Pages

أهلا وسهلاعلى بلدي بلوق أن يفسر معنى في رحم الإسلام

Kamis, 18 April 2013

TANTANGAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA


AGAMA
a. Definisi
    Agama diturunkan di bumi ini bertujuan untuk menciptakan suatu kedamaian dan ketentraman. Agama tidak pernah ada cita-cita ingin membuat suatu keonaran, ketakutan, suasana mencekam, pembunuhan, sadisme, dan perusakan. Sebelum adanya agama, manusia dibayangkan sebagai kelompok tak beraturan, suka berkonflik, saling membunuh, saling menjelekkan antara satu dengan yang lainnya, dan seterusnya. Kemudian, agama datang dengan membawa suatu cahaya kedamaian bagi manusia di bumi ini.[1]

    Secara sederhana, pengertian agama dapat dilihat dari sudut kebahasaan (etimologis) dan sudut istilah (terminologis). Mengartikan agama dari sudut kebahasaan akan terasa lebih mudah daripada mengartikan agama dari sudut istilah dikarenakan pengertian agama dari sudut istilah ini sudah mengandung muatan subjektivitas dari orang yang mengartikannya.[2]
    Oleh karena itu, kita harus menyadari bahwa perumusan suatu pengertian agama bukan suatu perkara yang mudah seperti halnya para tokoh ahli jiwa agama (Mukti Ali, M. Sastrapratedja) yang merasa kesulitan dalam mengartikan ataupun mendefinisikan tentang agama. Dan ketidak sanggupan manusia untuk mendefinisikan agama disebabkan oleh persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kepentingan mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Karena itu, tidak mengherankan jika secara internal muncul pendapat-pendapat yang secara apriori menyatakan bahwa agama itu terdiri dari dua macam, adakalanya Agama Samawi dan Agama Wad’i (Agama Bumi).[3]
    Pengertian agama dari segi bahasa, terdapat uraian yang akan dijelaskan oleh beberapa ahli ; misalnya, menurut Harun Nasution bahwa, “selain kata agama masyarakat juga mengenal dengan kata din (دين) yang berasal dari bahasa Arab dan religi dalam bahasa Eropa”.[4]
   Din dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum-hukum. Dalam bahasa Arab kata tersebut berarti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, dan kebiasaan. Pengertian ini juga sejalan dengan istilah kandungan agama yang di dalamnya terdapat peraturan-peraturan yang merupakan hukum yang harus dipatuhi oleh penganut agama yang bersangkutan. Dalam kandungan tersebut juga terdapat bahwa agama juga menguasai diri seseorang dan membuat ia tunduk patuh kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama.
    Sedangkan, kata religi itu berasal dari bahasa latin. Menurut Harun Nasution, kata religi berasal dari kata relegere yang mengandung arti mengumpulkan dan membaca. Dari pengertian tersebut sejalan dengan isi kandungan agama yakni kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi, dari pendapat lain mengatakan religere berarti mengikat. Memang ajaran-ajaran agama itu mempunyai sifat mengikat kepada manusia, begitu pula mengikat manusia dengan Tuhan.
    Dari beberapa definisi di atas, Harun Nasution menyimpulkan bahwa agama merupakan ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi oleh manusia. Ikatan tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan manusia sehari-hari dikarenakan ikatan tersebut berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Satu kekuatan ghaib yang tak dapat ditangkap oleh pancaindera.
   Beberapa acuan yang lain yang berkaitan dengan kata “Agama” yakni definisi berdasarkan bahasa Sansekerta yang menunjukkan adanya keyakinan manusia berdasarkan Wahyu Illahi yakni dari kata A-GAM-A, awalan A berarti “tidak” dan GAM berarti “pergi atau berjalan, sedangkan akhiran A bersifat menguatkan yang kekal, dengan demikian “agama berarti pedoman hidup yang kekal”.[5]

b. Ajaran-ajaran Agama
    Dalam ajaran-ajaran agama, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya :
1. Agama hadir bersama ajarannya yakni mampu memasuki ruang-ruang budaya lokal dengan berinteraksi dan beradaptasi tanpa mereduksi esensi ajarannya. Di situ tampak jelas tentang salah satu ajaran agama bahwa, kebudayaan dimanfaatkan oleh agama, dan di situ juga terjadi proses penyesuaian antara kebudayaan dan agama.[6]
2. Manusia diciptakan dengan berbagai ragam bangsa, ras, suku, agama, dan budaya adalah untuk saling kenal-mengenal. Di situ tampak jelas bahwa, agama mengajarkan dalam hal kedamaian dan persatuan, meskipun banyak perbedaan.[7]

