Pages

أهلا وسهلاعلى بلدي بلوق أن يفسر معنى في رحم الإسلام

Selasa, 16 April 2013

BATALNYA SHALAT


PEMBAHASAN
فصل في مبطلات الصلاة
“Hal-hal yang Membatalkan Shalat”
Berkata Syatkh Abu Syujak:
فصل : والذي تبطل به الصلاة أحد عشر شيئا : الكلام العمد والعمل الكثير.
Fashl : yang membatalkan shalat ada sebelas perkara: Pembicaraan yang disengaja, dan pergerakan yang banyak.
Apabila seseorang musholli berkata-kata dengan sengaja yang sesuai untuk di tujukan kepada anak adam,maka batallah shalat nya, baik ia berkaitan dengan maslahat shalat atau lainya,meskipun dengan suatu perkataan sekalipun,yaitu sebagaimana diriwayatkan dari pada zaid bin arqam r.a, ia berkata: Pada suatu waktu, kami pernah berkata-kata di dalam shalat,sehingga turun Firman Allah Ta’ala:

وقوموا لله قانتين. {البقرة : 238}
“Dan tegaklah untuk memenuhi perintah Allah”. (Al-Baqoroh:238)
Karena itulah kami disuruh berdiam diri dan dilarang berkata-kata di dalam sholat. Dan pernah Rasululloh SAW berkata kepada Mu’awiyyah bin Al-Hakam As-Sulaimi, karena ia telah mendo’akan orang yang bersin di dalam sholat, beliau bersabda :
إن هذه الصلاة لايصلح فيها شيء من كلام الناس، إنما هو التسبيح والتكبير وقراءة القرآن. {أخرجه مسلم}
“Sesungguhnya shalat ini tidak boleh dicampurkan sesuatu dari bicara manusia, bahwasannya ynag diperbolehkan yaitu bertasbih, bertakbir, dan membaca Al-Qur’an.” (HR. Muslim).
Dan pengarang kitab berkata “lisannya berkata dengan sengaja”, dikecualikan kalau karena terlupa. Dan dalam maksud ini juga, kalau Mushalli masih tidak mengerti dalam pengharamannya dikarenakan masih baru memeluk islam. Dan dalam pengertian itu juga barang siapa yang terlanjur lisannya berkata tanpa maksud, maka tidak batal shalatnya. Demikian pula karena tidak tertahan diri untuk tertawa, sesuai dengan sabda Nabi SAW:
رفع عن أمتي الخطأ والنسيان ومااستكرهوا عليه.
“diangkat kalam dari ummatku (yakni tidak dikira) kekhilafan, karena terlupa dan yang dipaksakan keatasnya”.
Apabila Mushalli dipaksa untuk berbicara, maka jelas batallah shalatnya menurut qaul yang ashah, karena perkara-perkara yang serupa dengan itu jarang berlaku. Adapun pergerakan yang banyak, seperti tiga kali berturut –turut, dan begitu pula pukulan yang berturut-turut, semua hal ini membatalkan shalat. Dalam hal ini tidak ada perbedaannya antara perbuatan yang sengaja atau terlupa, sebagaimana yang dimutlakkan pengarang. Pokok menetapkan hukumnya yang seperti ini adalah pergerakan yang banyak akan merusak peraturan shalat dan menghapuskan kekhusukan, yang maksud itu merupakan maksud utama dari shalat menurut ijma’ ulama’. Dan diperjelas dari perkataan pengarang, bahwasannya pergerakan yang sedikit (tidak sampai melebihi tiga kali gerakan) tidak akan membatalkan shalat.
Berkata  Syaikh Abu Syujak :
والحدث.
Dan hal yang membatalkan shalat yang selanjutnya yakni “Hadats”.
Jadi, ijma’ ulama’ telah sepakat dalam hal batalnya shalat yakni seorang mushalli yang berhadats. Maksudnya, apabila mushalli sholat dalam keadaan berhadats, maka sudah jelas shalatnya batal baik mushalli sengaja maupun karena lupa, karena semua hal tersebut sama-sama berlaku sebelum melakukan shalat, ataupun tidak, sesuai sabda Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Aby Daud, dan yang telah dikatakan oleh At-Tirmidzi bahwa hadits ini Hasan (baik) :
