Pages

أهلا وسهلاعلى بلدي بلوق أن يفسر معنى في رحم الإسلام

Selasa, 16 April 2013

TARIKH TASYRI'


FASE KELIMA (350 H – 656 H)
MASA KELEMAHAN BANI ABBASIAH
Kekuatan kekuasaan Dinasti Abbasiyah semakin masa semakin lemah, apalagi dengan sempitnya wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah ini sangat menunjukkan betapa lemahnya kekuatan politik Dinasti Abbasiyah ini. Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai pada awal periode kedua.
Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain, beberapa diantaranaya adalah adanya persaingan antar bangsa, kemerosotan ekonomi, konflik keagamaan, dan ancaman dari luar.

TUMBUHNYA JIWA TAQLID, TIMBULNYA MAZHAB DAN KEGIATAN FUQAHA DALAM PERIODE TAQLID
Periode berlangsung dari abad 10 / 11 M sampai abad 19 M, yaitu pada akhir Khalifah Abbasiyyah. Periode ini disebut taqlid karena para fuqaha pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah ada seperti madzhab Hanbali.
1.      Pengertian Taqlid
Taqlid menurut bahasa adalah mengikuti orang lain tanpa berpikir. Sedangkan taqlid secara syara’ adalah melaksanakan pendapat orang lain tanpa disertai hujjah yang kuat. Misalnya orang awam yang mengambil pendapat seorang mujtahid, atau seorang mujtahid yang mengambil pendapat mujtahid lain.
2.      Asal Usul Istilah
Periode ini disebut sebagai periode Taqlid karena para fuqoha pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah ada, seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, serta madzhab lain yang sudah mencapai tahap kemajuan dan sudah dibukukan bersamaan dengan ilmu-ilmu syar’i yang lainnya.
3.      Sejarah Kemunculan Taqlid
Bagi orang yang mengamati perjalanan syariat islam pada fase ini, tentu akan mendapati bahwa jiwa kemandirian sebagian para fuqoha sudah mati dan beralih kepada taklid , tanpa ada semangat untuk mencari terobosan dan kreatifitas baru.
Mereka telah meletakkan diri pada ruang yang sempit ,yaitu ruang madzhab yang tidak boleh dilewati apalagi dilompati, sehingga mereka hanya ikut-ikutan( Taqlid) saja.
Walaupun fase ini penuh dengan semangat taqlid, namun sebenarnya masih ada beberapa ulama yang memiliki kemampuan untuk berijtihad dan mengistinbatkan hukum seperti pendahulu mereka. Akan tetapi, mereka sudah menutup celah itu dan merasa cukup dengan apa yang sudah dilakukan oleh pendahulunya yaitu para ulama mazhab. Hal itu disebabkan tingkat ketakwaan dan ke-wara’ an mereka sehingga lebih memilih berputar diatas bahtera fiqih yang sudah ada. Diantara ulama-ulama tersebut adalah Abu Al Hasan Al Karkhi, Abu Bakar Ar-Razi dari kalangan mazhab Hanafi, Ibnu Rusyd Al Qurthubi dari mazhab Maliki, Al Juwaini Imam Al Haramain dan Al Ghazali dari kalangan mazhab Syafi’i.
Dari penjelasan diatas, dapat kita ketahui bahwa ada sebagian fuqoha yang memiliki kapasitas untuk memahami, beristinbat, dan berijtihad secara mutlak, namun mereka lebih memilih untuk ber-taklid dan mengikat pikiran mereka dengan semua prinsip serta masalah cabang yang ada dalam mazhab. Adapun sebab terjadinya taqlid adalah sebagai berikut :
a)      Pembukuan Kitab Mazhab
Dalam pembahasan sebelumnya, kita telah membahas bahwa kebangkitan fiqh Islam telah ditandai dengan telah ditulisnya fiqh Islam serta dijadikan rujukan dalam menjawab semua persoalan yang dihadapi masyarakat sehingga sangat mudah untuk diketahui secara cepat. Sehingga hal tersebut membuat para ulama pada periode ini tidak mempunyai keinginan untuk berijtihad lagi.
