بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
“BAB KAFARATUDZ DZIHAR”
"فصــل في كــفارة الظــهار"
Syaikh Abu
Syujak berkata :
﴿ والكفارة عتق رقبة مؤمنة سليمة من العيوب، فإن لم يجد فصيام
شهرين متتابعين، فإن لم يستطع فإطعام ستين مسكينا، كل مسكين مد، ولا يحل وطؤها حتى
يكفر ﴾
[Kafarat
ialah memerdekakan seorang budak beriman yang bersih dari cacat. Kalau
tidak dua bulan berturut-turut. Kemudian
kalau tidak berkuasa, maka member makan enam puluh orang miskin, setiap orang
miskin satu mud. Dan tidak halal mencampuri isterinya sampai ia membayar
kafarat].
Kafarah dzihar ialah kafarat berurutan
sesuai dengan ketentuan (nash) al-Qur’an al-‘Adzim. Allah SWT berfirman :
والذين يظاهرون من نسائهم ثم يعودون لما قالوا فتحرير رقبة
من قبل أن يتماسا، ذالكم توعظون به والله تعملون خبير. فمن لم يجد فصيام شهرين
متتابعين من قبل أن يتماسا، فمن لم يستطع فإطعام ستين مسكين. (سورة المجادلة : 3-4)
Artinya : "Orang-orang yang mendzihar isteri mereka, kemudian mereka
hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya)
berpuasa 2 bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. maka siapa yang
tidak berkuasa (wajiblah atasnya) memberi makan 60 orang miskin". (Al-Mujadalah : 3-4)
Sesuai dengan
ayat tersebut Rasulullah SAW menyuruh Salamah bin Shakhr Al-Bayadhi karena dia
telah mendzihar isterinya. Bentuk kafarat ada tiga :
1. Memerdekakan budak
Dalam melaksanakan kafarat pasti dengan niat, karena
dalam hal ini telah tertera dalam hadits yang masyhur yang menentukan niat. Dan
oleh karena itu, kafarat adalah suatu tuntunan (hak) berupa harta yang diwajibkan
untuk membersihkan, maka wajiblah padanya padanya niat seperti halnya zakat.
Dan niatnya cukup dengan menyebut kaffarah saja, tidaklah disyaratkan menyebut
wajibnya kafarat, karena kafarat itu tidak ada yang lain kecuali wajib saja.
Tetapi tidak cukup dengan berniat memerdekakan budak yang wajib tanpa menyebut
kaffarah, karena memerdekan budak itu kadang-kadang wajib dengan sebab nadzar.
Juga tidak wajub menentukan sebab untuk kafarah dzaihar / kaffarat membunuh /
kaffarat sumpah, sama halnya seperti tidak wajibnya menentukan harta yang
dizakati.
Semisal wajib kepada seseorang kaffarah dzihar dan
kaffarah jimak (pada bulan Ramadhan), kemudian ia memerdekakan budak dengan
niat kaffarah saja, maka kaffarah dianggap cukup bagi salah satu dari keduanya.
Demikian juga kalau ia menunaikan kaffarah dengan berpuasa atau memberi makan.
Jika anda bertanya apa perbedaan antara kaffarah dan
shalat yang disyaratkan ta’yin (menentukan)?. Bedanya, ibadah badaniyah adalah
lebih terbatas, karena hal itu tidak boleh diwakilkan, dan juga tingkat-tingkat
kesulitan shalat tersebut berbeda-beda, seperti waktu shalat shubuh lebih sulit
dan bilangan raka’at shalat dzuhur lebih banyak. Sedangkan antara kaffarah
dzihar dan kaffarah jimak tidak ada perbedaan. Tetapi jika telah ditentukan
kaffarah dalam sesuatu pelanggaran, maka tentulah kaffarah itu untuk
pelanggaran tersebut, dan tidak boleh dialihkan kepada pelanggaran lainnya
sesuai dengan apa yang telah ditentukan pada permulaannya. Dan semisal seorang
pada permulaannya menentukan kafaratudz dzihar, maka masih wajib ke atasnya
kafarah dzihar, maka tidak boleh dipindahkan menjadi kafarah selain kafarah
dzihar (baik disengaja maupun karena keliru), sama halnya seperti kalau ia
berniat zakat harta tertentu, kemudian harta itu rusak, maka tidak boleh
dialihkan kepada yang lain. Ada juga memerdekakan budak sebagai kaffarah
pelanggaran tertentu (ta’yin) tidak mencangkup pengertian kaffarah-kaffarah
yang lainnya.
