmi, memperbanyak sahabat maupun dalam membina hubungan erat untuk membentuk keluarga. Selain itu, penjelasan al-Qur’an dalam surat Al-Hujaraat ayat 13 tersebut, juga perintah agar manusia dapat merealisasikan konsepsi hablumminannas dipermukaan bumi ini.

Keadaan yang demikian memang sengaja diatur dan dikehendaki oleh Allah SWT, agar dengan cara tersebut keberlanjutan hidup dan kehidupan umat manusia tidak terputus ditelan zaman dan tidak punah di makan waktu sampai pada saat Yang Maha Kuasa Pencipta jagad raya ini menghendaki berakhirnya kehidupan ini (kiamat). Namun, bagaimana metode aplikasi konsep ta’aruf yang digariskan Islam, tentu saja melalui jalan yang benar dan lurus yang berlandaskan pada sikap hidup, perilaku dan tindakan yang baik dan mulia (akhlakul karimah).

Dengan cara ini kehidupan keluarga yang akan dibentuk dapat merefleksikan wujud keta’atan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Khusus terkait dengan usaha manusia untuk membentuk keluarga, aplikasi konsep ta’aruf akan sangat memainkan peranan penting dalam kehidupan pribadi muslim sehingga kesimpulan akhir yang diambil masing-masing pihak dapat dijadikan key word dalam perjalanan kehidupan keluarga ke depan.

Sumarjati Arjoso (Sanusi, et.all, 1996), menggambarkan beberapa hal penting yang perlu diwacanakan dalam perkenalan melalui konsep ta’aruf sebelum mengambil keputusan untuk menikah, yaitu;
(1) perkenalan tentang diri pribadi masing-masing,
(2) mengenal keluarga calon pasangan,
(3) mengenal seks (dalam artian kesehatan dan kesucian kehormatan) calon pasangan,
(4) mengenal cita-cita kehidupan pasangan dan mengenal agama (keyakinan) yang dianut oleh calon pasangan, serta
(5) mengenal adat istiadat dan kebudayaan calon pasangan.

Lebih jauh, Sumarjati Arjoso (Sanusi, et.all, 1996) memberi alasan bahwa topik-topik tersebut dimentalkan karena suatu perkawinan bukan semata-mata memadukan jiwa dan tubuh dua insan yang berbeda jenis saja dalam rangka menyalurkan kebutuhan biologis atau hidup bersama, namun juga menyangkut suatu rangkaian tali hubungan antara anggota keluarga besar dan jaringan yang lebih besar lagi, yakni masyarakat. Dalam bahasa berbeda, KH Rahmad Abdullah, menyatakan bahwa dengan saling kenal mengenal calon oleh masing-masing pasangan secara mendalam, maka pengertian, pengetahuan dan keputusan untuk menyatu dalam suatu ikatan suci (pernikahan) akan menjadi bermakna sebagai bagian dari ibadah untuk menjalankan perintah agama (Majalah Izzah, No. 30/Th. 3, 19 Juli—18 Agustus 2002).

Di sisi lain, perlu diketahui juga bahwa ta’aruf bukan satu-satunya harga mati bagi seseorang untuk melangsungkan perkawinan, namun konsep ta’aruf akan memberi alternatif bagi seseorang agar dapat mengenali dan mengetahui kepribadian, adat istiadat, latar belakang budaya, kondisi sosial ekonomi, tujuan pembentukan keluarga atau keadaan keluarga masing-masing pasangan sehingga keputusan final untuk menikah tidak menjadi beban mental di kemudian hari. Proses pengenalan yang diajarkan oleh ta’aruf tidak ada paksaan dan pemaksaan, yang ada adalah realitas dan kenyataan. Bila sesuai atau cocok dilanjutkan ke jenjang pernikahan, dan bila tidak merasa cocok tidak menjadi suatu hinaan yang menyebabkan pasangan merasa malu atau dipermalukan.

Dalam penerapannya, bagaimana konsep ta’aruf dilaksanakan untuk mencapai suau hasil yang bermakna dan bernilai ibadah? Secara historis dan praktik ta’aruf tidak memiliki aturan operasional yang disepakati bersama oleh para ulama dan masyarakat muslim, yang ada adalah bagaimana batasan-batasan esensial yang disepakati sehingga tidak menyalahi hukum agama dan hukum sosial. Dalam praktik ta’aruf yang sering terjadi di realitas masyarakat muslim memiliki banyak variasi model aplikasi (graduasi model ta’aruf), seperti perkenalan melalui sahabat, pengawasan orang tua atau orang kepercayaan keluarga pasangan, pertemuan sendiri tanpa disengaja, berkenalan melalui suatu kegiatan sosial, perjodohan, dan lain sebagainya.

Karenanya dengan aplikasi konsep ta’aruf yang benar sesuai anjuran Islam diharapkan manusia dapat menggapai suatu pengertian bahwa perkawinan adalah benar-benar suatu ikatan suci dalam mengembangkan kehidupan umat manusia dipermukaan bumi ini. Selain itu, juga akan memberi tawaran pada masing-masing calon untuk memahami, menilai, dan menganalisis secara objektif dan subjektif sehingga kesiapan untuk menerima pasangan menjadi pilihan yang tepat. Proses perkenalan yang dilakukan sebetulnya bertujuan untuk saling mengetahui sejauhmana kesungguhan niat masing-masing pihak untuk berkeluarga, mengenal kepribadian antar pasangan dan menjaga hubungan persaudaraan di antara sesama muslim. Karena itu, nilai-nilai ta’aruf yang berlandaskan pada konteks ajaran Islam akan membuka wacana dan wawasan baru bagi setiap pasangan bahwa perkawinan adalah bukanlah kehidupan sesaat, namun kehidupan yang penuh tanggung jawab selama hayat dikandung badan.

0 komentar:

Posting Komentar