Pages

أهلا وسهلاعلى بلدي بلوق أن يفسر معنى في رحم الإسلام

Selasa, 16 April 2013

RAKA'AT SHALAT


PEMBAHASAN
فصل وركعات الصلوات
“Raka’at-raka’at Shalat”
Oleh : Non Muchlas
Berkata syekh abu sujak :
فصل : وركعات الصلوات المفروضة سبع عشرة ركعة.
“rakaat shalat yang difardhukan adalah tujuh belas raka’at”
Yang dikatakan oleh pengarang itu adalah apabila shalatnya dilakukan dalam negeri dan bukan pada hari jumat. Jika hari jumat berkurang dua rakaat, dan apabila shalat itu diqashar , berkurang empat rakaat atau enam rakaat.perkataan pengarang “tujuh belas rakaat,” dan seterusnya itu dapat diketahui kebenarannyadengan memikirkannya, dan tidak menimbulkan apa-apa faedah.wallahu-a’lam.

Berkata syekh abu sujak:
ومن عجز عن القيام في الفريضة صلى جالسا، فإن عجز عن الجلوس صلى مضطجعا.
"barang siapa yang lemah dalam berdiri diwaktu shalat fardhu, boleh shalat dengan duduk, jika lemah dari duduk dapat shalat dengan tidur miring".
Jika seseorang yang lemah dari berdiri dalam shalat fardhu, ia dapat shalat dengan duduk, dan tidak mengurangi pahalanya, sebab orang itu mendapat uzdur. Nabi muhammad bersabda:
صل قائما، فإن لم تستطع فقاعدا، فإن لم تستطع فعلى جَنْبٍ.
“shalatlah kamu dengan berdiri, apabila tidak mampu, shalatlah dengan duduk, apabila kamu tidak mampu, shalatlah atas lambungmu” (riwayat bukhori)
An-nasa’i menambahkan pula :
فإن لم تستطع فمستلقيا، لايكلف الله نفسا إلا وسعها.
“Apabila kamu tidak berkuasa, shalatlah dengan terlentang. Allah tidak membebankan kepada diri seseorangselain apa yang ia kuasai.”
Dan masalah ini telah dinukil adanya ijma’ ulama’ padanya. Ketahuilah, bahwa yang dimaksud dengan lemah disini bukanlah ketiadaan kemungkinan untuk berdiri,duduk atau terlentang tetapi yang dimaksud adalah kekhawatiran mati atau bertambah sakit mendapatkan kepayahan yang sangat atau tenggelam dan mabuk kepayang (kepala berputar-putar) bagi orang yang naik bahtera. Imam haromain berkata: batasan lemah adalah datangnya kepayahan yang dapat menghilangkan khusuk. Demikianlah yang dinukil oleh imam nawawi dari imam haromain dalam kitab Arraudhah dan menyatakan syahnya, tetapi dalam syarah al muhaddab imam nawawi mengatakan bahwa menurut madhab yang kuat, menyelisihi pendapat imam haromain. Imam syafi’i berkata: yang dinamakan lemah adalah tidak mampu shalat berdiri, kecuali kepayahan yang tidak tertanggung oleh diri. Ibnu Rif’ah berkata : yang dimaksud kepayahan adalah yang sangat berat.
Ketahuilah bahwa rukun duduk itu tidak dinyatakan bentuknya jadi bagaimanapun dilakukan cara duduk itu boleh adapun yang lebih utama ada dua qoul: yang ashah adalah duduk dengan iftirosy(duduk bertumpu pada kaki), sebab itu lebih mudah untuk berdiri,selain itu duduk dengan obersila adalah semacam enak-enakan.qoul yang kedua duduk dengan bersila adalah lebih utama,agar dapat dibedaklan antara duduk yang menjadi ganti dan duduk yang asal. Jika seseorang tidak mampu dengan duduk, maka boleh shalat  dengan tidur miring dan tidurnya tersebut hendaklah pada lambung sebelah kanan, menurut madzhab yang dinash oleh imam syafi’i orang yang shhalat dengan tidur miring hendaklah menghadap kiblat. Jika seseorang tidak mampu shalat dengan tidur, ia boleh shalat dengan terlentang rukuk dan sujudnya dengan isyarat mengangguk menghadap kiblat jika tidak mampu rukuk dan sujud, biarlah sujudnya lebih rendah dari rukuknya. Jika tidak mampu dari semua yang telah disebutkan itu, maka memberi isyarat dengan kedipan mata sebab itu atas batas kemampuannya jika tidak mampu dari memberi isyarat dengan kedipan mata, maka ia menjalankan shalat dengan hatinya. Kemudian jika keadaan tidak mampu itu ia dapat membaca takbir, membaca Al-Fatihah, tasyahud dan salam maka ia harus membacanya, jika tidak dapat membaca maka apa-apa yang wajib dibacanya itu tidak mengurangi pahalanya.dan ia tidak boleh meninggalkan shalat selama akalnya masih sehat,dan orang yang menjalankan shlalat dengan yang demikian itu tidak wajib mengulangi shalatnya.
Imam Ghazali berhujjah terhadap ketidak bolehan meninggalkan shalat selama masih ‘aqil dengan sabda Rasululloh SAW :
إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه مااستطعتم.
“Jika aku memerintahkan kamu sekalian dengan suatu perintah, kerjakanlah olehmu sekalian, selama kamu sekalian mampu melaksanakannya.”
Dari dalil ini ditentang oleh Imam Rafi’I, bagi kami ada suatu pandangan bahwa orang yang ‘aqil (seperti orang yang habis disalaib, dll), ia boleh tinggalkan sholat, tetapi wajib menqadha’nya.
Cabang Permasalahan :
Jika seseorang mungkin menjalankan shalat dengan berdiri, seandainya ia shalat sendirian, dan jika ia shalat berjama’ah ia duduk dalam sebagian sholatnya. Imam Syafi’I telah menashkan bahwa ia boleh menjalankan salah satu dari keduanya, dan yang pertama adalah yang lebih utama, sebab hal itu untuk menjaga rukun shalat. Yang demikian itu dijalankan oleh Al-Qadhi Husain dan murid-muridnya, yakni Al-Baghawi dan Al-Mutawalli, dan pendapat inilah yang ashah.

Al-Qadhi Husain, Al-Baghawi, dan Al-Mutawalli berkata “seandainya orang itu berdiri dengan membaca Al-Fatihah saja, dan seandainya ia tidak mampu meneruskan berdiri ketika ingin membaca surat, maka lebih utama baginya adalah berdiri dengan membaca Al-Fatihah saja, tidak usah membaca surat. Syaikh Abu Hamid berkata : Shalat jama’ah walaupun dengan duduk itu lebih utama.

Refrensi Utama : Kitab Kifayatul Akhyar

0 komentar:

Posting Komentar