Apakah disyaratkan niat itu harus bersamaan dengan waktu
memerdekakan dan memberi makan?. Di dalam tambahan kitab Ar-Roudhoh pada
dasarnya memang disyaratkan. Dan ada yang berpendapat boleh mendahulukan niat
sebagaimana telah dijelaskan dalam masalah zakat. Dan dalam Syarah
Al-Muhadzdzab dikatakan bahwa yang lebih shahih daripada dua wajah ialah
boleh mendahulukan niat zakat dari masa memberikannya. Sahabat-sahabat kami
berpendapat bahwa kaffarah dan zakat dalam hal itu sama belaka. Inilah yang
benar dan inilah menurut lahirnya nash. Demikian pendapat-pendapat sahabat
kami.
Perlu diketahui bahwa syarat diperbolehkannya
mendahulukan niat dalam zakat adalah niat itu harus bersamaan dengan waktu
memisahkan kadar harta untuk di zakatkan. Demikian juga, apabila anda sudah
mengetahui hal ini, maka hendaklah mengetahui bahwa disyaratkan budak yang akan
mencukupi kaffarah ada 4 hal ; yaitu :-
- Islam dan lafadz iman yang lebih utama karena lafadz tersebut adalah
nash Al-Qur’an,
- Bersih dari cacat-cacat yang dapat merugikan pekerjaan,
- Berstatus sebagai budak penuh,
- Dan sepi dari ganti rugi
Dengan demikian tidak mencukupi memerdekan budak kafir
untuk sesuatu kaffarah. Qaul demikian dikatakan oleh Malik, Ahmad RA, dan Abu
Hanifah RA “boleh memerdekakan budak kafir, kecuali untuk kaffarah membunuh
karena mengenai kaffarah itu Allah SWT berfirman :
فتــحرير رقبــة
مؤمنـــة. (سورة النساء : 92)
“....ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. (An-Nisa’ : 92)
Dan alasan kami boleh saja dikiaskan kaffarah membunuh
dengan kaffarah yang lain. Sedangkan Imam Syafi’i menyandarkan pernyataan
mutlak kepada yang muqaiyad (terbatas), dan ia menyerupakan halnya dengan
firman Allah SWT :
واســتشهــدوا شهـــــدين
من رجالـــــــــكم. (سورة البقرة : 282)
“....dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
lelaki (diantara)-mu”. (Al-Baqarah :
282)
Ayat tersebut disandarkan kepada yang muqaiyad (terbatas)
dalam firman Allah SWT, yang berbunyi :
وأشـــــهدوا ذوي
عـــــدل منــــــكم. (سورة الطلاق : 2)
“....dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil
(lurus) diantara kamu”. (At-Thalaq : 2)
Yang dimaksud dengan perkataan mushannif “yang bersih
dari cacat” ialah yang merugikan pekerjaan dengan jelas, karena tujuannya dalam
membayar kaffarah ialah menyempurnakan keadaan yang sepenuhnya untuk ibadah.
Sedangkan tugas orang-orang yang merdeka hanya berhasil berhasil apabila ia
bebas dan dapat bekerja untuk mencukupi diri sendiri. Kalau tidak, maka sudah
tentu ia terbebani atas dirinya sendiri dan atas orang lain. Dengan pengertian
demikian jadi tidak cukup budak yang terlalu tua, orang gila pada sebagian
besar waktunya, tetapi jika sadarnya lebih banyak, maka dapat mencukupi, dan
juga tidak dapat mencukupi jika gila dan sadarnya sama banyak, menurut madzhab.
Bagi orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan sembuh, maka tidak mencukupi,
dan jika masih bisa diharapkan sembuh maka boleh mencukupi.
