Pages

أهلا وسهلاعلى بلدي بلوق أن يفسر معنى في رحم الإسلام

Selasa, 16 April 2013

BAB LI'AN


“BAB LI’AN”
"فصـــل في اللعــان"
Syaikh Abu Syujak berkata :
﴿ فصل وإذا رمى الرجل زوجته بالزنا فعليه حد القذف، إلا أن يقيم البينة أو يلاعن، فيقول عند الحاكم على المنبر في جماعة من المسلمين : "أشهد بالله إنني لمن الصادقين فيما رميت به زوجتي فلانة من الزنا، وأن هذا الولد من زنا وليس مني" (أربع مرات) ، ويقول في الخامسة بعد أن يعظه الحاكم: وعلي لعنة الله إن كنت من الكاذبين ﴾
[Apabila si lelaki menuduh isterinya berzina, maka wajib atas lelaki dihukum qadhf, kecuali ia dapat mendatangkan saksi, atau meli’an dengan berkata diatas mimbar yang berada disisi hakim dan dalam kumpulan orang Islam, “Saya persaksikan kepada Allah bahwa saya benar terhadap tuduhan saya kepada isteri saya fulanah, bahwa dia berzina, dan anak ini dari hasil zina bukan dari saya”. Ungkapan tersebut diulangi sebanyak empat kali. Dan setelah hakim menasehatinya, ungkapan yang kelima kalinya ia berkata, “Atasku laknat Allah jika aku berdusta].

Kata اللعان adalah masdar dari kata "لاعن – يلاعن" yang berarti terjauh dari rahmat Allah. Dua orang yang berli’an disebut demikian, karena ia akan mengakibatkan dosa dan terjauh dari rahmat Allah. Karena dari keduanya berjanji li’an (hal yang tak disukai oleh Allah SWT). Jikalau salah satu dari keduanya berdusta, maka ia statusnya menjadi ma’lun (yang dikutuk). Ada yang mengatakan karena masing-masing dari keduanya dijauhkan dari temannya dengan diharamkan selamanya.
Arti menurut syara’ ialah suatu ungkapan (ibarat) kata-kata tertentu yang dijadikan alasan bagi orang yang terpaksa menuduh karena tikarnya dikotori, menyusul malu yang akan dialaminya. Lafadz li’an dikecualikan dari kemarahan (ghadab) dan kesaksian (syahadah) karena li’an adalah suatu lafadz yang ganjil (gharib), dan sesuatu barang itu terkenal sebab keasingannya. Dan ada yang mengatakan karena li’an itu kutukan dari si lelaki seperti disebutkan sebelumnya.
Dasar tentang li’an, sesuai firman Allah SWT :
والذين يرمون أزواجهم ولم يكن لهم شهداء إلا أنفسهم، فشهادة أحدهم أربع شهادات بالله إنه لَمِنَ الصادقين ﴿6﴾ والخامسة أن لعنة الله عليه إن كان من الكاذبين ﴿7﴾ (سورة النور : 6-7)
Artinya :“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina) padahal mereka tak membawakan saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta”. (An-Nuur : 6-7)
Asbabun Nuzul ayat ini ialah ketika Hilal bin Umayyah menuduh isterinya berzina dengan Syarik Ibnus Samha’ kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah berkata padanya :
البينة أو حد في ظهرك. فقال: يا رسول الله! إذا رأى أحدنا على امرأته رجلا ينطلق يلتمس البينة؟ فجعل النبي صلى الله عليه وسلم يقول: البينة أو حد في ظهرك. فقال هلال: والذي بعثك بالحق إني لصادق، ولينزلن الله ما يبرئ ظهري من الحد.
Artinya : “Bawa saksi atau engkau dihukum (dipukul) pada punggungmu. Hilal lalu berkata : Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melihat seorang laki-laki lain dengan isterinya (berbuat curang), apakah dia harus pergi mencari saksi? Maka Nabi tetap berkata: Bawa saksi atau (engkau) dihukum (dipukul) pada punggungmu. Hilal berkata: Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan hak, sesungguhnya aku benar. Dan Allah pasti akan menurunkan sesuatu yang dapat membebaskan punggungku dari hukuman (pukulan)”.
