Pages

أهلا وسهلاعلى بلدي بلوق أن يفسر معنى في رحم الإسلام

Minggu, 14 April 2013

BAB KAFARAH


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

“BAB KAFARATUDZ DZIHAR”
"فصــل في كــفارة الظــهار"
Syaikh Abu Syujak berkata :
﴿ والكفارة عتق رقبة مؤمنة سليمة من العيوب، فإن لم يجد فصيام شهرين متتابعين، فإن لم يستطع فإطعام ستين مسكينا، كل مسكين مد، ولا يحل وطؤها حتى يكفر ﴾
[Kafarat ialah memerdekakan seorang budak beriman yang bersih dari cacat. Kalau tidak  dua bulan berturut-turut. Kemudian kalau tidak berkuasa, maka member makan enam puluh orang miskin, setiap orang miskin satu mud. Dan tidak halal mencampuri isterinya sampai ia membayar kafarat].

Kafarah dzihar ialah kafarat berurutan sesuai dengan ketentuan (nash) al-Qur’an al-‘Adzim. Allah SWT berfirman :
والذين يظاهرون من نسائهم ثم يعودون لما قالوا فتحرير رقبة من قبل أن يتماسا، ذالكم توعظون به والله تعملون خبير. فمن لم يجد فصيام شهرين متتابعين من قبل أن يتماسا، فمن لم يستطع فإطعام ستين مسكين. (سورة المجادلة : 3-4)
Artinya : "Orang-orang yang mendzihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa 2 bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. maka siapa yang tidak berkuasa (wajiblah atasnya) memberi makan 60 orang miskin". (Al-Mujadalah : 3-4)
Sesuai dengan ayat tersebut Rasulullah SAW menyuruh Salamah bin Shakhr Al-Bayadhi karena dia telah mendzihar isterinya. Bentuk kafarat ada tiga :
1.      Memerdekakan budak
Dalam melaksanakan kafarat pasti dengan niat, karena dalam hal ini telah tertera dalam hadits yang masyhur yang menentukan niat. Dan oleh karena itu, kafarat adalah suatu tuntunan (hak) berupa harta yang diwajibkan untuk membersihkan, maka wajiblah padanya padanya niat seperti halnya zakat. Dan niatnya cukup dengan menyebut kaffarah saja, tidaklah disyaratkan menyebut wajibnya kafarat, karena kafarat itu tidak ada yang lain kecuali wajib saja. Tetapi tidak cukup dengan berniat memerdekakan budak yang wajib tanpa menyebut kaffarah, karena memerdekan budak itu kadang-kadang wajib dengan sebab nadzar. Juga tidak wajub menentukan sebab untuk kafarah dzaihar / kaffarat membunuh / kaffarat sumpah, sama halnya seperti tidak wajibnya menentukan harta yang dizakati.
Semisal wajib kepada seseorang kaffarah dzihar dan kaffarah jimak (pada bulan Ramadhan), kemudian ia memerdekakan budak dengan niat kaffarah saja, maka kaffarah dianggap cukup bagi salah satu dari keduanya. Demikian juga kalau ia menunaikan kaffarah dengan berpuasa atau memberi makan.
Jika anda bertanya apa perbedaan antara kaffarah dan shalat yang disyaratkan ta’yin (menentukan)?. Bedanya, ibadah badaniyah adalah lebih terbatas, karena hal itu tidak boleh diwakilkan, dan juga tingkat-tingkat kesulitan shalat tersebut berbeda-beda, seperti waktu shalat shubuh lebih sulit dan bilangan raka’at shalat dzuhur lebih banyak. Sedangkan antara kaffarah dzihar dan kaffarah jimak tidak ada perbedaan. Tetapi jika telah ditentukan kaffarah dalam sesuatu pelanggaran, maka tentulah kaffarah itu untuk pelanggaran tersebut, dan tidak boleh dialihkan kepada pelanggaran lainnya sesuai dengan apa yang telah ditentukan pada permulaannya. Dan semisal seorang pada permulaannya menentukan kafaratudz dzihar, maka masih wajib ke atasnya kafarah dzihar, maka tidak boleh dipindahkan menjadi kafarah selain kafarah dzihar (baik disengaja maupun karena keliru), sama halnya seperti kalau ia berniat zakat harta tertentu, kemudian harta itu rusak, maka tidak boleh dialihkan kepada yang lain. Ada juga memerdekakan budak sebagai kaffarah pelanggaran tertentu (ta’yin) tidak mencangkup pengertian kaffarah-kaffarah yang lainnya.