Dengan demikian ada sebuah kinayah (kiasan) yang perlu
kita pahami, yang berbunyi:
“tidak cukup juga memerdekakan budak yang salah satu kakinya terputus dan juga budak yang
terputus ibu jari tangannya. Boleh mencukupi jikalau yang terputus jari selain
ibu jarinya. Tidak mencukupi jika yang terputus dua jari telunjuk atau jari
tengah, dan boleh mencukupi jika yang terputus jari kelingking pada sebelah
tangan dan jari manis pada sebelah tangan lainnya. Tidak mencukupi jiak yang terputus
kedua jari kelingking dan jari manis pada satu tangan, dan mencukupi jikalau
yang tersemua jari manis pada satu tangan atau mencukupi jika yang terputus
semua jari dari kedua belah kakinya”. Hal tersebut menurut qaul yang
shahih.
Dan juga mecukupi budak mudabbar dan budak yang
kemerdekaannya digantungkan kepada sesuatu sifat. Sedangkan budak yang ghoib
yang terputus beritanya tidak boleh mencukupi menurut madzhab. Dan budak yang
melarikan diri dan yang dirampas oleh orang lain, maka boleh mencukupi apabila
diyakini hidup keduanya, menurut qaul yang shahih, karena statusnya budak
penuh. Inilah yang shahih mengenai budak yang dirampas dan dipastikan oleh
sebagian banyak ulama’ Iraq bahwasannya “jikalau ia tidak berkuasa membebaskan
diri, maka tidak boleh mencukupi, sama seperti budak yang sakit kronik[1] karena tidak ada kemampuan lagi untuk bertindak
(tasharruf). Dan diberitakan pula dari jumhur ulama’ Khurasan bahwa budak yang
dirampas yang tidak berkuasa membebaskan diri boleh mencukupi karena milik dan
manfa’atnya sudah sempurna, dan itulah seperti myang diikuti Imam Rafi’i.
Adapun sepi dari ganti, maka sudah
menjadi syarat semestinya. Semisal jikalau seseorang memerdekakan budak agar ia
memperoleh kembali uang sedinar mas, maka tidak boleh mencukupi sebagai
kaffarah, menurut qaul yang shahih. Sedangkan jikalau dia mensyaratkan ganti
pada budak lain, misalnya ia berkata kepada seseorang,”Aku merdekakan
budakku ini, sebagai kaffarahku dengan seribu atasmu” lalu diterima oleh
orang itu. Atau sebaliknyaseseorang berkata, “Merdekakanlah dia (budak itu)
sebagai kaffarahmu dan aku akan memberimu sekian” lalu ia melakukannya,
maka tidak boleh mencukupi kaffarah, Wallahu-a’lam.
2. Puasa
Barang
siapa yang tidak mendapatkan budak, maka wajib ia berpuasa 2 bulan berturut-turut,
sesuai dalil sebelumnya. Kemudian tiadanya budak adakalanya sebab tidak
mendapatkannya / tidak adanya uang untuk membayar harganya / mendapatkannya
dengan harga yang tinggi / dia mendapatkannya tapi dibutuhkan dirinya sendiri
untuk menjadi pelayannya / dia memiliki uang tetapi dia membutuhkan uang
tersebut untuk belanja. Sedangkan orang yang membutuhkan, karena kebutuhan itu
meliputi sesuatuyang ada bersamanya, maka hukumnya seperti orang yang tidak
mempunyai, atau sama seperti orang yang mendapatkan air, padahal ia
membutuhkannya, maka hukunya berpindah kepada penggantinya. Demikian hal ini
juga karena ijmak menetapkan bahwa berkemampuan tidak dapat mencegah pindah ke
puasa karena membutuhkan. Dan yang dimaksud membutuhkan pelayan, misalnya ia sakit
/ ia sudah tua / memiliki penyakit kronik atau kegemukkan sehingga tidak
berkuasa melayani dirinya sendiri, atau memang kebiasaannya tidak dapat
melayani dirinya sendiri sekalipun ia sehat. Kalau ia sudah dapat melayani
dirinya sendiri seperti orang-orang pertengahan, maka wajb memerdekakan menurut
qaul yang rajih.
Dan yang dimaksud dengan belanja adalah bahan pangannya
dan pangan keluarganya, pakaian mereka dan kebutuhan lainnya seperti
perabotan-perabotan rumah tangga, dan juga membeli budak yang di butuhkan
sebagai pembantu. Dan apakah belanja dan pakaian itu ditentukan untuk masa
tertentu?. Kata Imam Rafi’i, sahabat-sahabat kami tidak menentukannya; jadi
boleh dihitung secukup usianya, dan boleh juga dihitung secukup satu tahun.