TANTANGAN-TANTANGAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
    Kita sadari bahwa, untuk menghayati hakikat dari kerukunan umat beragama masih merupakan tanda tanya besar. Banyaknya serangkaian peristiwa kekerasan dan kerusuhan yang dilatarbelakangi perbedaan SARA yang masih saja mewarnai bangsa Indonesia. Sebagian dari kita begitu mudah terprovokasi oleh isu. Dan melahirkan tindakan yang bersifat anarkis dan dekstruktif. Pluralisme yang terjadi di masyarakat Indonesia cenderung melahirkan gesekan dan pertentangan. Pertentangan yang seharusnya menjadi alasan terciptanya harmonisasi kehidupan, justru menjadi alasan utama pertumpahan darah. Bahkan, perbedaan menjadi alasan legalisasi penindasan.[8] Setelah melihat beberapa permasalahan di atas, maka kami mencoba memberikan deskripsi teoritis-praktis tentang tantangan-tantangan yang harus diperhatikan serta solusi yang bisa digunakan ketika pluralisme akan diterapkan di Indonesia, sebagai berikut :
a. Kemajemukan Agama (Pluralisme)
    Pluralisme menawarkan sesunatu yang baru, yang dianggap oleh banyak kalangan sebagai tahapan lanjutan dari inklusivisme. Pluralisme makin memperjelas dan meyakini adanya perbedaan dalam agama-agama. Bila dalam inklusivisme diniscayakan adanya pemahaman tentang yang lain yang mana selalu ada dimensi kesamaan substansi dan nilai, tetapi dalam pluralisme justru mengakui adanya perbedaan-perbedaan. Pluralisme dianggap sebagai lompatan praksis (praktik) dari sekedar inklusivisme pemahaman keagamaan. Pluralisme telah menjadi realitas dan agama-agama itu sendiri. 
   Namun, meskipun demikian pluralisme telah menimbulkan pro-kontra, terutama dikalangan agamawan. Yang paling mutakhir, Majelis Ulama’’ Indonesia (MUI) mengeluarkan sebuah fatwa, bahwa pluralisme hukumnya adalah haram. Alasan yang digunakan adalah pandangan bahwa pluralisme merupakan paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Pluralisme juga mengajarkan bahwa setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan, bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
    Adapun dalil keagamaan yang digunakan untuk mengharamkan pandangan tersebut, antara lain : perihal keyakinan, bahwa Islam adalah agama yang paling benar (Q.S. : Ali ‘Imran [3], 19); agama selain Islam tidak akan diterima tuhan di hari akhir nanti (Q.S. : Ali ‘Imran [3], 85); realitas perbedaan agama (Q.S. : Al- Kafirun [109], 7); perintah untuk memerangi mereka yang memerangi umat Islam (Q.S. : Al Mumtahinah [60], 9) dan tidak ada pilihan kecuali apa yang telah ditentukan oleh Allah dan rasul-Nya (Q.S. : Al Ahzab [33], 36). Disamping itu, ada hadits-hadits yang berkaitan dengan hubungan antara umat Islam dengan yahudi dan kristen pada masa nabi Muhammad SAW.
    Tantangan terhadap pluralisme yang lain dikemukakan oleh Diana L. Eck, Pimpinan Pluralism Project, Harvard University memberikan pemahaman terhadap pluralisme yang relatif distingtif. Setidaknya ada tiga poin penting yang terkandung dalam pluralisme.
Pertama, pluralisme adalah keterlibatan aktif (active engagement) di tengah keragaman dan perbedaan.[9] Jadi, Pluralisme, dalam hal ini, secara nyata memberikan pesan penting, bahwa yang direkomendasikan oleh pluralisme adalah model toleransi aktif. Yaitu toleransi yang tidak hanya sekadar mengakui perbedaan dan keragaman, tetapi lebih dari itu juga menjadikan perbedaan sebagai potensi untuk bekerja sama dan berdialog untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi umat manusia. Pluralisme hakikatnya bukan hanya sekadar memahami keragaman dan pluralitas, melainkan meningkatkan asimilasi dan partisipasi aktif disemua level masyarakat.
Kedua, pluralisme lebih dari sekadar toleransi. Dalam toleransi akan lahir sebuah kesadaran tentang pentingnya menghargai orang lain. Tetapi pluralisme melampaui capaian tersebut, yaitu menjadi sebuah upaya memahami yang lain melalui sebuah pemahaman yang membangun. Artinya, karena perbedaan dan keragaman merupakan hal yang nyata, maka yang diperlukan adalah pemahaman yang baik dan lengkap tentang yang lain. Harus diakui bahwa setiap entitas dalam masyarakat selalu mempunyai perbedaan dan persamaan. Karena itu, setiap entitas tersebut harus memahami dengan baik dan tepat tentang perbedaan dan persamaan tersebut.
Ketiga, pluralisme bukanlah relativisme.[10] Pluralisme adalah upaya menemukan komitmen bersama diantara berbagai komitmen. Setiap agama dan ideologi mempunyai komitmen masing-masing. Namun, dari sekian komitmen yang beragam tersebut dicarikan komitmen bersama untuk memfokuskan perhatian pada upaya kepentingan bersama, yaitu kemanusiaan. Oleh karena itu, pluralisme sangat berbeda dengan relativisme yang menafikan pentingnya upaya membangun komitmen bersama diantara berbagai komunitas masyarakat.