b)      Fanatisme Mazhab
c)      Para ulama pada masa ini sibuk dengan menyebarkan ajaran mazhab dan mengajak orang lain untuk ikut dan berfanatik kepada pendapat fuqaha tertentu. Bahkan sampai kepada tingkat di mana seseorang tidak berani berbeda pendapat dengan imamnya, seakan keberadaan semuanya ada pada sang guru kecuali beberapa ulama yang tidak ikut-ikutan seperti Abu Al-Hasan Al-Kurkhiy dari ulama Hanafiyah, bahkan ada yang berani mengatakan,”Setiap ayat yang bertentangan dengan pendapat mazhab kami maka ayat itu perlu ditakwilkan atau dihapuskan,” termasuk juga hadis Nabi. Inilah bentuk pemikiran yang tersebar pada saat itu yang disebabkan oleh loyalitas kepada imam secara berlebihan , yang kemudian menutup mata mereka dari Ijtihad.
d)     Jabatan Hakim
Para khalifah biasanya tidak memberikan jabatan hakim, kecuali kepada mereka yang memang mampunyai kemampuan dalam bidang ilmu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW serta memiliki kemampuan untik berijtihad dan menggali hukum. Dan manhaj para khalifah dalam meminta para hakim agar dalam memutuskan perkara harus berdasarkan kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasul, dan logika yang dekat dengan kebenaran. Namun , ketika kondisi sosial sudah berubah bersama pergeseran waktu, para khalifah lebih mengutamakan para hakim yang hanya bisa bertaqlid, ikut pada mazhab tertentu yang sudah ditetapkan oleh khalifah. Inilah salah satu penyebab mengapa orang yang akan menjabat sebagai hakim harus mengikuti salah satu mazhab dan tidak melangkahinya.
e)      Ditutupnya Pintu Ijtihad
Petaka besar menimpa Fiqih Islam pada periode ini, dimana kesucian ilmu ternodai, orang-orang berani berfatwa, menggali hukum sedangkan mereka sangat jauh dari pemahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil Fiqih yang pada akhirnya mereka berbicara tentang agama tanpa Ilmu. Keadaan ini memaksa para penguasa dan ulama untuk menutup pintu ijtihad pada pertengahan abad keempat hijriah agar mereka mengklaim diri sebagai mujtahid tidak bisa bertindak leluasa dan menyelamatkan masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan. Akan tetapi sangat disayangkan, larangan ini telah memberi efek yang negatif terhadap Fiqih Islam sehingga menjadi jumud dan ketinggalan zaman. Seharusnya para fuqoha periode ini meletakkan beberapa aturan yang bisa digunakan untuk membantah pendapat ulama gadungan tersebut. Salah satunya dengan menjelaskan dalil dan bukti yang menyingkap aib mereka didepan orang banyak, dan melarang masyarakat untuk mengikutinya karena fatwa mereka tanpa ilmu dan menyesatkan dan bukan menutup pintu ijtihad. Andaikan hal ini mereka lakukan , niscaya mereka telah memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan fiqih Islam dan lebih baik dari pada menutup pintu ijtihad sama sekali.

KESUNGGUHAN ULAMA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM PADA PERIODE INI
Walaupun sebetulnya banyak faktor yang membuat para ulama berhenti melakukan ijtihad mutlak dan mengembangkan hukum-hukum syari’at dari sumber-sumbernya yang pertama, namun tidaklah berarti bahwa mereka juga mandek dan berhenti kesungguhannya dalam upaya pembentukan hukum dilingkungan daerah mereka yang terbatas. Oleh karena itu, para ulama pada tiap-tiap mazhab bisa dibagi menjadi beberapa level atau tingkatan, yaitu:
Level pertama: ahli ijtihad dan mazhab.
Mereka ini tidak berijtihad dalam hukum syari’at secara ijtihad mutlak, mereka hanya berijtihad mengenai berbagai kasus yang terjadi dengan dasar-dasar ijtihad yang telah dirumuskan oleh para imam mazhab mereka. Diantara mereka ialah: al-Hasan bin Ziyad(204 H/820 M) dari mazhab Hanafi, Ibnu al-Qasim (191 H/) dan Asyhab (204 H/820 M) dari mazhab Maliki, dan al-Buwaithiy (231 H) dan al-Muzanny(264 H) dari mazhab Syafi’i. Dasar-dasar para imam merekalah yang digunakan sebagai dasar-dasar dalam pengembangan hukum-hukum.
Level kedua: Ahli ijtihad mengenai beberapa masalah yang tidak ada riwayat dari imam mazhabnya.