Pendapat Al-Baghawi menguatkan bahwa orang tersebut boleh memperhitungkan
sehelai baju musim dingin dan sehelai baju musim panas. Kata Imam Nawawi, yang
benar ialah yang kedua, yakni secukup satu tuhan. Kata Ibnu Rif’ah,
sahabat-sahabatnya menentang pendapat kedua berkenaan dengan kaffarah sumpah.
Kata mereka apa yang diberitakan Al-Muhamili dan lainnya bahwa orang yang tidak
berkecukupan selamanya, sekalipun ia mempunyai tanah yang produktif atau modal
yang diusahakan dalam perdagangan, dan ia telah mendapat kecukupannya dengan
kedua modal tersebut, meskipun modal itu tidak bertambah; jikalau untuk
memperoleh seorang budak dengan menjual kedua modal tersebut niscaya menjadilah
ia dalam kategori orang-orang miskin, maka tidak boleh dipaksa menjualnya,
menurut madzhab yang ditetapkan oleh Jumhur Ulama’. Dan kalau orang tersebut
mempunyai binatang ternak yang dapat menghasilkan susu, maka sama dengan
mempunyai tanah yang produktif, jika penghasilannya tidak bertambah untuk
memberi kecukupannya, tidak boleh dipaksa menjualnya. Dan kalau lebih hasilnya,
maka wajib menjual kelebihannya. Demikian disebutkan oleh Al-Mawardi. Wallahu a’lam.
Cabang Permasalahan
Seseorang mempunyai harta kontan dan ia tidak mendapatkan
budak atau mempunyai harta tetapi hartanya tidak di tanggannya (ghaib), ia
tidak boleh beralih kepada puasa untuk kaffarah membunuh, jimak (di bulan
Ramadhan), dan sumpah, tetapi ia menunggu sampai mendapat budak atau memperoleh
hartanya yang ghaib, karena kaffarah boleh dibayar bertempoh, dan jikalau orangnya
ditakdirkan mati, maka boleh dibayar dari harta peninggalannya. Dan
mengenai kaffarah dzihar ada dua wajah, karena suami akan merasakan mudharat
dengan terhalangnya dari bersenang-senang. Imam Ghazali dan Al-Mutawalli
menentukan untuk memberatkan wajibnya bersabar. Pernyataan ini adalah ungkapan
di dalam kitab Ar-Roudhoh. Hal yang telah dijelaskan oleh Imam Ghazali
dan Al-Mutawalli telah dibenarkan oleh Imam Nawawi dalam kitab At-Tanbih.
Dan diambil dari perkataan Imam Rafi’i dalam kitab Ar-Roudhoh disini dapat disimpulkan bahwa
kaffarah-kaffarah yang wajib disini dengan sebab yang diharamkan, dan harus
dilakukan segera. Dan Imam Nawawi juga menjelaskan dalam kitab Syarkh Muslim
berkenaan dengan hadits tentang orang yang bersetubuh di bulan Ramadhan, bahwa
kaffarahnya boleh dilakukan secara bertempoh. Dan yang jelas mengenai orang
yang bersetubuh di bulan Ramadhan terdapat banyak khilaf dalam masalah
hukumnya. Wallahu a’lam.
Kalau memang sudah sulit bagi orang yang mendzihar untuk
memerdekakan budak, barulah ia boleh membayar kaffarah dengan berpuasa. Apakah
mudah dipandang / sulit dikira pada waktu hendak melaksanakannya pada waktu
wajib ataukah pada waktu yang terberat dari kedua keadaan tersebut ?. Dari
permasalahan ini terdapat beberapa qaul berpendapat : Qaul Adzhar berpandapat
bahwa untuk menyegerakan melaksanakannya, disebabkan kaffarah itu adalah ibadah
yang mempunyai ganti dari jenisnya yang lain. Oleh karena itu, yang dianggap
gampang atau sulit mengenai kaffarah ialah ketika hendak melaksanakannya, sama
halnya dengan wudhu’, tayammum, berdiri, dan duduk dalam shalat. Berdasarkan
pengertian ini, jikalau seseorang yang mendzihar isterinya itu kaya, maka wajib
atasnya ialah memerdekakan budak, dan jika seseorang tersebut susah, maka yang
wajib atasnya adalah berpuasa, meskipun ia sebelumnya kaya. Ketika ia telah
memulai puasa tersebut, dan dalam pertengan dia tiba-tiba mendadak menjadi kaya,
maka ia boleh meneruskan puasanya, dan tidak wajib beralih kepada kaffarah
untuk memerdekakan budak menurut qaul yang Ashah. Tetapi Al-Muzani
mengatakan bahwa ia wajib beralih. Berdasarkan qaul yang shahih mengenai
bolehnya berpindah dari puasa, ada dua wajah, sama seperti dua wajah berkenaan
dengan melihat air ketika dalam keadaan shalat, maka bukan fardhunya yang gugur
melainkan tayammumnya.