Apakah disyaratkan niat itu harus bersamaan dengan waktu memerdekakan dan memberi makan?. Di dalam tambahan kitab Ar-Roudhoh pada dasarnya memang disyaratkan. Dan ada yang berpendapat boleh mendahulukan niat sebagaimana telah dijelaskan dalam masalah zakat. Dan dalam Syarah Al-Muhadzdzab dikatakan bahwa yang lebih shahih daripada dua wajah ialah boleh mendahulukan niat zakat dari masa memberikannya. Sahabat-sahabat kami berpendapat bahwa kaffarah dan zakat dalam hal itu sama belaka. Inilah yang benar dan inilah menurut lahirnya nash. Demikian pendapat-pendapat sahabat kami.
Perlu diketahui bahwa syarat diperbolehkannya mendahulukan niat dalam zakat adalah niat itu harus bersamaan dengan waktu memisahkan kadar harta untuk di zakatkan. Demikian juga, apabila anda sudah mengetahui hal ini, maka hendaklah mengetahui bahwa disyaratkan budak yang akan mencukupi kaffarah ada 4 hal ; yaitu :-
  1. Islam dan lafadz iman yang lebih utama karena lafadz tersebut adalah nash Al-Qur’an,
  2. Bersih dari cacat-cacat yang dapat merugikan pekerjaan,
  3. Berstatus sebagai budak penuh,
  4. Dan sepi dari ganti rugi
Dengan demikian tidak mencukupi memerdekan budak kafir untuk sesuatu kaffarah. Qaul demikian dikatakan oleh Malik, Ahmad RA, dan Abu Hanifah RA “boleh memerdekakan budak kafir, kecuali untuk kaffarah membunuh karena mengenai kaffarah itu Allah SWT berfirman :
فتــحرير رقبــة مؤمنـــة. (سورة النساء : 92)
“....ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. (An-Nisa’ : 92)
Dan alasan kami boleh saja dikiaskan kaffarah membunuh dengan kaffarah yang lain. Sedangkan Imam Syafi’i menyandarkan pernyataan mutlak kepada yang muqaiyad (terbatas), dan ia menyerupakan halnya dengan firman Allah SWT :
واســتشهــدوا شهـــــدين من رجالـــــــــكم. (سورة البقرة : 282)
“....dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari lelaki (diantara)-mu”. (Al-Baqarah : 282)
Ayat tersebut disandarkan kepada yang muqaiyad (terbatas) dalam firman Allah SWT, yang berbunyi :
وأشـــــهدوا ذوي عـــــدل منــــــكم. (سورة الطلاق : 2)
“....dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil (lurus) diantara kamu”. (At-Thalaq : 2)
Yang dimaksud dengan perkataan mushannif “yang bersih dari cacat” ialah yang merugikan pekerjaan dengan jelas, karena tujuannya dalam membayar kaffarah ialah menyempurnakan keadaan yang sepenuhnya untuk ibadah. Sedangkan tugas orang-orang yang merdeka hanya berhasil berhasil apabila ia bebas dan dapat bekerja untuk mencukupi diri sendiri. Kalau tidak, maka sudah tentu ia terbebani atas dirinya sendiri dan atas orang lain. Dengan pengertian demikian jadi tidak cukup budak yang terlalu tua, orang gila pada sebagian besar waktunya, tetapi jika sadarnya lebih banyak, maka dapat mencukupi, dan juga tidak dapat mencukupi jika gila dan sadarnya sama banyak, menurut madzhab. Bagi orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan sembuh, maka tidak mencukupi, dan jika masih bisa diharapkan sembuh maka boleh mencukupi.