Mereka ini tidak menyalahi para imam mereka dalam berbagai hukum cabang dan juga tidak menyalahi dasar-dasar ijtihad yang mereka gunakan. Mereka hanya mengistinbatkan hukum-hukum mengenai berbagai masalah yang tidak ada riwayatnya sesuai dasar-dasar yang digunakan para imam mereka dan dengan meng-qiyaskan kepada cabang-cabang hukum mereka. Mereka yang termasuk dalam level kedua ini adalah al-Khashshaf (261 H), al-Thahawiy(lahir 230 H), dan al-Karkhiy(340 H) dari penganut mazhab Hanafi. Al-Lakhamiy(498 H), Ibnu al-Arabiy(542 H) dan Ibnu Rusyd (1198 M) dari penganut mazhab Maliki. Abu Hamid al-Ghazaliy(505 H/1111 M) dan Abu Ishaq al-Isfirayiniy (418 H) dari penganut mazhab Syafi’i.
Level ketiga: Ahli Takhrij.
Mereka ini tidak berijtihad dalam mengistinbatkan hukum mengenai berbagai masalah. Akan tetapi, karena keterikatan mereka kepada dasar-dasar dan rujukan mazhab yang dianutnya, maka mereka tidak berusaha mengeluarkan illat-illat hukum dan prinsipnya. Dengan dasar inilah mereka membatasi diri hanya pada memberi interpretasi terhadap pendapat-pendapat imamnya yang masih bersifat global atau menentukan arah tertentu bagi suatu hukum yang mengandung kemungkinan dua arah. Yang termasuk dalam level ketiga ini ialah seperti Al Jahshash(370 H) dan rekan-rekannya dari mazhab Hanafi.
Level keempat: Ahli Tarjih
Mereka ini mampu membandingkan diantara beberapa riwayat yang bermacam-macam yang bersumber dari para imam mazhab mereka dan sekaligus mampu mentarjih, menetapkan mana yang kuat antara satu riwayat dengan riwayat lainnya. Mereka yang termasuk dalam level ini adalah al Qadury(428 H) dan pengarang kitab al Hidayah, serta rekan-rekannya sesama penganut mazhab Hanafi.
Level Kelima: Ahli Taqlid
Mereka ini mampu membeda-bedakan antara riwayat-riwayat yang jarang dikenal dan riwayat yang sudah terkenal dan jelas, dan mampu membada-bedakan antara dalil-dalil yang kuat dan yang lemah. Mereka yang termasuk dalam level kelima ini adalah pengarang kitab matan-matan yang terkenal dan mu’tabar dikalangan mazhab Hanafi, seperti pengarang kitab al Kanz dan al Wiqoyah.
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa kesungguhan aktivitas para ulama dalam pembentukan hukum pada periode ini adalah mencurahkan perhatiannya kepada pendapat-pendapat dan hukum-hukum yang sudah dibentuk dan ditetapkan oleh para imam mazhab mereka. Mereka membatasi diri mereka hanya pada pembahasan mengenai pendapat-pendapat imam mazhab mereka dan illat-illat yang mereka jadikan dasar pertimbangan, serta mereka mentarjih, menetapkan mana pendapat yang lebih kuat diantara pendapat imam mazhab mereka yang kelihatan kontradiksi antara satu dengan yang lainnya.
Pada periode sebelumnya, umat islam yang bertaklid hanya kalangan awam, sedang para tokoh imam mereka hanya ditaklidi. Akan tetapi pada periode ini seluruh umat Islam menjadi pentaqlid. Para ulama telah lupa apa yang pernah diucapkan Abu Hanifah ketika mengomentari keberadaan ulama fiqih sebelumnya.
