“Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan
yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta
lebih baik untuk menjadi harapan.” (Q.S. Al-Kahfi: 46)
Ayat di atas memberitahukan kepada kita bahwa harta dan anak-anak menghiasi kehidupan manusia di dunia. Tetapi, perhiasan ini hanya dijadikan indah dan kesenangan bagi manusia semasa hidup di dunia. Dan tempat kesenangan yang sebenarnya adalah surga.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Q.S. Ali ‘Imran: 14)
Ayat di atas memberitahukan kepada kita bahwa harta dan anak-anak menghiasi kehidupan manusia di dunia. Tetapi, perhiasan ini hanya dijadikan indah dan kesenangan bagi manusia semasa hidup di dunia. Dan tempat kesenangan yang sebenarnya adalah surga.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Q.S. Ali ‘Imran: 14)
Sementara itu,
bagi orang-orang yang beriman, justru harta dan anak-anak tidak boleh
menjadikan mereka lalai dari mengingat Allah.
“Hai
orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu
dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka
Itulah orang-orang yang merugi.” (Q.S. Al-Munafiqun: 9)
Harta
adalah kebutuhan dan kesenangan manusia. Karena merupakan kebutuhan dan
juga kesenangan, maka manusia berusaha dengan gigih untuk
mendapatkannya. Harta diperoleh oleh seseorang dengan berbagai macam
cara.
1. Ada orang yang memperoleh harta dengan bekerja, misalnya bertani, berdagang, mengajar, dan sebagainya.
2. Ada pula orang yang memperoleh harta karena diberi oleh orang lain sebagai sedekah dengan memperhatikan kondisi orang yang diberi. Orang seperti ini biasanya adalah orang yang fakir, miskin, anak yatim, pengemis, gelandangan, dan sebagainya.
3. Harta dapat juga diperoleh dari hadiah atau hibah, yaitu pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa ada ikatan atau sebab yang mewajibkan.
4. Cara lain perolehan harta adalah dari zakat,
baik zakat fitrah maupun zakat harta. Ada delapan macam golongan yang
dapat memperoleh harta dengan cara ini, yaitu fakir, miskin, amil,
muallaf, orang yang memerdekakan budak, gharim (orang yang berutang), fi
sabilillah (untuk keperluan di jalan Allah), dan ibnu sabil (musafir).
5. Ada lagi cara memperoleh harta, tetapi termasuk cara yang diharamkan (dilarang) oleh syariat,
misalnya dengan mencuri, merampok, menipu, melakukan korupsi, menerima
suap, melakukan pungutan liar, memakan riba, dan sejenisnya.
6.
Terakhir, dan yang paling istimewa, ada juga harta yang diperoleh bukan
dengan jalan usaha maupun pemberian orang lain, tetapi terpaksa diterima
karena langsung ditetapkan pemberiannya oleh Allah melalui jalan pembagian warisan dari orang yang meninggal dunia. Cara ini didapatkan oleh ahli waris.
Pembagian
harta warisan sudah diatur oleh Allah langsung di dalam Al-Qur’an dan
dilengkapi serta dijelaskan dengan beberapa hadits Nabi SAW, antara lain
tentang ahli waris yang berhak, dan bagian masing-masing ahli waris.
Meskipun demikian, dalam masalah pembagian ini terdapat kecenderungan
bahwa pelaksanaannya belum atau tidak sesuai dengan tuntutan dan
tuntunan Allah dan Rasulullah SAW. Dengan kata lain, pelaksanaan
pembagian harta warisan di antara umat Islam masih belum mengikuti hukum
waris Islam.
Adapun di antara beberapa alasan belum atau tidak
dilaksanakannya pembagian harta warisan menurut hukum waris Islam adalah
sebagai berikut:
1. Tidak mengetahui ilmunya
Ilmu
tentang pembagian harta warisan, yang disebut juga ilmu faraidh, sesuai
dengan hadits Rasulullah SAW, merupakan ilmu yang sangat sedikit orang
yang mengetahuinya. Bahkan ilmu ini merupakan ilmu yang pertama kali
akan diangkat (dicabut) dari bumi ini oleh Allah dengan cara
dimatikan-Nya para ulama yang mengerti ilmu ini satu demi satu pada
akhir zaman.