Dengan demikian ada sebuah kinayah (kiasan) yang perlu kita pahami, yang berbunyi:
“tidak cukup juga memerdekakan budak yang salah satu kakinya terputus dan juga budak yang terputus ibu jari tangannya. Boleh mencukupi jikalau yang terputus jari selain ibu jarinya. Tidak mencukupi jika yang terputus dua jari telunjuk atau jari tengah, dan boleh mencukupi jika yang terputus jari kelingking pada sebelah tangan dan jari manis pada sebelah tangan lainnya. Tidak mencukupi jiak yang terputus kedua jari kelingking dan jari manis pada satu tangan, dan mencukupi jikalau yang tersemua jari manis pada satu tangan atau mencukupi jika yang terputus semua jari dari kedua belah kakinya”. Hal tersebut menurut qaul yang shahih.
Dan juga mecukupi budak mudabbar dan budak yang kemerdekaannya digantungkan kepada sesuatu sifat. Sedangkan budak yang ghoib yang terputus beritanya tidak boleh mencukupi menurut madzhab. Dan budak yang melarikan diri dan yang dirampas oleh orang lain, maka boleh mencukupi apabila diyakini hidup keduanya, menurut qaul yang shahih, karena statusnya budak penuh. Inilah yang shahih mengenai budak yang dirampas dan dipastikan oleh sebagian banyak ulama’ Iraq bahwasannya “jikalau ia tidak berkuasa membebaskan diri, maka tidak boleh mencukupi, sama seperti budak yang sakit kronik[1] karena tidak ada kemampuan lagi untuk bertindak (tasharruf). Dan diberitakan pula dari jumhur ulama’ Khurasan bahwa budak yang dirampas yang tidak berkuasa membebaskan diri boleh mencukupi karena milik dan manfa’atnya sudah sempurna, dan itulah seperti myang diikuti Imam Rafi’i.
Adapun sepi dari ganti, maka sudah menjadi syarat semestinya. Semisal jikalau seseorang memerdekakan budak agar ia memperoleh kembali uang sedinar mas, maka tidak boleh mencukupi sebagai kaffarah, menurut qaul yang shahih. Sedangkan jikalau dia mensyaratkan ganti pada budak lain, misalnya ia berkata kepada seseorang,”Aku merdekakan budakku ini, sebagai kaffarahku dengan seribu atasmu” lalu diterima oleh orang itu. Atau sebaliknyaseseorang berkata, “Merdekakanlah dia (budak itu) sebagai kaffarahmu dan aku akan memberimu sekian” lalu ia melakukannya, maka tidak boleh mencukupi kaffarah, Wallahu-a’lam.
2.      Puasa
Barang siapa yang tidak mendapatkan budak, maka wajib ia berpuasa 2 bulan berturut-turut, sesuai dalil sebelumnya. Kemudian tiadanya budak adakalanya sebab tidak mendapatkannya / tidak adanya uang untuk membayar harganya / mendapatkannya dengan harga yang tinggi / dia mendapatkannya tapi dibutuhkan dirinya sendiri untuk menjadi pelayannya / dia memiliki uang tetapi dia membutuhkan uang tersebut untuk belanja. Sedangkan orang yang membutuhkan, karena kebutuhan itu meliputi sesuatuyang ada bersamanya, maka hukumnya seperti orang yang tidak mempunyai, atau sama seperti orang yang mendapatkan air, padahal ia membutuhkannya, maka hukunya berpindah kepada penggantinya. Demikian hal ini juga karena ijmak menetapkan bahwa berkemampuan tidak dapat mencegah pindah ke puasa karena membutuhkan. Dan yang dimaksud membutuhkan pelayan, misalnya ia sakit / ia sudah tua / memiliki penyakit kronik atau kegemukkan sehingga tidak berkuasa melayani dirinya sendiri, atau memang kebiasaannya tidak dapat melayani dirinya sendiri sekalipun ia sehat. Kalau ia sudah dapat melayani dirinya sendiri seperti orang-orang pertengahan, maka wajb memerdekakan menurut qaul yang rajih.