هم رجال ونحن رجال
“Mereka ini adalah tokoh-tokoh ulama dan kami juga sama-sama tokoh ulama”
Juga melupakan apa yang pernah diucapkan imam Malik bin Anas, yang berbunyi :
ما من احد الا ويؤخذ مامن قوله ويترك الا المعصوم ص م
“Tak ada seorangpun kecuali pendapatnya boleh diambil dan boleh ditinggalkan kecuali sabda orang ma’sum, Nabi SAW”
Demikian juga mereka lupa apa yang diucapkan imam Syafi’i, yang berbunyi :
اذا صح الحديث فهو مذهبى
“Kalau hadist itu sudah shahih, maka itulah mazhabku”

RUMUSAN KAEDAH-KAEDAH ISTINBATH
A.     IMAM ABU HANIFAH
1.       Kehidupan Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah merupakan imam pertama dari keempat imam  dan yang paling dahulu lahir  juga wafatnya, ia mampu memeperoleh kedudukan yang terhormat dalam masyarakat yang menghimpun factor-faktor positif dan factor-faktor negative, sehingga tidak heran ia di juluki Imam A’zham (pemimpin terbesar), ia juga dikenal sebagai fakih irak, dan imam Ar-Ra’y (Imam Aliran Rasional)
Beliau dilahirkan di kota Kuffah, pada tahun 80 H (699 M), beliau benama asli Nu’mam bin Tsabit Bin Zhauth Bin Mah, ayah beliau keturunan bangsa persi ( Kabul Afganistan) yang menetap di Kuffah, tsabit bapak dari abu hanifah lahir sebagai seorang muslim dan diriwayatkan dia berasal dari bangsa anbar. Adapula ia mukim di tirtmidz, ada lagi yang mengatakan ia bermukim di Nisa, bisa jadi ia bermukim di tiap-tiap kota itu sementara waktu. Ia adaalah seorang pedagang yang kaya dan taat beragama, sebagai mana ia pernah berttemu dengan ali bin Abi Thalib, lalu sang imam mendoakan dan keturunananya dengan kebaikan dan keberkahan.
2.      Pendidikan Imam abu Hanifah
pada masa abu hanifah terdapat empat sahabat, mereka adalah: Anas bin Malik, Abdullah bin Abu Aufa, Sahl bin Sa’ad dan Abu Thufail, mereka adalah sahabat-sahabta yang paling akhir wafat, namun abu Hanifah tidak Berguru kepada mereka.
Mengapa tidak berguru kepada mereka?, mungkin diantara mereka ada yang sudah wafat sedang abu hanifah masih kecil, seperti Abdullah bin Aufa yang meninggal pada tahun 87 hijriyah sehinggga umur abu hanifah pada waktu  itu baru 7 tahun, dan seperti abu Sahl bin Sa’ad yang wafat tahun 88 atau 91 hijriyah dan umur Imam Hanafi baru berumur 11 tahun. Sementara Anas bin Malik wafat pada tahun 90 atau 92 atau 95 hijriyah dank ala itu abu Hanifah berumur 15 tahun dan belum mulai mencari ilmu, ketika itu beliau masih berdagang.
3.      Dasar-Dasar Istinbath Mazhab Imam Abu Hanifah
Mazhab abu Hanifah adalah gambaran yang hidup dan jelas bagi relevansi  Hukum Islam dengan tuntutan masyarakat, beliau mendasarkan mazhabnya pada :
a.       Al-Qur’an: Alqur’an merupakan sumber pokok huku islam sampai akhir zaman.
b.      Hadits:  Hadits merupakan penjelas dari pada Al-Qur’an yang asih bersifat umum.
c.       Aqwalus shahabah (Ucapan Para Sahabat): ucapan para sahbat menurut Imam hanafi itu sangat penting karena menurut beliau para sahabat meupakan pembawa ajaran rasul setelah generasinya.
d.      Qiyas: beliau akan menggunakan Qiyas apa bila tidak ditemukan dalam Nash Al-Qur’an, Hadits, maupun Aqwalus shahabah.
e.       Istihsan: merupakan kelanjutan dari Qiyas. Epnggunaan Ar-Ra’yu lebih menonjol lagi,istihsan menurut bahasa adalah “menganggap lebih baik”, menurut  ulama Ushul Fiqh Istihsan adalah meninggalkan ketentuan Qiyas yang jelas Illatnya untuk mengamalkan Qiyas yang bersifat samar.
f.       Urf, beliaua mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dalam kebutuhan srta memeperhatikan muamalh manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau menggunakan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an ,As-Sunnah dan Ijma’ atau Qiyas ), beliau akan menggunakan Istihsan, jika tidak bisa digunakan dengan istihsan maka beliau kembalikan kepada Urf manusi
4.       Pendirian Imam Abu Hanifah tentang Taqlid
Sebagai seorang ulama, beliau tidak membenarkan seorang bertaklid buta dengan beliau (tidak mengetahui dasar/dalil yang digunakan). Begitu juga kepada para Ulama beliau menginginkan seorang bersikap kritis dalam menerima fatwa dalam ajaran agama. Bahkan beliau pernah berkata “Tidak Halal bagi seorang yang ating fatwa dengan perkataanku, selama ia belum mengerti dari mana perkataanku”.