إذا فسا أحدكم في صلاته فلينصرف فليتوضأ وليعد صلاته.
“Apabila salah satu dari kalian terkentut di dalam keadaan shalat, maka hendaklah ia mengehentikan shalatnya dan berwudhu’lah, dan kemudian ulangilah shalatnya itu”.
Kemudian Syaikh Abu Syujak melanjutkan tentang pembahasan hal yang membatalkan shalat :
وحدوث النجاسة وانكشاف العورة.
Yakni : “Dalam keadaan Najis dan terbukanya aurat”.
Dari penjelasan di atas maksudnya menurut Al-Bandaniji adalah jika seseorang sengaja menyentuh najis yang tidak dima’fu, maka jelas batallah shalat tersebut, karena hal tersebut sama halnya dengan ia menyengaja melakukan shalat dalam keadaan berhadats. Adapun najis yang dima’fu, seperti halnya membunuh kutu pada waktu shalat dan lain sebagainya, maka hal tersebut tidak membatalkan shalatnya, dikarenakan darah kutu itu dima’fu. Dan jika sang mushalli kejatuhan najis ketika melakukan shalat, maka dilihat dulu. Jika ia menyingkirkannya dengan serta-merta mengebaskannya, maka tidak membatalkan shalatnya, dikarenakan sukarnya menjaga badan dari najis itu, sedangkan ia tidak lalai. Hal ini berbeda dengan hadats sebab hadats masa sucinya itu lama. Mengenai terbukanya aurat terdapat dua masalah : Pertama, jika si Mushalli menyengaja membuka aurat, dan kemudian menutupnya kembali aurat tersebut, maka hal ini membatalkan shalatnya dikarenakan menutupi aurat termasuk syarat syahnya shalat. Dan permasalahan ini sama halnya dengan mushalli yang melakukan shalat dalam keadaan berdahats dan hal ini dilakukan dengan secara sengaja. Kedua, jika si Mushalli melakukan shalat, tiba-tiba auratnya terbuka karena tiupan angin yang kencang ataupun kain yang dipakainya atau pengikat pakaiannya terlucut, kemudian ia menutup aurat tersebut seketika itu, maka shalatnya tidak batal dikarenakan tidak ada unsure kenyegajaan dalam hal ini.
Kemudian Syaikh Abu Syujak berkata :
وتغيير النية.
“Merubah Niat”
Dalam perubahan niat ini terdapat beberapa pemasalahan diantaranya :
Pertama, jika si Mushalli memutuskan niat, misalnya ia berniat keluar dari shalat, maka seketika itu juga batallah shalat tersebut tanpa ada khilaf, dikarenakan syarat syahnya shalat adalah berlangsungnya niat hingga selesai (salam). Dalam hal ini berbeda dengan seseorang yang berniat keluar dari puasa, yang menurut qaul yang ashah yakni tidak batal puasanya, dikarenakan puasa itu adalah menahan diri dari makan, minum, dan sesuatu yang membatalkannya, oleh karena itulah niat keluar dari puasa tidak berpengaruh (tidak membatalkan). Sedangkan, shalat adalah perbuatan yang berbeda  yang tidak bersambung antara satu dengan yang lainnya, jikalau tidak dengan niat, maka jelas hilang niatnya, hilang pula sambungannya. Kedua, jika si Mushalli merubah niatnya dari niat fardhu ke niat fardhu lain, atau fardhu ke niat sunnah, menurut qaul yang ashah yakni batallah shalat tersebut, dikarenakan sebagian ulama’ telah memastikan kebatalannya. Ketiga, jika si Mushalli berkehendak kuat untuk memutuskan shalatnya, misalnya pada raka’at