Cabang Permasalahan
Apabila sudah diwajibkan puasa, maka orang yang membayar
kaffarah itu wajib berniat puasa pada setiap malam, dan tidak wajib menentukan
(ta’yin) kaffarah yang dimaksud, juga tidak wajib berniat puasa berturut-turut,
menurut qaul yang ashah, karena puasa itu sendiri wajib berturut-turut
sebgaimana telah ditentukan oleh nash Al-Qur’an Al-‘Adzim. Jikalau orang yang
mendzihar itu bersetubuh sebelum puasanya selesai, maka ia berdosa, dan
perbuatannya tersebut tidaklah menjadi suatu pemutus akan puasanya yang
berturut-turut itu. Kalau ia berbuka satu hari, sekalipun hari yang terakhir
dari hari-hari puasanya, maka ia wajib memulai semula semua puasanya lagi. Dan
kalau ia tidak tahan menahan lapar, lalu berbuka, maka rusaklah puasanya yang
berturut-turut itu. Dan juga lupa berniat pada suatu malam, kemudian memutuskan
puasa yang berturut-turut dengan merubahnya dengan meninggalkan niat dengan
sengaja. Dan kalau dia ragu-ragu pada suatu hari sesudah selesai puasanya,
misalnya dia ragu “apakah ia berniat ataukah tidak”, maka tidak wajib ia
memulai lagi puasanya dari mula menurut qaul yang shahih, dan ragu-ragu tidak
ada pengaruhnya sesudah selesai puasa pada hari itu. Demikian Ar-Ruyani
menyebutkan.
Tidak berpuasa karena sakit, juga dapat memutuskan puasa
berturut-turut, menurut qaul yang adzhar, karena sakit itu tidak mengangkat
puasa. Berbeda dengan gila, ada salah satu qaul mengatakan bahwa gila seperti
sakit dan pingsan juga dikatakan seperti gila. Kalau sedang dalam perjalanan
ada khilaf. Salah satu qaul mengatakan bahwa bepergian itu seperti orang sakit,
dan salah satu qaul yang lain mengatakan bahwa puasa itu pasti terputus
disebabkan karena bepergian, oleh karena itu bepergian itu berlaku dengan
kemauannya sendiri. Demikian diberitakan oleh Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Dan
pada kesimpulannya, menurut madzhab bahwa puasa berturut-turut itu boleh
terputus sebab berbuka dalam perjalanan (bepergian).
3. Memberi makan
Barangsiapa yang tidak berkuasa berpuasa sebab ia sangat
tua, sakit, menanggung keberatan (tidak berupaya), takut penyakitnya bertambah
parah, atau yang lainnya. Maka ia boleh membayar kaffarah dengan memberi makan,
sesuai hujjah (dalil sebelumnya).
Apakah disyaratkan atau tidak bagi seorang yang sakitnya
tak diketahui sembuhnya? Kata sebagian golongan ulama’ mengatakan disyaratkan.
Menurut Imam Haramain dan Imam Ghazali, kalau memang menurut pertimbangan para
dokter besar atau kebiasaan dari sakit itu yang masanya terus-menerus selama 2
bulan, maka ia boleh beralih kepada kaffarah yakni memberi makan 60 orang
miskin. Imam Nawawi membenarkan apa yang dikatakan Imam Haramain dan Imam
Ghazali seraya berkata, “Para Fuqoha’ yang lain telah sepakat dengan pendapat
Imam Haramain dan Imam Ghazali tersebut”.