Dalam mengistinbathkan hukum, beliau melihat terlebih dahulu kepada kitabullah, bila tidak ditemukan dilanjutkan kepada sunnah jika tidak ditemukan pula dalam sunnah beliau melihat kepada perkataan para sahabat, lalu beliau menggunakan jalan pikiran untuk mengambil pendapat mana yang sesuai dengan jalan pikiran dan ditinggal mana yang tidak sesuai.
B.       IMAM MALIK
1.       Kehidupan Imam Malik
Imam malik dilahirkan dikota Dzu Al-muruwah di selatan kota madinah, lalu pindah ke aqiq dan kemudian pindah ke madinah, menurut riwayat beliau dilahirkan diamdinah pada tahun 93 H, namun ada yang mengatakan pula pada tahun 91 H,94 H, 95 H, 96 H, bahkan ada pula yang mengatakan tahun 97 H. diriwayatkan ibunya mengandung beliau selama dua tahun, ada lagi yang mengatakan tiga tahun, beliau bernama asli malik bin Anas bin Malik bin Abu amir bin amr bin ghaimah bin Khutsail bin amr bi Harits ia termasuk bani taim bin Murrah.
Kakek keduanya, abu Amir bin Amr adalah seorang sahabat Rasulullah SAW, sedangkan kakek pertamanya, malik bin Abu Amir adalah salah satu tokoh Tabi’in.
2.       Pendidikan Imam Malik
Imam Malik berguru kepada banyak guru diantaranya adalah Abdurrahman ibnu hurmuz, Rabi’ah bi Abdurrahman Farrukh, ati’ budak Abdullah bin Umar, Ja’far bin Muhammad Baqir, Muhammad bin Muslim Az-Zuhri, Abdurrahman Dzakwan, Yahya bin Sa’id Al-Anshari, Abu hazim Salamah bin Dinar, dan guru-gurunya yang lain dari kalangan tabi’in, seperti yang di ungkapkan oleh An-Nawawi.
Imam malik menurut riwayat An-Nawawi bahwa imam Malik berguru kepada pada 900 guru, 300 dari kalangan tabi’in, dan 600 dari kalangan tabi’it tabi’in yang terdiri dari ulama yang ia pilih, ia akui agamanya, fiqihnya, pemenuhan kewajiban periwayatan dan syarat-syaratnya, serta ia percaya.
3.       Dasar-Dasar Istinbath Mazhab Imam Malik
Mazhab Imam Malik adalah sebagai berikut:
a.        Al-qur’an: Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an.
b.       Sunnah rasul yang beliau pandang sah.
c.       Ijma’ para Ulama Madinah, tetapi beliau kadang-kadang menolak hadits apabila nyata-nyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama madinah.
d.       Qiyas : Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya.
e.        Mashalihul Mursalah (Istislah): Maslahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata mursalah berasal dari kata bahasa arab   sholaha- yasluhu  menjadi  sholhan atau mashlahatan  yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan, sedangkan kata mursalah berasal  dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga menjadi isim maf’ul, yaitu:  arsala- yursilu- irsalan- mursalan  yang berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi “maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang dipergunakan menetapkan suatu hukum islam, juga dapat berarti suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat).
4.      Pendirian Imam Malik  tentang Taqlid
Imam Malik, imam penduduk Madinah, berkata :
Sesungguhnya saya adalah manusia biasa, yang dapat salah dan dapat juga benar. maka perhatikan secara kritis pendapatku. Jika sesuai dengan kitab dan Sunnah ambillah, dan setiap pendapat yang tidak sesuai dengan kitab dan Sunnah tinggalkanlah. Setiap orang sesudah Nabi dapat diambil ucapannya dan dapat pula ditinggalkan, kecuali, Nabi Muhammad SAW.