2. Masih mengutamakan (mendahulukan) adat-istiadat yang berlaku di masyarakat daripada aturan syariat Islam
Dalam
pelaksanaannya, pembagian harta warisan masih kental dengan pengaruh
adat-istiadat yang berlaku di daerah masing-masing. Sebagai contoh,
untuk kasus di Indonesia, yang terdiri dari ratusan suku dengan
budayanya masing-masing, terdapat banyak sekali perbedaan dalam hal
warisan. Sebagian ada yang menggunakan garis bapak saja (patrilineal)
sehingga hanya membagi warisan kepada pihak laki-laki, sementara
sebagian yang lain menggunakan garis ibu saja (matrilineal) sehingga
yang mendapat bagian hanya dari pihak perempuan; sebagian hanya
memberikan kepada anak tertua, sementara sebagian yang lain hanya
memberikan kepada anak termuda; sebagian lagi membagikan warisan secara
sama rata.
3. Takut bagiannya sedikit atau tidak mendapat bagian sama sekali
Kecintaan
dan ketamakan pada harta mendorong manusia untuk berusaha
mendapatkannya dengan sekuat tenaga meskipun kadangkala membuat mereka
melakukan perbuatan yang melanggar aturan syariat. Sebagian ahli waris
ada yang, karena telah mengetahui bagiannya dari harta warisan jika
dibagi menurut hukum faraidh Islam menjadi sedikit atau tidak mendapat
bagian sama sekali, berusaha untuk tidak menjalankan pembagian menurut
hukum waris Islam. Sebagai gantinya, mereka melakukan pembagian warisan
menurut cara mereka sendiri agar mereka mendapat bagian, atau bagian
mereka menjadi lebih banyak.
4. Tidak mau repot
Dalam
kenyataannya di masyarakat, kebanyakan orang Islam tidak mau membagi
warisan menurut syariat Islam karena mereka tidak mau repot atau susah.
Mereka menganggap hukum waris Islam rumit kalau diterapkan sehingga
mereka menggunakan cara pembagian yang mudah, mislnya dengan musyawarah
keluarga; yang penting, harta warisan dibagikan kepada orang-orang yang
menjadi ahli waris.
5. Menganggap ilmu faraidh sebagai ilmu yang sangat sulit dipelajari dan dilaksanakan
Karena
belum mempelajari atau tidak mau mempelajari ilmu faraidh, maka
kebanyakan orang Islam menganggap ilmu faraidh sulit dipelajari apalagi
dilaksanakan. Anggapan seperti ini sudah menjadi kecenderungan di dalam
sebagian besar orang Islam yang awam.
6. Merasa hukum waris Islam tidak adil
Sebagian
kalangan menganggap bahwa hukum waris Islam tidak layak diterapkan
karena merasa hukum ini tidak adil. Salah satu hal yang melandasi
anggapan ini adalah masalah gender, misalnya mereka tidak puas karena
bagian anak perempuan hanya setengah dari bagian anak laki-laki.
Anggapan dan tuduhan ini muncul karena adanya pemahaman yang salah
terhadap hukum waris Islam, dan ini banyak dilontarkan oleh kalangan
yang benci dengan syariat Islam, baik dari kalangan orientalis maupun
orang-orang munafik.
7. Menganggap hukum waris Islam tidak kuat dan tidak mengikat bagi umat Islam
Sama
halnya dengan yang merasa hukum waris Islam tidak adil, mereka juga
menganggap hukum waris Islam tidak kuat dan tidak mengikat bagi umat
Islam. Kelompok yang memiliki anggapan ini umumnya lebih mengutamakan
akal (rasio) dalam menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits.