Setelah
kita mengetahui ketentuan dari penjelasan di atas, maka disini akan menjelaskan
sedikit tentang seberapa banyak makanan yang akan dikasihkan kepada 60 orang
miskin itu? Setiap orang miskin akan mendapatkan jatah 1 mud (1,5 ons / 1 paun
baghdad) bahan pangan dari Negara masing-masing, intinya bahan pangan tersebut
termasuk sesuatu yang wajib digunakan untuk berzakat (seperti di Indonesia
adalah beras, jadi bahan pangan tersebut tak luput dari beras itu). Dan untuk
ketentuan yang lain, kaffarah tidak boleh diberikan kepada orang kafir, tidak
boleh diberikan kepada keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthallib, tidak boleh
diberikan kepada kerabat seperti isteri atau keluarga sendiri, tidak boleh juga
diberikan kepada seorang hamba sahaya. Boleh diberikan kepada hamba sahaya,
jikalau mendapatkan izin dari tuannya yang statusnya sebagai seorang mustahik
(berhak), karena milik hamba sahaya mengalih kepada tuannya. Dan juga boleh
diberikan kepada wali anak kecil dan orang gila. Wallahu a’lam.
Cabang
Permasalahan
Kalau
orang yang mendzihar tersebut tidak mampu berkuasa membayar kaffarah baik
memerdekakan budak, puasa, dan memberi makanan kepada 60 orang miskin kecuali
hanya 10 orang miskin / hanya
memiliki bahan pangan 1 mud saja, maka tetap ia wajib mengeluarkan kaffarahnya
tanpa ada khilaf, karena tidak ada lagi pengganti setelah memberi makan 60
orang miskin. Dan jikalau ia masih belum mampu untuk mengeluarkan kaffarah
tersebut, maka kaffarah tersebut tetap menjadi tanggungannya, menurut qaul yang
adzhar.
Dan perkataan mushannif tidak boleh bersetubuh dengan isterinya
sampai si suami membayar kaffarah tersebut, dan ketetapan sesuai dengan ayat
telah dijelaskan sebelumnya.
Cabang Permasalahan
Semisal ada si suami berkata seorang isterinya, “Engkau
bagiku seperti punggung ibuku, Engkau bagiku seperti punggung ibuku, Engkau
bagiku seperti punggung ibuku” dilihat dulu, jikalau ungkapan yang kedua dan
ketiga itu sebagai penguat ungkapan yang pertama, maka jatuh satu kali dzihar.
Jikalau setelah ia mengungkapkan kata tersebut, tetapi masih menahan isterinya,
maka samalah ia menarik kembali ucapannya dan wajib kaffarah satu kali. Dan
jika ungkapan yang kedua atau yang ketiga itu bertujuan untuk mengungkapan
dzihar yang lain, maka kaffarahnya pun menjadi bertambah (berbilang) menurut
qaul jadid. Dan jikalau ia mengatakannya secara mutlak (sengaja), dengan tidak
berniat apapun, apakah dzihar itu jatuh satu ataukah berbilang? Ada khilaf
dalam permasalahan ini, qaul adzhar (diputuskan oleh Ibnus Shabagh dan
Al-Mutawalli) mengatakan wajib satu kali dzihar, dan telah dikatakan
sebelumnya, jikalau lafadz talak diucapkan berkali-kali secara mutlak, maka
talak tersebut jatuh terbilang.
Perbedaan talak dan dzihar adalah talak itu lebih kuat
karena ia menghilangkan milik, berbeda dengan dzihar (sebaliknya), karena talak
itu memiliki bilangan (ketentuan) yang terbatas, dan si suami itulah yang
memiliki hak talak. Maka apabila mengulangi talak, yang jelas dia ingin
memiliki semula orang yang dimiliki si suami, maka hukumnya sesuai dengan bab
talak (yang telah dijelaskan sebelumnya). Sedangkan untuk dzihar sendiri tidak
terbilang dan tidak dimiliki si suami. Dan kalau ucapannya itu terpisah-pisah,
dan dalam setiap kali ucapan itu bermaksud dzihar baru, maka setiap kali itu
menjadi unsur jatuhnya dzihar satu kali. Wallahu a’lam.
Refrensi Utama : Kitab Kifayatul Akhyar
0 komentar:
Posting Komentar