Pages

أهلا وسهلاعلى بلدي بلوق أن يفسر معنى في رحم الإسلام

Selasa, 16 April 2013

SUJUD SYAHWI


PEMBAHASAN
فصل والمتروك من الصلاة
“Sujud Syahwi”
Oleh : Zaenal Abidin
Syaikh Abu Syujak berkata :
فصل : والمتروك من الصلاة ثلاثة أشياء : فرض وسنة وهيئة فالفرض لاينوب عنه سجود السهو، بل إن ذكره والزمان قريب أتى به وبنى عليه وسجد للسهو.
“Hal-hal yang ditinggalkan dalam shalat ada tiga macam, yaitu fardhu, sunnah, dan haiah. Maka yang fardhu tidak dapat diganti dengan sujud syahwi, tetapi jika seseorang teringat terhadap fardhu yang ditinggalkannya itu dan masanya baru sebentar, maka ia boleh mendatangi fardhu yang tertinggal itu dan meneruskan shalatnya serta sujud syahwi”.

Sujud sahwi disyari’atkan karena adanya cacat yang terjadi dalam shalat, baik fardhu maupun shalat sunnah. Ada suatu qaul yang mengatakan sujud syahwi tidak disyari’atkan dalam shalat sunnah. Kemudian batasan sujud sahwi ada kalanya seperti menambah berdiri, rukuk, atau sujud selain pada pada tempatnya karena lupa atau karena meninggalkan perbuatan yang diperintahkan, seperti meninggalkan ruku’, sujud, berdiri, meninggalkan Al-Fatihah yang wajib atau meninggalkan tasyahud yang wajib. Orang yang mengalami demikian itu, dianjurkan melakukan sujud syahwi setelah menyusulkkan perbuatan yang di tinggalkannya itu.
Jika ia teringat hal yang ditinggalkannya itu, dan ia masih di dalam keadaan shalat, maka ia harus mengganti apa yang telah ia tinggalkan itu dan menyempurnakan shalatnya. Jika ia teringat setelah salam, maka dilihat dulu. Jika waktunya belum lama, ia boleh menyusulkannya dengan sujud syahwi, menurut qaul yang shahih. Jika masanya telah lama, maka ia wajib mengulangi shalatnya lagi, tidak boleh hanya mengganti tentang apa yang ditinggalkan itu dan meneruskan shalatnya, sebab urutan tartib shalat berubah karena lama perceraiannya.
Tentang batasan lama itu, ada qaul bagi imam Syafi’I, yang lebih jelas dan telah di nash oleh imam Syafi’i dalam kitab al-umm, bahwa ukuran lama itu menurut kebiasaan. Qaul yang lain yang dan telah din ash dalam kitab al-bauwaithi, yang dinamakan perceraian yang lama itu adalah masa yang melebihi satu raka’at dalam shalat. Jadi, kedudukan masalah itu terletak pada orang yang meyakini rukun yang ditinggalkannya. Apabila seseorang itu telah salam shalatnya kemudian ia ragu-ragu terhadap apa yang telah ia tinggalkan, menurut mazhab yang shahih ia tidak berkewajiban apa-apa dan shalat yang ia kerjakan sah, sebab pada dzahirnya ia tlah menunaikan shalatnya dengan sempurna. Datangnya keraguan itu memang sering terjadi, apalagi apabila waktunyapun telah lama. Yang demikian itu tentu merumitkan, sedangkan dalam agama tidak ada permasalahan apa pun. Yang demikian itu berbeda datangnya keraguan di dalam shalat, orang yang ragu di dalam pelaksanaan shalat, harus melanjutkan shalatnya ddengan dasar yakin. Jadi, jika orang itu ragu di tengah-tengah shalatnya, apakah telah melaksanakan shalat tiga raka’at atau empat raka’at, ia hartus mengambil yang yakin, yaitu tiga rakaat dan menambahkannsatu rakaat lagi kemudian sujud syahwi. Kuatnya dugaan bahwa ia telah shalat empat raka’at tidak bermanfaat baginya dan dalam hal ini ijtihadnya tidak akan berpengaruh. Yang dijadikan dalil untuk masalah diatas adalah sabda Nabi Muhammad SAW :
إذا شك أحدكم في صلاته فلم يدر كَمْ صلى، أثلاثا أم أربعا، فليطرح الشك وليبن على مااستيقن، ثم يسجد سجدتين قبل أن يسلم. فإن كان صلى خمسا شفعن له صلاته، وإن كان صلى تمام الأربع كانتا ترغيما للشيطان. (رواه مسلم)
“jika salah seorang diantara kalian ada yang ragu dalam shalatnya, lalu tidak mengerti telah berapa raka’at shalatnya, tiga atau empat raka’at, maka buanglah keraguan dan lanjutkanlah shalat menurut keyakinannya, lalu sujud dua kali sebelum salam. Jika telah shalat lima raka’at itu, maka raka’atnya dapat menggenapi shalatnya. Dan jika telah sempuna empat raka’at, maka kedua sujudnya itu dapat menghinakan syaitan (mengecewakan syaitan)”. (HR. Muslim)
Syaikh Abu Syujak mengatakan :
والمسنون لايعود إليه بعد التلبس بغيره، لكنه يسجد للسهو.
“Dan yang sunnat yang ditinggalkan oleh seseorang yang shalat, tidak boleh diulangi setelah menjalankan yang lain, tetapi yang meninggalkannya itu hendaklah melakukan sujud syahwi”.