8. Hukum waris Islam belum dituangkan sebagai hukum positif dalam bentuk Undang-Undang
Belum
adanya peraturan dalam bentuk Undang-Undang yang diberlakukan di negara
kita, juga menjadi salah satu alasan bagi umat Islam di Indonesia untuk
tidak mau menjalankan pembagian warisan menurut hukum waris Islam.
Umumnya mereka berpendapat bahwa hukum waris Islam baru bisa
dilaksanakan jika sudah menjadi hukum positif, sama seperti
Undang-Undang yang lain.
9. Adanya beberapa perbedaan pendapat ulama dalam masalah pembagian harta warisan
Perbedaan
madzhab dalam masalah warisan juga sering dijadikan alasan orang untuk
tidak mau menjalankan hukum waris Islam karena mereka menganggap tidak
ada kesatuan aturan yang menjadi pedoman. Hal ini sebenarnya hanya
merupakan alasan orang-orang yang tidak memiliki pendirian dan selalu
ragu-ragu dalam menjalankan syariat Islam.
10. Menganggap hukum waris Islam hanya fatwa para ulama
Anggapan
ini hanya dilontarkan oleh sebagian orang karena ketidaktahuan, dan
keengganan mereka untuk belajar ilmu faraidh. Umumnya orang-orang awam
berpendapat seperti ini.
11. Menganggap bahwa yang memiliki harta memiliki hak mutlak untuk membagi warisannya kepada para ahli waris ketika masih hidup
Karena
merasa bahwa harta yang dimiliki merupakan hak mutlak yang diperoleh
dari hasil usaha dan jerih payahnya sendiri, banyak orang yang
membagikan hartanya sebagai warisan ketika mereka masih hidup kepada
para ahli warisnya dengan cara pembagian sendiri yang mereka anggap
sudah adil menurut mereka tanpa memperhatikan hukum waris Islam.
12. Menganggap bahwa pembagian warisan cukup dibagi dengan cara pemberian wasiat saja
Sebagian
orang membagi warisan dengan cara memberi wasiat kepada calon ahli
warisnya ketika mereka masih hidup untuk dibagikan setelah mereka wafat.
Mereka menganggap itulah pembagian yang benar tanpa mengindahkan
aturan-atuan pembagian warisan menurut syariat Islam.
13. Menganggap bahwa pembagian warisan sudah adil jika dibagi secara sama rata di antara semua ahli waris
Sebagian
orang memiliki prinsip sama-rata sama-rasa, dan hal itu juga mereka
terapkan dalam pembagian harta warisan. Semua ahli waris diberikan
bagian yang sama besar tanpa memandang kedudukan masing-masing di dalam
susunan ahli waris. Mereka menganggap itulah keadilan yang sesungguhnya.
14. Belum adanya lembaga yang berwenang mutlak mengurus dan mengatur pembagian harta warisan di antara umat Islam
Benar
bahwa di negara kita belum ada lembaga khusus yang berwenang mutlak
mengurus dan mengatur pembagian harta warisan di antara umat Islam.
Tetapi hal ini justru dijadikan alasan sebagian orang untuk tidak
menjalankan pembagian warisan sesuai dengan hukum waris Islam.
Demikianlah
di antara sekian alasan yang melatarbelakangi belum adanya kesadaran
umat Islam, terutama di Indonesia, untuk melaksanakan pembagian warisan
menurut hukum waris Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
Padahal, hukum waris Islam sudah merupakan ketentuan langsung dari Allah
Yang Maha Bijaksana, Mahaadil, Maha Mengetahui, dan Maha Penyayang, dan
sudah disusun oleh para ulama menjadi satu cabang ilmu sendiri, yaitu
ilmu faraidh. Semoga kita tidak termasuk di antara orang-orang yang
tidak mau menjalankan aturan pembagian warisan menurut Al-Qur’an dan
Hadits dikarenakan alasan-alasan yang dikemukakan di depan. Semoga Allah
memberikan taufiq dan ‘inayah untuk dapat mempelajari, mengamalkan, mengajarkan, dan melestarikan ilmu faraidh. Insyaallah.
0 komentar:
Posting Komentar