Dan yang dimaksud dengan belanja adalah bahan pangannya dan pangan keluarganya, pakaian mereka dan kebutuhan lainnya seperti perabotan-perabotan rumah tangga, dan juga membeli budak yang di butuhkan sebagai pembantu. Dan apakah belanja dan pakaian itu ditentukan untuk masa tertentu?. Kata Imam Rafi’i, sahabat-sahabat kami tidak menentukannya; jadi boleh dihitung secukup usianya, dan boleh juga dihitung secukup satu tahun. Pendapat Al-Baghawi menguatkan bahwa orang tersebut boleh memperhitungkan sehelai baju musim dingin dan sehelai baju musim panas. Kata Imam Nawawi, yang benar ialah yang kedua, yakni secukup satu tuhan. Kata Ibnu Rif’ah, sahabat-sahabatnya menentang pendapat kedua berkenaan dengan kaffarah sumpah. Kata mereka apa yang diberitakan Al-Muhamili dan lainnya bahwa orang yang tidak berkecukupan selamanya, sekalipun ia mempunyai tanah yang produktif atau modal yang diusahakan dalam perdagangan, dan ia telah mendapat kecukupannya dengan kedua modal tersebut, meskipun modal itu tidak bertambah; jikalau untuk memperoleh seorang budak dengan menjual kedua modal tersebut niscaya menjadilah ia dalam kategori orang-orang miskin, maka tidak boleh dipaksa menjualnya, menurut madzhab yang ditetapkan oleh Jumhur Ulama’. Dan kalau orang tersebut mempunyai binatang ternak yang dapat menghasilkan susu, maka sama dengan mempunyai tanah yang produktif, jika penghasilannya tidak bertambah untuk memberi kecukupannya, tidak boleh dipaksa menjualnya. Dan kalau lebih hasilnya, maka wajib menjual kelebihannya. Demikian disebutkan oleh Al-Mawardi. Wallahu a’lam.
Cabang Permasalahan
Seseorang mempunyai harta kontan dan ia tidak mendapatkan budak atau mempunyai harta tetapi hartanya tidak di tanggannya (ghaib), ia tidak boleh beralih kepada puasa untuk kaffarah membunuh, jimak (di bulan Ramadhan), dan sumpah, tetapi ia menunggu sampai mendapat budak atau memperoleh hartanya yang ghaib, karena kaffarah boleh dibayar bertempoh, dan jikalau orangnya ditakdirkan mati, maka boleh dibayar dari harta peninggalannya. Dan mengenai kaffarah dzihar ada dua wajah, karena suami akan merasakan mudharat dengan terhalangnya dari bersenang-senang. Imam Ghazali dan Al-Mutawalli menentukan untuk memberatkan wajibnya bersabar. Pernyataan ini adalah ungkapan di dalam kitab Ar-Roudhoh. Hal yang telah dijelaskan oleh Imam Ghazali dan Al-Mutawalli telah dibenarkan oleh Imam Nawawi dalam kitab At-Tanbih. Dan diambil dari perkataan Imam Rafi’i dalam kitab Ar-Roudhoh disini dapat disimpulkan bahwa kaffarah-kaffarah yang wajib disini dengan sebab yang diharamkan, dan harus dilakukan segera. Dan Imam Nawawi juga menjelaskan dalam kitab Syarkh Muslim berkenaan dengan hadits tentang orang yang bersetubuh di bulan Ramadhan, bahwa kaffarahnya boleh dilakukan secara bertempoh. Dan yang jelas mengenai orang yang bersetubuh di bulan Ramadhan terdapat banyak khilaf dalam masalah hukumnya. Wallahu a’lam.
Kalau memang sudah sulit bagi orang yang mendzihar untuk memerdekakan budak, barulah ia boleh membayar kaffarah dengan berpuasa. Apakah mudah dipandang / sulit dikira pada waktu hendak melaksanakannya pada waktu wajib ataukah pada waktu yang terberat dari kedua keadaan tersebut ?. Dari permasalahan ini terdapat beberapa qaul berpendapat : Qaul Adzhar berpandapat bahwa untuk menyegerakan melaksanakannya, disebabkan kaffarah itu adalah ibadah yang mempunyai ganti dari jenisnya yang lain. Oleh karena itu, yang dianggap gampang atau sulit mengenai kaffarah ialah ketika hendak melaksanakannya, sama halnya dengan wudhu’, tayammum, berdiri, dan duduk dalam shalat. Berdasarkan pengertian ini, jikalau seseorang yang mendzihar isterinya itu kaya, maka wajib atasnya ialah memerdekakan budak, dan jika seseorang tersebut susah, maka yang wajib atasnya adalah berpuasa, meskipun ia sebelumnya kaya. Ketika ia telah memulai puasa tersebut, dan dalam pertengan dia tiba-tiba mendadak menjadi kaya, maka ia boleh meneruskan puasanya, dan tidak wajib beralih kepada kaffarah untuk memerdekakan budak menurut qaul yang Ashah. Tetapi Al-Muzani mengatakan bahwa ia wajib beralih. Berdasarkan qaul yang shahih mengenai bolehnya berpindah dari puasa, ada dua wajah, sama seperti dua wajah berkenaan dengan melihat air ketika dalam keadaan shalat, maka bukan fardhunya yang gugur melainkan tayammumnya.