b. Islam Radikal
    Teori sosiologi Ibn Khaldun terkenal dengan teori ‘ashabiyyah, yang merupakan inti dari organisasi sosial. ‘Ashabiyyah mengikat kelompok-kelompok menjadi satu melalui sebuah bahasa, budaya dan peraturan. Ketika masyarakat secara sadar berusaha mendekati perilaku yang ideal, masyarakat berfungsi secara normatif dan merupakan satu kesatuan. Dengan ‘ashabiyyah masyarakat menjalankan peran utamanya untuk secara utuh mewariskan nilai-nilai kepada generasi sesudahnya. ‘Ashabiyyah dimiliki oleh masyarakat tradisional tetapi selama bertahun-tahun dihancurkan oleh masyarakat urban (urban society).[11]
   Wilfred Cantwell Smith menilai tentang permasalahan pluralisme di kalangan ahli studi agama khususnya di barat modern, adalah karena mereka ini memandang agama sebagai sesuatu yang mutlak, tidak berubah.[12] Pemutlakan agama ini telah menghalangi bertambah dan berkembangnya sifat tradisi keagamaan. Smith mengatakan bahwa berbagai macam agama tidak pernah berbeda secara entitas. Dalam bentuk instrumentalnya, agama-agama secara pasti meminjam dan berhubungan dengan satu sama lainnya. Kitab suci, bentuk dan praktik agama Barat yang berbeda dalam fungsi instrumennya tidak pernah menembus pengalaman pemeluknya. Kitab Taurat, Perjanjian Baru, dan al-Qur’an tidak pernah menembus dan di tinggalkan sebagaimana yang terjadi dalam agama Hindu dan Budha. Tetapi meskipun fungsi instrumental ini tidak sepenuhnya bisa menembus, kitab suci dalam agama Barat masih berfungsi sebagai instrument atau alat untuk mencapai wahyu Tuhan. Dalam hal yang sama, meskipun agama Barat berbeda dalam penerimaan dan penggunaan teologi, sholat, do’a, serta pelaksanaan sakramen, setiap agama menggunakannya sebagai alat untuk mentaati dan mencari berkah tuhan. Oleh karena itu jelas apa yang biasanya dipandang sebagai inti dari berbagai agama adalah sebenarnya koleksi tertentu dari alat instrumental untuk mencapai Yang Esa. Memahami cara seperti ini, maka berbagai agama tidak perlu diperlakukan sebagai sesuatu yang tidak bisa berubah tetapi sebagai tradisi instrumentalitas keagamaan yang sedang berkembang. Yang disebut Absolut dan tidak bisa berubah itu hanyalah Yang Esa bukan yang banyak.[13]
    Fenomena terorisme sebagai manifestasi (wujud) dari gerakan radikalisme juga dapat dijelaskan secara luas dan lengkap dengan menggunakan kerangka teori ilmu-ilmu sosial. Dalam hal ini, teori-teori sosial dapat memberikan penjelasan yang berhubungan terhadap terorisme, misalnya dengan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang dan karakteristik gerakan terorisme. Penjelasan mengenai latar belakang munculnya terorisme dapat dirujuk pada pandangan beberapa ahli, yang dapat disimpulkan menjadi tiga kategori teoretis: struktural, psikologi, dan pilihan rasional.[14] Teori-teori struktural menjelaskan sebab-sebab terjadinya terorisme dalam konteks lingkungan, politik, sosial-budaya, dan struktur ekonomi masyarakat. Teori psikologis secara spesifik mempertanyakan mengapa individu/kelompok masyarakat begitu mudah tertarik bergabung dengan organisasi teroris.[15] Sementara teori pilihan rasional dapat menjelaskan tingkat partisipasi di dalam organisasi teroris dan pilihan menempuh jalan terorisme melalui penjelasan kalkulasi untung rugi.
    Mengenai persoalan karakteristik terorisme sebagai wujud radikalisme dari individu/kelompok yang berideologikan fundamentalisme, dapat dijelaskan diantaranya dengan merujuk pada pendapat Dekmejian. Menurutnya, terdapat tiga karakteristik utama gerakan fundamentalisme, yakni: merata/menyeluruh, memiliki banyak pusat, dan bersifat terus menerus.[16]
    Menurut Dr. Yusur Al-Qardlawi[17], menyatakan bahwa buku/karya pendukung dari aliran radikal ini, secara garis besar berkisar pada beberapa pemikiran, sebagai berikut :
  1. Interprestasi konspiratif atas sejarah yang memperhadapkan Barat vis-avis Islam. 