Dengan begitu, apabila orang laki-laki menuduh zina isterinya, maka wajib atasnya hukuman (had) sebagaimana telah ditentukan dalam nash Al-Qur’an, dan ia berhak membebaskan diri dari had dengan dua cara. Dengan membawa saksi atau dengan mel’an, seperti yang telah ditentukan oleh Hadits di atas. Kemudian jika suami sudah yakin bahwa isterinya berzina, disebabkan ia melihatnya sendiri bahwa isterinya berzina, maka ia boleh menuduh isterinya berzina. Demikian juga, jikalau si isteri mengaku kepada si suami bahwasannya ia benar melakukan zina dengan orang lain, dan hatinya membenarkan pengakuan si isteri, atau juga orang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada suami, atau memang kabar tentang isterinya tersebut sudah tersebar luas bahwa isterinya telah melakukan zina dengan laki-laki lain, disaat salah satu masyarakat melihat sendiri ketika laki-laki itu keluar dengan si isteri dengan gerak-gerik yang mencurigakan. Jikalau memang beritanya tersebar luas tetapi tidak ada satupun dari masyarakat melihatnya sendiri, maka si suami tidak boleh menuduh si isteri melakukan hal tersebut, menurut qaul yang ashah. Dan Imam Haramain berkata : kalau si suami melihat seorang laki-laki bersama isterinya dengan tanda-tanda si isteri dalam keadaan yang boleh diingkari, atau melihat isterinya bersama laki-laki itu beberapa kali ditempat yang mencurigakan, maka itu samalah dengan berita yang tersiar disertai melihat. Qaul ini diikuti Imam Ghazali dan lain-lain. Imam Nawawi mempertegas dengan perkataaan para sahabat-sahabat kami dengan ungkapan, “apabila si suami tidak melihat si isteri melakukan hal tersebut, dan si suami hanya mendengarnya dari orang lain, maka si suami tidak boleh meli’annya dengan bukti yang menjawabnya sendiri seperti tibanya anak dalam kandungan si isteri yang menurut si suami bukan hasil dari perkawinannya dengan si isteri”. Dan Imam Nawawi mengatakan pula “lebih baik mentalaknya jikalau ia benci dengan si isteri setelah mendengar bahwa melakukan hal itu”. Wallahu a’lam.
Jumhur ulama’ menambah keterangan dari perkataan Imam Nawawi “jikalau diyakini anak tersebut bukan darinya, maka wajib atas suami menolak kehadiran tersebut dengan meli’an. Dan dalam satu wajah yang lain mengatakan tidak wajib menolaknya. Imam Al-Baghawi dan ulama’ lainnya berkata, “kalau suami yakin dengan keberadaan anak itu hadir dari isteri yang berzina, maka ia boleh menuduhnya berzina karena boleh jadi anak itu dari suami sebelumnya atau dari wathi syubhat”. Perkataan para Imam, keyakinan hanya dapat terjadi apabila suaminya tidak pernah mencampuri sama sekali, atau mencampurinya tetapi si isteri melahirkan anak itu lebih dari 4 tahun sejak dari waktu campur atau kurang dari 6 bulan.
Apabila suatu perkara berakhir kepada li’an, ia harus mengucapkan kelima perkataan tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, perkataan tersebut adalah sesuai dengan perintah hakim atau wakilnya. Dan ia harus menyebutkan isterinya, jikalau si isteri berada jauh dari negerinya atau dari tempat pertemuan serta menghubungkan nasab isteri kepada bapak-bapaknya agar perempuan tersebut terbeda dengan perempuan yang lainnya. Dan jikalau si isteri hadir maka cukup menunjuknya, menurut qaul yang shahih, karena dengan hal itu, maka sudah dapat dibedakan sehingga tidak perlu menyebutkan nama dan nasabnya. Dan ada yang mengatakan harus menyebutkan nama dan menunjuknya. Ketika keduaya hadir, pada sumpah yang kelima ia harus berkata, “Bahwa laknat Allah atasku jika aku termasuk orang-orang yang berdusta berkenaan zina yang aku tuduhkan kepadanya”. Kenapa dengan demikian? Dikarenakan hal ini adalah ketentuan nash Al-Qur’an, jikalau ada anak, maka ia menyebutkannya dalam kata-katanya yang kelima, karena dalam hal ini anak tersebut adalah sebagai kesaksian, dengan mengatakan, “Bahwa anak ini atau kandungan ini dari zina dan bukan dariku”.