Cabang Permasalahan
Apabila sudah diwajibkan puasa, maka orang yang membayar kaffarah itu wajib berniat puasa pada setiap malam, dan tidak wajib menentukan (ta’yin) kaffarah yang dimaksud, juga tidak wajib berniat puasa berturut-turut, menurut qaul yang ashah, karena puasa itu sendiri wajib berturut-turut sebgaimana telah ditentukan oleh nash Al-Qur’an Al-‘Adzim. Jikalau orang yang mendzihar itu bersetubuh sebelum puasanya selesai, maka ia berdosa, dan perbuatannya tersebut tidaklah menjadi suatu pemutus akan puasanya yang berturut-turut itu. Kalau ia berbuka satu hari, sekalipun hari yang terakhir dari hari-hari puasanya, maka ia wajib memulai semula semua puasanya lagi. Dan kalau ia tidak tahan menahan lapar, lalu berbuka, maka rusaklah puasanya yang berturut-turut itu. Dan juga lupa berniat pada suatu malam, kemudian memutuskan puasa yang berturut-turut dengan merubahnya dengan meninggalkan niat dengan sengaja. Dan kalau dia ragu-ragu pada suatu hari sesudah selesai puasanya, misalnya dia ragu “apakah ia berniat ataukah tidak”, maka tidak wajib ia memulai lagi puasanya dari mula menurut qaul yang shahih, dan ragu-ragu tidak ada pengaruhnya sesudah selesai puasa pada hari itu. Demikian Ar-Ruyani menyebutkan.
Tidak berpuasa karena sakit, juga dapat memutuskan puasa berturut-turut, menurut qaul yang adzhar, karena sakit itu tidak mengangkat puasa. Berbeda dengan gila, ada salah satu qaul mengatakan bahwa gila seperti sakit dan pingsan juga dikatakan seperti gila. Kalau sedang dalam perjalanan ada khilaf. Salah satu qaul mengatakan bahwa bepergian itu seperti orang sakit, dan salah satu qaul yang lain mengatakan bahwa puasa itu pasti terputus disebabkan karena bepergian, oleh karena itu bepergian itu berlaku dengan kemauannya sendiri. Demikian diberitakan oleh Imam Rafi’i dan Imam Nawawi. Dan pada kesimpulannya, menurut madzhab bahwa puasa berturut-turut itu boleh terputus sebab berbuka dalam perjalanan (bepergian).
3.      Memberi makan
Barangsiapa yang tidak berkuasa berpuasa sebab ia sangat tua, sakit, menanggung keberatan (tidak berupaya), takut penyakitnya bertambah parah, atau yang lainnya. Maka ia boleh membayar kaffarah dengan memberi makan, sesuai hujjah (dalil sebelumnya).
Apakah disyaratkan atau tidak bagi seorang yang sakitnya tak diketahui sembuhnya? Kata sebagian golongan ulama’ mengatakan disyaratkan. Menurut Imam Haramain dan Imam Ghazali, kalau memang menurut pertimbangan para dokter besar atau kebiasaan dari sakit itu yang masanya terus-menerus selama 2 bulan, maka ia boleh beralih kepada kaffarah yakni memberi makan 60 orang miskin. Imam Nawawi membenarkan apa yang dikatakan Imam Haramain dan Imam Ghazali seraya berkata, “Para Fuqoha’ yang lain telah sepakat dengan pendapat Imam Haramain dan Imam Ghazali tersebut”.