  2. Perang pemikiran (Al-ghazw al-fikri) atau tentang pemikiran asing dan paparan bahwa penerimaan terhadap peradaban “yang lain” (Al-Akbar) akan mendukung imperialisme. 
  3. Mengagungkan diri sendiri (narsisisme) yang berlebihan dalam berbicara tentang umat Islam serta penegasan bahwa umat Islammerupakan guru bagi seluruh umat manusia.
  4. Pembahasan yang dangkal mengenai teologi, ideologi, dan aliran-aliran lain seperti Yahudi, Nasrani, liberalisme, demokrasi, marxisme, dan sosialisme. Kelompok ini enggan membaca dan cukup puas dengan “mendengar”. Pendengaran menurut mereka menempati posisi teratas dalam kebiasaan menuntut ilmu.
  5. Seluruh yang dikemukakan mereka selalu bersifat dogmatis, tidak berubah, tidak memberikan peluang untuk diragukan atau dipertanyakan serta selalu benar dari sisi apapun. 
  6. Mengemukakan nash-nash yang tidak ada hubungannya dengan tema pembahasan setelah memelintir nash-nash tersebut, mengamputasi konteksnya, dan menutup mata terhadap “Asbabun Nuzul dan Asbabul Wurud” dalam kasus Al-Qur’an dan Al-Hadits. 
  7. Bersikap keras dalam membicarakan “yang lain”, cenderung merendahkan mereka dan tidak jarang menggunakan ungkapan yang tidak pantas. 
  8. Penegasan bahwa peradaban Barat adalah peradaban materialisme. 
  9. Membahas dan menulis seluruh disiplin ilmu baik ekonomi, sosial, komunikasi, pers, politik, pendidikan, dan kemiliteran.
SOLUSI MENGHADAPI TANTANGAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI INDONESIA
   Harus kita sadari bersama, pluralisme adalah sebuah rahmat dari Tuhan yang harus kita syukuri, karena adanya perbedaan-perbedaan tersebut kita bsia lebih memberikan proses pembelajaran dan refleksi diri. Maksudnya, melalui perbedaan, kita bisa saling memberi dan saling menerima, saling asah, asih, dan asuh yang disertai dengan semangat persaudaraan yang tinggi dalam bingkai Indonesia.[18] Oleh karena itu, setelah kita mengetahui bahwa pluralisme adalah sebuah rahmat, maka solusi dalam menghadapi tantangan kerukunan umat beragama di Indonesia demi tercapainya sebuah rahmat, diantaranya :
a. Menjalin Kerukunan Umat Beragama
    Zuhriyah, dalam Resolusi Konflik Islam Indonesia[19] memberikan pernyataan tentang kerukunan umat beragama, menurut beliau kerukunan beragama adalah perihal hidup rukun yaitu hidup dalam suasana baik dan damai, tidak bertengkar, bersatu hati, dan bersepakat antar umat yang berbeda-beda agamanya, atau antar umat dalam satu agama. Dalam terminologi yang digunakan pemerintah secara resmi, konsep kerukunan intern umat beragama mencakup tiga kerukunan (tri kerukunan), yaitu kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat yang berbeda agama, dan kerukunan antar umat dan pemerintah. akan tetapi kebijakan tersebut masih dalam hegemoni pemerintah tanpa ada upaya menggali partisipasi masyarakat untuk menegakkannya. Silaturrahmi antar pemuka agama dan pemerintah lebih dinilai sebagai dukungan politik kepada pemerintah daripada pengembangan masyarakat beragama. Hal ini dikemukakan karena banyak tokoh agama yang sebenarnya memiliki akses kemasyarakat bawah tidak diperhatikan pemerintah, Selain itu, proses silaturrahmi lebih sering dilakukan dengan kedatangan tokoh agama kepada pemerintah, sehingga hal itu menunjukkan adanya hegemoni pemerintah atas kehidupan beragama.
   Sedangkan menurut Ubaidilah[20], menjelaskan tentang konsep toleransi umat beragama sebagai berikut : Manusia diciptakan dengan berbagai ragam bangsa, ras, suku, agama, dan budaya adalah untuk saling kenal-mengenal. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam surat Al-Hujuraat ayat 13 Juz 26:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ.
Artinya : “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu, disisi Allah, ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.(QS. Al – Hujuraat : 13).