Dan jikalau si suami mengatakan sebagian dari sumpah itu dengan singkat, seperti “dari zina”, apakah cukup? Sebagian banyak ulama’ mengatakan tidak cukup, karena kemungkinan benarnya ia menyangka wathi’ syubhat itu sama dengan zina, sehingga dengan demikian anak tidak tertolak. Dan qaul yang ashah dari keduanya sebenarnya cukup. Dan jikalau ia berkata singkat “bukan dariku”, tidak cukup. Dan jikalau ia lupa menyebut anak dalam sebagian kata li’annya, maka ia perlu mengulangi li’an tersebut, karena dengan begitu berarti tidak menolak anak.
Mushannif mengatakan, “ia berkata pada hakim”, ini harus dilakukan sebagai ketentuan sahnya li’an, dikarenakan li’an itu sebenarnya adalah sumpah. Oleh karena itu, dengan perintah hakim seperti sumpah-sumpah yang lain.
Mushannif juga mengatakan, “aku persaksikan”, lafadz ini juga diharuskan. Oleh karena itu, kalau seseorang menggantikannya dengan berkata, “aku bersumpah demi Allah..... sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang benar, atasku laknat (la’an) Allah jika aku berdusta”, kata la’an tidak sah menurut qaul yang ashah jika diganti dengan lafadz ib’ad (terjatuh dari rahmat Allah), atau menggantinya dengan lafadz ghadhab (murka), atau menggantinya dengan lafadz sukhth (marah), atau menggantikannya dengan kata sebaliknya. Dan ada yang berpendapat tidak sama sekali, karena semua hal itu dapat merusak lafadz yang memang telah diperintahkan sehingga serupa dengan orang yang menjadi saksi yang merusakkan lafadz syahadah (kesaksian).
Jikalau si suami telah sampai pada ucapan la’an (kutuk) atau si isteri sampai pada ucapan ghadhab (murka), sunnat bagi hakim berkata, “sumpah yang kelima ini mendatangkan siksa di dunia, dan siksa dunia lebih ringan daripada siksa akhirat”. Oleh karena itu, takutlah engkau kepada Allah SWT, karena aku sebenarnya khawatir kalau engkau tidak dan kembali dengan membawa kutukan dari Allah SWT, semua itu dilakukan oleh hakim guna untuk mengingatkan supaya kembali, dan kemudian hakim membaca pula ayat dibawah ini :
إن الذين يشترون بعهد الله وأيمانهم ثمنا قليلا أولئك لا خلاق لهم في الآخرة ولا يكلمهم الله ولا ينظر إليهم يوم القيامة ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم. (سورة آل عمران : 77)
Artinya :Sesungguhnya orang-orang yang menukar (mengingkari) janji Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapatkan kebahagiaan (pahala) di Akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka, dan tidak akan melihat mereka pada hari kiamat, dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih”. (Ali Imran : 77)
Jika si suami dan si isteri tetap saja akan meneruskan li’an, maka hakim membiarkan saja. Dan sebaiknya hakim menyebutkan pula hadits Rasulullah di bawah ini :
أيما امرأة أدخلت على قوم من ليس منهم فليست من الله في شيء ولن يدخلها الله الجنة. وايما رجل جحد ولده وهو ينظر إليه احتجب الله منه وفضحه على رؤوس الأولين والآخرين. (وفي رواية) على رؤوس الخلائق يوم القيامة.
Artinya :Barangsiapa dari perempuan yang memasukkan kedalam suatu kaum, orang yang bukan dari itu, maka perempuan tersebut tidak sedikitpun akan dipandang oleh Allah dan Allah tidak akan memasukkannya kedalam surge. Dan barangsiapa dari lelaki mengingkari anaknya, sedangkan ia melihatnya, Allah tetutup baginya, dan dia akan membuka a’ibnyad dimuka orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian”. (dan dalam satu riwayat), berbunyi : “dan dipan seluruh makhluk pada haqri kiamat kelak”.
Diriwayatkan oleh Abu Daud, An Nasa’I, dan Ibnu Majjah. Ibnu Hibban dan  Al-Hakim mengatakan sumber haidts tersebut shahih, dan ia berkata menurut syarat muslim. Wallahu a’alam.