Setelah kita mengetahui ketentuan dari penjelasan di atas, maka disini akan menjelaskan sedikit tentang seberapa banyak makanan yang akan dikasihkan kepada 60 orang miskin itu? Setiap orang miskin akan mendapatkan jatah 1 mud (1,5 ons / 1 paun baghdad) bahan pangan dari Negara masing-masing, intinya bahan pangan tersebut termasuk sesuatu yang wajib digunakan untuk berzakat (seperti di Indonesia adalah beras, jadi bahan pangan tersebut tak luput dari beras itu). Dan untuk ketentuan yang lain, kaffarah tidak boleh diberikan kepada orang kafir, tidak boleh diberikan kepada keturunan Bani Hasyim dan Bani Muthallib, tidak boleh diberikan kepada kerabat seperti isteri atau keluarga sendiri, tidak boleh juga diberikan kepada seorang hamba sahaya. Boleh diberikan kepada hamba sahaya, jikalau mendapatkan izin dari tuannya yang statusnya sebagai seorang mustahik (berhak), karena milik hamba sahaya mengalih kepada tuannya. Dan juga boleh diberikan kepada wali anak kecil dan orang gila. Wallahu a’lam.
Cabang Permasalahan
Kalau orang yang mendzihar tersebut tidak mampu berkuasa membayar kaffarah baik memerdekakan budak, puasa, dan memberi makanan kepada 60 orang miskin kecuali hanya 10 orang miskin / hanya memiliki bahan pangan 1 mud saja, maka tetap ia wajib mengeluarkan kaffarahnya tanpa ada khilaf, karena tidak ada lagi pengganti setelah memberi makan 60 orang miskin. Dan jikalau ia masih belum mampu untuk mengeluarkan kaffarah tersebut, maka kaffarah tersebut tetap menjadi tanggungannya, menurut qaul yang adzhar.
Dan perkataan mushannif tidak boleh bersetubuh dengan isterinya sampai si suami membayar kaffarah tersebut, dan ketetapan sesuai dengan ayat telah dijelaskan sebelumnya.
Cabang Permasalahan
Semisal ada si suami berkata seorang isterinya, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku, Engkau bagiku seperti punggung ibuku, Engkau bagiku seperti punggung ibuku” dilihat dulu, jikalau ungkapan yang kedua dan ketiga itu sebagai penguat ungkapan yang pertama, maka jatuh satu kali dzihar. Jikalau setelah ia mengungkapkan kata tersebut, tetapi masih menahan isterinya, maka samalah ia menarik kembali ucapannya dan wajib kaffarah satu kali. Dan jika ungkapan yang kedua atau yang ketiga itu bertujuan untuk mengungkapan dzihar yang lain, maka kaffarahnya pun menjadi bertambah (berbilang) menurut qaul jadid. Dan jikalau ia mengatakannya secara mutlak (sengaja), dengan tidak berniat apapun, apakah dzihar itu jatuh satu ataukah berbilang? Ada khilaf dalam permasalahan ini, qaul adzhar (diputuskan oleh Ibnus Shabagh dan Al-Mutawalli) mengatakan wajib satu kali dzihar, dan telah dikatakan sebelumnya, jikalau lafadz talak diucapkan berkali-kali secara mutlak, maka talak tersebut jatuh terbilang.
Perbedaan talak dan dzihar adalah talak itu lebih kuat karena ia menghilangkan milik, berbeda dengan dzihar (sebaliknya), karena talak itu memiliki bilangan (ketentuan) yang terbatas, dan si suami itulah yang memiliki hak talak. Maka apabila mengulangi talak, yang jelas dia ingin memiliki semula orang yang dimiliki si suami, maka hukumnya sesuai dengan bab talak (yang telah dijelaskan sebelumnya). Sedangkan untuk dzihar sendiri tidak terbilang dan tidak dimiliki si suami. Dan kalau ucapannya itu terpisah-pisah, dan dalam setiap kali ucapan itu bermaksud dzihar baru, maka setiap kali itu menjadi unsur jatuhnya dzihar satu kali. Wallahu a’lam.

Refrensi Utama : Kitab Kifayatul Akhyar



[1] catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya

0 komentar:

Posting Komentar