   Allah tidak pernah melarang umat manusia untuk hidup berdampingan, rukun saling mengasihi dan menghormati. Meskipun dengan orang yang berbeda agama. Hal ini dijelaskan dalam al Qur’an dalam surat al-mumtahanah : 08-09 yang berbunyi sebagai berikut :[21]
لَايَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ وَأُخْرِجُوْكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلى إِخْرَاجُكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُلَئِكَ هُمُ الظَّلِمُوْنَ (9). (سورة الممتحنة : 8-9)

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama, dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah: 08-09)
 Rasulullah SAW juga memerintahkan kita untuk saling mengasihi dan menyayangi antar sesama, meskipun berbeda agama, ras, suku, bangsa, dan budaya. Seperti yang diterangkan dalam hadist shahih yang di riwayatkan oleh Imam Thabrani dalam kitab Mujamma’ az-Zawaid sebagai berikut :[22]
    Artinya: “Dari Abi Musa ra. sesungguhnya dia mendengar bahwa Nabi Muhammad SAW berkata: Tidak dikatakan orang beriman diantara kamu sekalian, sehingga kalian saling mengasihi atau menyayangi. Sahabat berkata: Wahai Rasulullah kita semuanya (komunitas sahabat) sudah saling mengasihi. Rasulullah bersabda: Sesungguhnya kasih sayang itu bukan hanya diantara kamu saja, tetapi kasih sayang kepada seluruh umat manusia dan alam semesta.” (HR. Thabrani, hadits shoheh. Mujamma’ Az Zawaid hal: 340 juz: 8).
    Begitu besar dan luas cerminan sikap kasih sayang yang diajarkan kepada manusia, tidak hanya untuk golongannya sendiri, tetapi untuk seluruh makhluk di muka bumi ini. Sebagaimana diterangkan dalam hadist Nabi yang lain yang diriwayatkan oleh at-Thabrani sebagai berikut:[23]

Artinya: “Nabi Muhammad bersabda “Tebarkanlah kasih sayang kepada semua orang maka engkau akan dikasihi seluruh makhluk langit (para malaikat).” (HR. At-Thabrani dalam kitab Jami’ as-Shaghir).
   Sikap teposeliro yang merupakan nilai-nilai ajaran Islam yang begitu mulia juga ditunjukkan oleh tokoh dunia, yaitu Sayyidina Umar Bin Khattab ra. terhadap Uskup Sophronius dihadapan kaum nasrani dan muslim di Baitul Maqdis Yerussalem. Pertemuan kedua tokoh besar tersebut menghasilkan sebuah piagam perdamaian yang dikenal dengan perjanjian Aelia yang berbunyi;[24]
“Inilah perdamaian yang diberikan oleh hamba Allah ‘Umar Amirul Mukminin, kepada rakyat Aelia : dia menjamin keamanan diri, harta benda, gereja-gereja, salib-salib mereka, yang sakit maupun yang sehat, dan semua aliran agama mereka. Tidak boleh mengganggu gereja mereka baik membongkarnya, mengurangi, maupun menghilangkanya sama sekali, demikian pula tidak boleh memaksa mereka meninggalkan agama mereka, dan tidak boleh mengganggu mereka. Dan tidak boleh bagi penduduk Aelia untuk memberi tempat tinggal kepada orang Yahudi”.

   Setelah itu, di depan The Holy Sepulchure (Gereja Makam Suci Yesus) Uskup Sophronius menyerahkan kunci kota Yerussalem kepada kholifah Umar Bin Khattab ra. Kemudian Syayidinah Umar minta diantarkan ke suatu tempat untuk menunaikan sholat. Akan tetapi oleh Uskup Sophronius, beliau diantarkan ke dalam gereja. Tetapi Umar menolak penghormatan tersebut sembari mengatakan bahwa dirinya khawatir hal itu akan menjadi suatu dasar bagi kaum muslimin generasi berikutnya untuk mengubah gereja-gereja menjadi masjid. Akhirnya, Umar melaksanakan sholat (munfaridan) diluar atau diteras gereja tersebut. Hal ini dijelaskan dalam kitab Samahatul Islam Hal. 34 – 37.[25]
     Budha Gautama[26] menjelaskan dalam kitab Kalama Sutta tentang perlunya analisis rasional sebagai prasyarat penerimaan sebuah ide/ konsep/ ajaran/ agama yang pada gilirannya dapat memperkuat penerimaan ide/ konsep/ ajaran/ agama tersebut sebagai berikut:

“Jangan percaya begitu saja, hanya karena engkau telah mendengarnya atau mengetahuinya dari buku-buku agama. Jangan percaya begitu saja pada tradisi, hanya karena itu telah dijalankan turun-temurun. Tetapi setelah engkau membuktikan dan menelitinya, mendapatkan bahwa hal itu beralasan serta membawa kebaikan dan manfaat bagi seseorang dan semua makhluk, terimalah dan gunakanlah.”