Syaikh Abu Syujak berkata :
﴿ويتعلق بلعانه خمسة أحكام: سقوط الحد عنه، ووجوب الحد عليها، وزوال الفراش، ونفي الولد، والتحريم على الأبد.﴾
[Dan ada lima ketentuan hukum yang berkaitan dengan li’an dari pihak laki-laki, yaitu ; 1. Gugur hukuman (had) pada si lelaki, 2. Wajib had atas si perempuan, 3. Hilang tikar (cerai antara suami isteri), 4. Kalau ada anak , anak itu tidak dapat diakui oleh suami, 5. Haram (kawin) selama-lamanya].
Perlu diketahui, bahwa suami tidak dapat dipaksa untuk berli’an sesudah ia menuduh zina, tetapi ia boleh menahan diri, dan ia wajib di hukum sesuai dengan had menuduh zina seperti orang lain. Isteri dalam hal ini juga tidak dapat dipaksa berli’an sesudah suami meli’annya. Selanjutnya, jikalau suami meli’an dan setelah melengkapi hal-hal yang mengenai li’an, maka berlakulah hukum berturut-turut sebagimana berikut :
1.      Gugur hukuman/pukulan (had) ke atas suami, sesuai dengan ayat yang mulia itu, sebab ayat tersebut menempatkan li’an pada kedudukan saksi dipihak suami.
2.      Si isteri wajid dihukum (had), apabila suami menuduhnya berzina yang dihubungkannya pada keadaan suami-isteri, sedangkan si isteri seorang muslimah, sesuai dengan firman Allah SWT, yang berbunyi :
ويدرأ عنها العذاب أن تشهد أربع شهادات بالله إنه لمن الكاذبين. (سورة النور : 8)
Artinya : “Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang yang berdusta”. (An- Nur : 8)
3.      Terjadi perceraian antara suami isteri. Itulah yang diungkapkan mushannif dengan “hilangnya tikar”. Perceraian ini terjadi lahir batin, baik si isteri benar maupun si suami benar. Ada yang mengatakan  kalau si isteri benar tidak terjadi perceraian batin. Dan qaul yang shahih ialah yang pertama. Alasannya ialah dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW, yang berbunyi :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم فرق بين رجل وامرأته تلاعنا في زمنه عليه الصلاة والسلام وألحق الولد بالأم. رواه ابن عمر رضي الله عنه أخبره الإمام البخاري والمسلم.
Artinya : “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah menceraikan seorang lelaki dengan isteri yang saling berli’an pada zamannya Rasulullah SAW, dan beliau mengikutkan anak kepada ibu”. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA dan diberitakan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
4.      Kalau ada anak, maka anak itu tidak diakui oleh suami, karena alasannya sesuai dengan hadits di atas.
5.      Haram buat selama-lamanya antara kedua suami-isteri apabila terjadi percearaian dengan lian, dikarenakan Al-‘Ajlani berkata sesudah berli’an, “aku berdusta kepadanya jika aku masih menahannya, maka ia ditalak tiga”, kemudian Rasulullah SAW bersabda, :
لاسبيل لك عليها.
Artinya : “Tidak ada jalan lagi bagimu kepadanya”.
Nabi meniadakan jalan secara mutlak. Seandainya tidak menjadi haram selamanya tentu beliau menerangkan sebabnya seperti beliau menerangkan sebab pada perempuan yang ditalak tiga.
Dan diriwayatkan pula :
المتلاعنان لايجتمعان أبدا.
“Dua orang suami isteri yang berli’an tidak akan berkumpul buat selamanya”.
Kalau suami telah mentalaknya dengan talak baa’in sebelum li’an, kemudian ia meli’annya, apakah keharaman menjadi selamanya? Ada dua wajah; yang ashah dari kedua wajah; “YA” (menjadi haram selamanya).
Ketentuan-ketentuan ini tergantung semata-mata kepada li’an dari suami dan ketentuan-ketentuan tersebut sedikitpun tidak tergantung atas li’an dari isteri, juga tidak atas keputusan hakikm. Dan seandainya suami mengajukan saksi terhadap zina yang diperbuat isteri, maka si isteri tidak berhak meli’an untuk menolak hukuman had, karena li’an tersebut adalah alasan yang lemah, oleh sebab itu, li’an tidak dapat melawan saksi. Wallahu a’lam.