C.       IMAM AS-SYAFI’I
1.       Kehidupan Imam Syafi’i
Syafi’I lahir di Gaza, palestina pada tahun 150 Hijriyah inilah pendapat paling masyhur dikalangan ulama namun ada juga riwayat ynag mengatakan bahwa imam syafi’I lahir di daerah Asqalan, sebuah daerah yang berjarak kuarang lebih tiga Fasakh (8KM) dari Gaza dan sejauh dua atau tiga marhala, dari Baitul maqdis, bahka ada juga yang mengatakan bahwa beliau dilahirkan di Yaman. Namun menurut An-Nawawi “pendapat paling masyhur yang dipegang oleh jumhur ulama bahwa imam Syafi’I lahir di Gaza”
Nama lengkap beliau adalah: Abu Abdullah bin Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’I bin Sa’id bin Ubaid bin abu Yazid bin Hasyim bin Muthalib bin Abdu Manaf, nasabnya samapai kepada rasulullah saw, pada kakeknya Abdu Manaf, oleh karena itu ia dikatakan tentang Syafi’I, “cucu sepupu Nabi saw”.
2.       Pendididkan Imam Syafi’I
Imam Syafi’I hafal Al-qur’an ketika umurnya masih belia, kemudian beliau juga menghafal hadist dan berhasil menghafalnya, ubeliau sangat ertarik kepada kaidah-kaidah Arab dan kalimat-kalimtnya, demi hal itu ia pergi ke pedalaman dan tinggal bersama kabilah Hudzail sekitar sepuluh tahun.
Pertama beliau berguru kepada Syaikhnya, Muslim Khalid Az-Zinzi dan imam-imam makkah lainnya lalu belia pergi ke Madinah kala berusia 13 tahun, ia tetap berguru kepada malik hingga ia wafat.
Diantara guru-guru syafi’I di makkah antara lain: Muslim bin Khalid Az-Zinzi, Sufyan bin Umayah, Sa’id bin Salim Al-Qidah, Daud bin Abdurrhaman Al-Athar, dan Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abu Daud.
Dan diantara guru-gurunya di Madinah antara lain: Malik bin Anas (Imam Malik), Ibrahim bin Sa’ad Al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad Ad-darawardi, Ibrahim bin Yahya Al-asami, Muhammad bin Sa’id bin Abdu Fadik, dan Abdullah bin Nafi Ash-Shaigh.
3.       Dasar-Dasar Mazhab Imam Syafi’I
Mazhab Imam adalah sebagai berikut:
a.       Al-qur’an: Alqur’an merupakan sumber pokok huku islam sampai akhir zaman.
b.      Hadits; Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an.
c.       Ijma’ Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.
d.      Qiyas
e.       Istishab; Istishhab secara bahasa adalah menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.
4.      Pendirian Imam Syafi’I terhadap Taqlid
Beliu selalu member peringatan terhadap murid-muridnya agar tidak begitu saja menerima apa-apa yang disampaikan oleh beliau samapikan dalam masalah agama, yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Diantara nasiat beliau tentang talid buta, beliau pernah berkata kepada muridnya yaitu Imam Ar-Rabi : “Ya Abi Ishak, janganlah engkau bertaklid kepadaku, dalam tiap-tiap yang apa aku atinga, dan pikirkanlah benar-benar bagi dirimu sendiri karena ia adalah urusan agama”.
Dari pernyataan tersebut di atas kiranya cukup jelas pendapat imam Syafi’I tentang taklid buta sungguh beliau melarang taklid buta kepada beliau dan kepada para ulama lainnya dalam urusan hokum-hukum agama.
D.      IMAM IBNU HANBAL
1.       Kehidupan Ibnu Hanbal
Ibnu hanbal lahir pada tahun 164 hijriyah di Baghdad setelah ibunya membawanya pindah keyika ia masih dalam kandungan dari kota marwa tempat tinngal ayahnya kekota bagdad.
Ia adalah Abu aabdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban Al-Marwazi lalu Al-Baghdadi, nasab ibnu hanbal sampai kepada rasulullah saw, pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan.
Penisbatan Inbu Hanbal yang terkenal adalah kepada kakeknya Hanbal, maka orang-orang mengatakan Ibnu Hanbal.
2.       Pendidikan Ibnu Hanbal
Ibnu Hanbal hafal Al-Qur’anul Karim, mempelajari Ilmu Bahsa, dan belajar membaca dan menulis di diwan (tempat belajar dan menulis). Ibnu Hanbal pertama kali belajar kepada Abu yusuf Ya’kub bin Ibrahim Al-Qadhi, murid abu hanifah kepadanya ia belajar hadist dan fiqih, karenanya Abu Yusuf dikenal sebagai guru pertama Ibnu Hanbal.