   Tampak dari kutipan di atas, sebuah proses experiential learning (pembelajaran melalui cara mengalami sendiri sesuatu) sangat diperlukan untuk memperkuat keyakinan diri seseorang terhadap suatu agama dan keyakinan. Selanjutnya, keputusan seorang individu dalam meyakini sebuah agama, keyakinan dan tradisi kultural seperti tersebut di atas tidak hanya menyangkut hak pribadi dari individu tersebut. Melainkan, ia juga harus mempertimbangkan berbagai dampak keputusan tersebut sehingga tetap dapat menjaga kedamaian, atau paling tidak ia dapat meminimalkan dampak kerugian terhadap berbagai pihak lain pada tingkat kolektif atau komunitas luas.

b. Menerapkan Toleransi Terhadap Perbedaan
    Ubaidilah[27], menjelaskan tentang toleransi terhadap perbedaan, menurut beliau dalam tradisi ulama’ Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru, apalagi dapat dianggap tabu. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama’ Islam yang disusun khusus untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan berbagai pandangan yang berbeda-beda dengan argumentasinya masing-masing, Untuk bidang hukum Islam, misalnya. Kita bisa melihat kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah. Pada terbitannya yang terakhir, kitab ini dicetak 15 jilid. Kitab ini dapat dianggap sebagai ensiklopedi berbagai pandangan dalam bidang hukum Islam dalam berbagai mazhabnya. Karena Ibnu Qudamah tidak membatasi diri pada empat mazhab yang populer saja. Tapi ia juga merekam pendapat-pendapat ulama’ lain yang hidup sejak masa sahabat, tabi'in dan tabi' tabi'in. Contoh ini berlaku pada semua disiplin ilmu Islam yang ada. Tidak terbatas pada ilmu hukum saja, seperti yang umumnya kita kenal, tapi juga pada tafsir, ulumul qur'an, syarh hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa'id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.
     Penguasaan terhadap perbedaan pendapat ini bahkan menjadi syarat seseorang dapat disebut sebagai mujtahid atau ahli dalam ilmu agama. Orang yang tidak memiliki wawasan tentang pandangan-pandangan ulama’ yang beragam beserta dalilnya masing-masing, dengan begitu, belum dapat disebut ulama’ yang mumpuni di bidangnya. Yang menarik, dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama’-ulama’ Islam, terutama yang diakui secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Al Qur'an dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia. Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah subhanahu wata'ala. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk diikuti. Dalam hal pluralitas pendapat, Imam Syafi’I pun pernah mengungkapkan pendapatnya yang populer hingga saat ini, yang berbunyi; “Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.”
  Dalam kerangka yang sama, Imam Ahmad bin Hambal pernah berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara dikeraskan bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan dengan mazhab Ahmad bin Hambal sendiri yang menyatakan bahwa yang dianjurkan bagi orang yang shalat adalah mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan Ahmad demi menghormati paham ulama’-ulama’ di Madinah, waktu itu, yang memandang sebaliknya. Sebab, menurut ulama’-ulama’ Medinah itu, orang yang shalat, lebih utama bila ia mengeraskan bacaan basmalahnya.[28] Misalnya, dalam menanggapi perbedaan berbagai metode pembelajaran al Qur’an. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Shohih Bukhori jilid 03 hal 400-401 sebagai berikut :[29]
Artinya: ”Sa’ad bin Uffair bercerita kepadaku (Imam Bukhori) dia berkata, al-Laits telah bercerita kepadaku al-Laits berkata, Uqoil bercerita kepadaku dari Ibnu Syihab dia berkata, Urwah bin Zubair bercerita kepadaku sesungguhnya Miswar bin Makhromah dan Abdurrohman bin Abdul Qori telah bercerita kepada Urwah bin Zubair sesungguhnya keduanya mendengar bahwa Umar bin Khottob berkata “Saya telah mendengar Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqon dimasa hidup Rasulullah SAW. ketika itu dia membaca berbagai huruf (dengan model bacaan) yang tidak pernah dibacakan atau diajarkan oleh Rasulullah SAW kepadaku (Sayyidina Umar), maka aku mendekat menghampiri Hisyam dalam sholatnya, dan aku menunggunya sampai dia salam. Lalu aku menyeret Hisyam dengan surban di lehernya kemudian aku bertanya “Siapa yang membacakan atau mengajarkan surat yang telah aku dengar tadi ketika engkau membaca”. Hisyam menjawab: Rasulullah SAW yang telah membacakan atau mengajarkan surat itu kepadaku, lalu Umar berkata: “Engkau berbohong (wahai Hisyam), sesungguhnya Rasulullah SAW telah membacakan surat itu kepadaku tidak seperti yang telah engkau baca”. Setelah itu aku pergi mengajak Hisyam untuk menghadap kepada Rasulullah SAW demi meluruskan perkara ini, dan aku berkata kepada Rasulullah SAW. “Sesungguhnya saya mendengar Hisyam membaca surat al-Furqon dengan model atau cara bacaan yang tidak pernah Engkau bacakan atau ajarkan kepadaku”. Rasulullah SAW berkata: “Bacalah dengan tartil wahai Hisyam” lalu Hisyam membacakan surat al-Furqon dengan bacaan seperti yang saya dengar darinya dihadapan Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah SAW. bersabda “Seperti itulah surat itu diturunkan” kemudian Rasulullah SAW. berkata “bacalah dengan tartil wahai Umar” maka aku membaca surat al-Furqon dengan bacaan yang telah beliau ajarkan kepadaku, lalu Rasulullah SAW bersabda: “Seperti itulah surat itu diturunkan” Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan atas 7 macam bacaan, oleh karena itu Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran.”

   Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa Betapa bijaksananya Rasulullah, menanggapi perbedaan, mengayomi umatnya dengan ilmunya tanpa membeda-bedakan. Beliau taburi perbedaan itu dengan mutiara akhlakul karimah, berwawasan luas dan bersikap luwes, dan merahmati seluruh alam semesta.
  Oleh karena itu, perbedaan yang dimuka bumi ini harus kita letakkan secara proporsional (seimbang) dan perlu kita hargai, karena bagaimanapun adanya perbedaan itu karena adanya izin Tuhan yang telah menciptakannya, dan yang pasti setiap perbedaan itu membawa nikmat dan barokah bagi kita semua yang mampu berfikir akan perbedaan itu sendiri. Seperti halnya telah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi :[30]

وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ : "إِخْتِلَافُ أُمَّتَيْ رَحْمَةٌ"

Artinya : “Diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW : “Perbedaan umatku adalah Rahmah”.



c. Penerapan Nilai-nilai Multikultural Dalam Kehidupan Sosial Masyarakat
   Menurut Kolonel Inf (Purn.) I Nengah Dana, menyatakan bahwa beberapa bentuk kegiatan yang perlu dilakukan bersama antara lain :[31]
  1. Melakukan pencerahan dan dialog untuk meningkatkan kesadaran multikulturalisme visi Barahman/visi Tuhan terhadap Hindu maupun masyarakat lingkungan masing-masing. 
  2. Melakukan usaha-usaha bersama dibidang ekonomi dan sosial guna mempererat persahabatan serta kemitraan. 
  3. Melakukan kegiatan apresiasi budaya untuk menumbuhkan kecintaan terhadap keragaman budaya bangsa. 
  4. Melakukan kegiatan sosial, gotong-royong, do’a bersama untuk keselamatan bangsa, aksi damai, pelatihan bersama, dan lain sebagainya. 
  5. Memperbanyak kunjungan kekeluargaan (silaturahim atau abhimandhana) guna mempererat persahabatan dan persaudaraan sejati.
  Dengan beberapa bentuk kegiatan tersebut dapat dikembangkan konsesus dan komitmen yang mengarah kepada tumbuh suburnya semangat persatuan, persahabatan, kekeluargaan, persaudaraan menuju terciptanya kesadaran kemanusiaan dan keadilan sosial yang membawa kedamaian.