pertama ia mantap akan memutuskan shalatnya pada roka’at kedua, maka seketika itu juga batallah shalatnya meskipun belum memasuki roka’at kedua, dikarenakan ia telah memutuskan keterusan niat, yaitu syarat ketetapan berlangsungnya niat hingga shalatnya. Keempat, jika si Mushalli ragu-ragu apakah ia telah memutuskan niat, misalnya ia ragu-ragu apakah ia keluar dari shalat atau meneruskannya, maka dari permasalahan ini jelas membatalkan shalat, dikarenakan berlangsungnya niat yang diperlukan dengan keberlangsungannya telah hilang dengan keragu-raguan tersebut.
Pendapat Imam Haramain bahwa dalam hal batalnya shalat ini, aku tidak pernah mengetahui adanya khilaf. Selanjutnya, beliau mengatakan bahwa datangnya keragu-raguan dalam hati tidak termasuk syak, dikarenakan dalam pikrian terkadang datang keragu-raguan dan sesuatu yang timbul daripadanya. Dan yang demikian itu tidak membatalkan shalat tersebut.
Kemudian Syaikh Abu Syujak melanjutkan :
واستدبار القبلة.
“Membelakangi Kiblat”
Jika si Mushalli melakukan shalat dengan cara membelakangi kiblat, maka jelas batallah shalatnya, dikarenakan hal yang disyaratkan telah hilang atau dikarenakan tidak adanya syarat tersebut.
Dan yang terakhir Syaikh Abu Syujak berkata :
والأكل والشرب والقهقهة والردة.
“Makan, Minum, Tertawa keras, dan Murtad (riddah)”.
Di antara hal-hal yang membatalkan shalat adalah makan atau minum, dikarenakan makan atau minum itu dianggap berpaling dari shalat. Yang dimaksud beribadah dengan gerakan badan itu adalah memperbaharui iman dan mempersembahkan kata hati dengan ma’rifat serta kembali akan taat kepada Alloh SWT. Makan atau minum itu bertentangan dengan maksud yakni batalnya shalat disebabkan oleh makan atau minum jika si mushalli menyengaja melakukannya. Tetapi jika ia terlupa atau tidak tahu hukum (keharaman) makan atau minum ketika shalat disebabkan ia baru saja memeluk agama islam dan sebagainya, maka tidak batallah shalatnya, sama saja halnya dengan puasa yang kiranya sedikit tidak sengaja makan atau minum. Tetapi lebih benyak menurut qaul yang ashah, batal shalatnya baik sengaja ataupun tidak sengaja.
Kemudian tertawa keras, jika mushalli menyengaja, maka batallah shalatnya disebabkan tertawa keras itu termasuk meniadakan ibadah atau shalatnya dianggap tidak sah apabila mengeluarkan dua buah huruf bersamaan dengan tertawa tersebut. Jika tidak mengeluarkannya, maka tidak batallah shalat tersebut, karena tertawa tersebut tidak dianggap sebagai perkataan atau pembicaraan.
Sedangkan riddah, juga bisa menjadikan kufur seketika itu juga tanpa ada khilaf, dan shalatnya pun juga batal. Yang dinamakan riddah disini adalah memutuskan (keluar) dari agama islam, sama halnya dengan perbuatan seperti di dalam shalatnya ia bersujud kepada berhala, kepada matahari, dengan ucapan bahwa tuhan itu lebih dari satu, atau beri’tikad seperti berangan-angan di dalam mengerjakan sholat bahwa alam ini adalah qadim kemudian mengi’tikadkan keqadimkan sifat alam, dan lain sebagainya. Dengan demikian, hal tersebut merusakkan niat dan jelas membatalkan shalatnya. Wallahu A’lam.

Refrensi Utama : Kitab Kifayatul Akhyar

0 komentar:

Posting Komentar