Cabang Permasalahan
Seandainya perempuan yang dili’an itu seorang hamba sahaya, kemudian hamba sahaya yang dili’an dimiliki suami, maka untuk dapat mencampurinya dengan halal ada dua jalan; dan yang diputuskan oleh ulama’ Iraq dilarang mencampurinya. Dan ada yang mengatakan terdapat khilaf dalam hal apabila si suami mentalak isterinya yang hamba sahaya dengan talak tiga. Kemudian suami memilikinya, apakah halal baginya atau tidak? Qaul yang ashah, tidak bagi si suami, sampai isteri tadi dinikahi dengan orang lain, dan lalu mentalaknya menurut syarat-syaratnya, sesuai dengan maksud jelas di dalam ayat :
فإن طلقها فلاتحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره. (سورة البقرة : 230)
Artinya : “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia berkawin dengan suami yang lain”. (Al- Baqarah : 230)
Ada pula yang mengatakan perempuan itu halal, karena talak tiga tidak menghalanginya untuk dimiliki, sehingga talak tiga itupun tidak dapat mencegah percampuran dengan hamba sahaya yang dimiliki; berbeda dengan nikah yang pertama. Wallahu a’lam.
Syaikh Abu syujak berkata :
﴿ويسقط الحد عنها بأن تلاعن، فتقول: أشهد بالله أن فلانا هذا من الكاذبين فيما رماني به من الزنا (أربع مرات) وتقول في الخامسة بعد أن يعظها الحاكم: وعلي غضب الله إن كان من الصادقينز﴾
[Hukuman (had) gugur pada isteri sebab ia meli’an. Maka ia berkata, “Aku persaksikan kepada Allah bahwa fulan ini termasuk orang-orang yang berdusta dalam zina yang ia tuduhkan kepadaku”- diucapkan empat kali- Dan pada sumpah yang kelima sesudah hakim menasehatinya, ia berkata, “Dan atasku murka Allah, kalau si fulan itu termasuk orang-orang yang benar”].
Telah anda ketahui, bahwa isteri tidak dapat dipaksa untuk berli’an, tetapi ia boleh meli’an untuk menangkis hukuman (had) sesuai dengan firman Allah SWT, yang berbunyi :
ويدرأ عنها العذاب أن تشهد أربع شهادات بالله إنه لَمِنَ الكاذبين. (سورة النور : 8)
Artinya : “Isteri itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suami itu benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta”. (An- Nuur : 8)
Si perempuan menunjuk kepada suaminya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, jika ia hadir, ataupun si perempuan menyebutkan nama dan keturunannya yang dapat membedakannya dengan yang lain, kalau suami itu tidak hadir. Dan pada sumpah yang kelima si perempuan berkata, “Sesungguhnya murka Allah atas dirinya, jikalau si fulan termasuk orang-orang yang benar”, sesuai ayat diatas. Dan si perempuan tidak perlu menyebut anak di dalam li’annya karena jikalau menyebutkan maka li’annya tidak mempengaruhi. Dan ada yang berpendapat si perempuan harus menyebutnya supaya kedua li’an itu bertemu. Wallahu a’lam.
Cabang Permasalahan
Seseorang berkata kepada yang lain, “Hai kaum Luth!”, apakah perkataan tersebut sindiran (kinayah) dalam menuduh zina, ataukah tuduhan yang terang (sharih)? Pendapat madzhab pada Imam Rafi’i, perkataan tersebut adalah kinayah bukan sharih. Kata Imam Nawawi, perkataan tersebut biasanya diucapkan dengan maksud persetubuhan (wath’i) pada lubang belakang (dubur). Bahkan hanya di artikan  seperti itu saja. Oleh karena itu, sebaiknya harus diyakinkan bahwa perkataan tersebut adalah sharih. Kemudian katanya, bahwa yang sudah dipastikan bahwa perkataan tersebut adalah sharih. Mushannif kitab At-Tanbih juga memastikan kebenaran pendapat tersebut, sekalipun yang terkenal di dalam madzhab bahwa perkataan tersbut adalah kinayah. Dan yang diherankan pula ia berkata di dalam pendapat yang diperbaiki di dalam At-Tanbih, bahwa yang pasti adalah kinayah. Wallahu a’lam.
Cabang Permasalahan
Sering terdengar orang berkata kepada anak-anak dan lainnya, “Hai anak zina!”. Kata-kata seperti ini suatu tuduhan terhadap ibu anak yang ditujukan kata-kata itu. Oleh karena itu, wajib dihukum (had), karena perkataan tersebut adalah tuduhan (qadzf) yag sharih. Wallahu’ a’lam.

Refrensi Utama : Kitab Kifayatul Akhyar

0 komentar:

Posting Komentar