  Disamping itu[32], dalam konteks ke-Indonesiaan, sangat diperlukan wacana yang dapat mendorong dan memperkuat kebhinekaan. Di tengah kuatnya arus disintegrasi (perpecahan) dan fundamentalisme (kekerasan) agama, maka pluralisme dapat menjadi setetes embun di pagi hari. Keragaman adalah sebuah fakta yang tidak bisa dihindarkan, tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana keragaman itu dapat mendorong sebuah pandangan dan sikap kebersamaan. Dalam upaya bersama untuk merekonstruksi (mengembalikan seperti semula) perlu dipikirkan empat hal penting, diantaranya :
  1. Perlunya langkah-langkah kritis atsa menguatnya gelombang fundamentalisme dan radikalisme (kekerasan). Sinyalemen (peringatan) tentang penggunaan kekerasan dengan mengatasnamakan keyakinan apapun harus mendapat perhatian serius. 
  2. Perlunya tafsir baru atas pluralisme untuk konteks ke-Indonesiaan. Hal ini dalam rangka menghindari pemahaman dan representasi yang keliru. Munculnya tafsir sewenang-wenang atas pluralisme akan sangat berabahaya karena akan menimbulkan dampak-dampak negatif yang serius, terutama dalam rangka menjaga keragaman itu sendiri. 
  3. Perlunya belajar dari pengalaman negara-negara lain yang relatif berhasil dalam menerjemahkan pluralisme dalam konteks sosial-budaya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau belajar dari keberhasilan dan kegagalan bangsa lain. 
  4. Menanamkan sikap multikulturalisme, dimana paham tersebut hadir sebagai alternatif untuk memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas etnis dan adat. Multikulturalisme juga telah memberikan harapan bagi terwujudnya toleransi, terutama dalam rangka melindungi kelompok minoritas yang tidak tersentuh oleh pluralisme.
  Menurut Ign. Adam Suncoko, Pr.[33] menyatakan bahwa, prinsip-prinsip untuk mewujudkan persaudaraan sejati melalui suatu dialog (terjadi tukar menukar informasi dan inspirasi dari orang di luar diri kita), diantaranya :[34]
  1. Multireligius (yang bersifat keanekaragaman keagamaan). 
  2. Multikultural (yang bersifat keanekaragaman budaya). 
  3. Kesetaraan (yang bersifat seimbang). 
  4. Kedepankan dialog menuju persaudaraan sejati, bukan sekedar toleransi. 
  5. Hindari apologi. 
  6. Ada kebenaran di agama lain. 
  7. Hindari kegiatan Proselitisme (menyebarkan agama)

Refrensi :

[1] Serumpun Bambu Jalan Menuju Kerukunan Sejati, 2010, hlm. 34

[2] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, 1998, hlm. 7.

[3] Makalah tentang Agama, HAM, dan Demokrasi, 2012, hlm 1

[4] Abuddin Nata, Op. Cit,. hlm 9-10

[5] Ibid., hlm 1

[6] Serumpun Bambu Jalan Menuju Kerukunan Sejati, Op. Cit,. hlm, 82

[7] Tesis Anang Sholikhuddin,2011,. hlm, 47

[8] Serumpun Bambu Jalan Menuju Kerukunan Sejati, Op. Cit,. hlm 74

[9] Diana L.Eck, A New Religous America: how a “Christian Country: Has Become the World’s Most Religously Diverse Nation, hlm. 70

[10] Ibid. hlm. 71

[11] Thoha Hamim,dkk. Op. Cit,. hlm. 91

[12] Wilfred Cantwell Smith, “ Tradition in Contact and Change: Towards a History of Religion in the Singular, dalam Thoha hamim,dkk Resolusi Konflik Islam Indonesia, 2007,h.121-122

[13] Ibid,. hlm. 121-122

[14] Ibid,. hlm. 92

[15] Ibid,. hlm. 92

[16] Ibid,. hlm. 95

[17] Tashwirul Afkar Edisi No.9/2000, Menulusuri Liberalisme Islam di NU, 2000,. hlm. 98-99

[18] Serumpun Bambu, Op. Cit,. hlm. 77

[19] Thoha Hamim, dkk. Resolusi Konflik Islam Indonesia, hlm. 292-293

[20] Ubaidillah, Multikulturalisme Pesantren Ngalah, hlm. 13-18

[21] P.P Ngalah, Kitab Jawabul Masail Bermadzhab Empat Menjawab Masalah Lokal, Nasional, dan Internasional, hlm. 26

[22] Ibid,. hlm, 26-27

[23] Ibid,. hlm, 27

[24] Tesis Anang Sholikhudin, 2011,. hlm, 50

[25] Ibid,. hlm, 50-51

[26] Ibid,. hlm. 53-54

[27] Ubaidillah, Op. Cit,. hlm. 21-26

[28] Tesis Anang Sholihudin, 2011,. hlm. 56

[29] P.P Ngalah, Op. Cit,. hlm. 29-31

[30] P.P Ngalah, Op. Cit,. hlm. 29

[31] Kholid M, dkk, Dasar-dasar Multikultural Teori dan Praktek, 2011,. hlm. 114

[32] Zuhairi Misrawi, Op. Cit,. hlm. 190-191

[33] Ketua Komisi HAK (Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan) Keuskupan Malang.

[34] Serumpun Bambu, Op. Cit,. hlm. 39

0 komentar:

Posting Komentar