Namun pengaruh Abu Yusuf tidak begitu kuat tertanam dalam jiwa Ibnu Hanbal sehingga ada yang berpendapat bahwaa Abu Yusuf bukan guru pertamanya. Sementara guru pertamanya adalah Hasyim bin Basyir bin Kazim Al-Wasiti, karena ia adalahguru yang palin kuat pengaruhnya kepada Inbu Hanbal, Ibnu Hnbal berguru kepadanya selama empat tahun.
Disela-sela berguru kepada Hasyim, Ibnu  Hanbal juga berguru kepada Umair bin Abdullah bin Khalid, Abdurrahman bin Mahdi, dan Abu bakar bin Iyasy. Imam Syafi’I adalah salah satu guru dari Ibnu Hanbal, bahkan ada yang mneganggap bahwa Syafi’I merupakan guru kedua dari ibnu hanbal setelah Hasyim. Muhammad bin ishaq bi Khuzaimah mangatakan “Ahmad bin Hanbal tidak lain hanyalah merupakan salah satu pelayan Syafi’I”. ia juga berguru kepada Ibrahim bin Sa’ad, Yahya Al-Qathan, Waki’ juga berguru kepada Sufyan bin Uyainah (pengganti Imam Malik).
3.       Dasar-Dasar Mazhab Imam Ibnu Hanbal
Mazhab Imam Ibnu Hanbal adalah sebagai berikut:
a.        Al-qur’an dan Hadits: yakni beliau jika telah mnemukan nahs dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits maka beliau tidak memperhatikan dalil-dalil yang lain dan juga kepada pendapat para sahabat yang menyalahinya.
b.       Fatwa Shahaby: yaitu ketika beliau tidak mendapatkan nash dan beliau  mendapati suatu pendapat yang tidak diketahuinya bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memenadang bahwa pendapat itu merupakan ijma’.
c.        Pendapat Sebagian Sahabat yaitu mengambil pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, terrkadang beliau tidak memberikan fatwa jika tidk memperoleh Pentarjih atas suatu pendapat.
d.       Hadits Mursal atau Da’if: Mursal menurut bahasa merupakan isim maf’ul yang berarti dilepaskan. Sedangkan hadits mursal menurut istilah adalah hadits yang gugur perawi dari sanadnya setelah tabi’in. Seperti bila seorang tabi’in mengatakan,”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini atau berbuat begini”.
e.        Qiyas: akan dipakai jika benar-benar tidak ada ketentuan-ketentuan hukumnya dari poin a-d tersebutd di atas, namun Qiyas ini mendapat posisi yang kecil dalam penentuan Hukum (pada masa tersebut), namun tidak menutup kemunkinan Qiyas akan menjadi penting di masa yang akan datang.
4.       Pendirian Imam Ibnu Hanbal terhadap taklid
Imam Ibnu Hanbal merupakan seorang ahli sunnah dan ahli Atsar, dan beliau sangat keras terhadap penggunaan ra’yu, maka demikian Imam Ibnu Hanbal pailng keras terhadap taqlid buta dan orang yang bertaqlid terhadap urusan agama. Pendirian beliau yang seperti itu dapat dibuktikan dengan ucapannya yang beliau sampaikan kepada salah atu muridnya seperti Imam Abu Dawud pernah mendengar bahwa Imam Ibnu Hanbal Berkata “janganlah engkau bertaqlid kepada saya, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan janganlah pula kepada Tsauri tetapi ambillah olehmu darimana mereka Itu mengambil”. Dari perkataan beliau, jelas ras terhadap beliau melarang keras terahadap taqlid, dan beliau memerinntahkan supaya orang mengambil segala sesuatu dari sumbber yang telah mereka ambil (para Imam).




DAFTAR PUSTAKA
Terjemahan Tarikh Tasyri’
As-sayis, Syekh Muhammad Ali, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995
Jaih Mobarok, Kodifikasi hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Muh, Dr. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, PT. Raja Grafindo Husada, 1996. Cet. 1
Prof. Dr. H. Suparman Usman, S.H, Hukum Islam, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002 )

0 komentar:

Posting Komentar