Maksudnya, bahwa shalat mengandung rukun, sunnah ab’adh, dan sunnah hai’ah. Untuk rukun adalah perkara-perkara yang harus dilakukan dan batal shalatnya, apabila rukun tersebut ditinggalkan. Sunnah ab’adh sunnah yang tidak termasuk bagian dari rukun shalat. Sunnah ab’adh ini boleh diganti dengan sujud syahwi tatkala ditinggalkanya karena terlupa, dalam permasalahan ini tanpa ada khilaf. Sedangkan, menurut qaul yang rajah apabila sunnah ab’adh tersebut ditinggalkan dengan cara disengaja dan kesengajaan tersebut menjadi unsure kecacatan yang lebih besar dalam shalat, maka sujud syahwi ini yang lebih utama untuk menggantikannya. Sunnah-sunnah aba’dh ini terdapat enam dalam shalat diantaranya ; (1). Tasyahhud awal (duduk pada tasyahhud awal), (2). Qunut pada waktu shalat shubuh, (3). Qunut pada akhir shalat witir di dalam separuh akhir bulan ramadhan, (4). Berdiri untuk qunut, (5). Sholawat kepada Nabi Muhammad SAW pada tasyahhud awal, (6). Sholawat kepada keluarga Nabi dalam tasyahhud akhir. Untuk dalil yang dijadikan landasan dalam hal sujud syahwi ketika meninggal tasyahhud awal yakni hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Buhainah, yang berkata :
أن النبي صلعم ترك التشهد الأول ناسيا فسجد قبل أن يسلم.
“Bahwasannya Nabi SAW meninggalkan tasyahhud awal karena terlupa, lalu beliau sujud sebelum melakukan salam”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada umumnya, sujud syahwi itu hanya ditujukan bagi qunut shubuh dan qunut sholat witir pada bulan ramadhan. Adapun qunut nazilah, bagi orang yang meninggalkannya tidak disunnahkan melakukan sujud syahwi, menurut qaul yang ashah didalam kitab At-Tahqiq. Perbedaan antara qunut shubuh, ramadhan, dengan qunut nazilah, yakni lebih kuat (kukuh) qunut shubuh dan ramadhan. Sedangkan, qunut nazilah tidak kuat (tidak kukuh) seperti halnya qunut shubuh dan ramadhan. Imam Ghazali menganggap adanya ‘illat dalam menentukan sujud syahwi, yakni dikarenakan meninggalkan enam hal yang telah disebutkan diatas, dikarenakan enam hal tersebut syi’ar yang nyata yang tentu di dalam shalat.
Mushannif memperjelas dari perkataannya (dan diperkokoh oleh pendapat dari Imam Syafi’I dan ulama’-ulama’ yang mengikuti madzhabnya) yakni tentang “Sunnah yang ditinggalkan oleh mushalli tidak boleh diulangi setelah dijalankannya yang lain,” semisal jika mushalli telah berdiri tegak dan ia meninggalkan tasyahhud awal atau juga ketika ia langsung sujud dan ia meninggalkan qunut, jika permasalahan dalam meninggalkan hal tersebut dikarenakan lupa dan ia ingat ketika berdiri tegak atau sujud, maka ia tidak boleh kembali untuk melakukan tasyahhud awal atau qunut. Dan jika ia kembali dengan sengaja dan tahu tentang hukum keharamannya, maka batal sholatnya dikarenakan dia telah menambah bilangan dari shalat tersebut. Dan menurut yang ashah jika ia kembalinya dikarenakan lupa, maka tidak batal shalat. Tetapi, apabila ia teringat di saat ia dalam keadaan berdiri, maka ia haruslah tetap dalam keadaan berdiri setelah itu ia harus menyempurnakan itu dengan sujud syahwi. Tetapi, kalau ia kembali duduk dengan sengaja dan tidak tahu akan keharamannya, maka menurut qaul yang ashah hukumnya sama dengan orang yang lupa, yakni sah shalatnya. Dari penjelasan tersebut itu adalah salah satu hukum yang ditujukan pada orang yang sholat sendirian atau mushalli yang menjadi imam. Adapun shalatnya orang yang menjadi makmum, semisal imam memasuki rukun berdiri dan imam juga meninggalkan tasyahhud awal karena lupa, maka makmum tidak boleh duduk sendirian (tasyahhud awal sendirian) meskipun makmum mengetahui kalau imam belum melaksanakan tasyahhud awal, jika makmum melakukannya maka batallah shalatnya. Tetapi, apabila imam kembali duduk untuk melakukan tasyahhud awal dikarenakan imam lupa, maka makmum tidak boleh duduk untuk mengikuti imam disebabkan makmum mengetahui kalau imamnya belum melaksanakan tasyahhud awal, jika ia melakukan hal tersebut maka batallah shalat si makmum. Tetapi, apabila makmum terlupa maka menurut qaul yang shahih makmum wajib kembali mengikuti imam, jika ia tidak kembali mengikuti imam, maka batallah shalat si makmum.
Dari penjelasan di atas menjelaskan panjang lebar tentang permasalahan yang ditujukan kepada mushalli yang meninggalkan tasyahhud awal dan bergerak memasuki berdiri secara terlupa. Adapun apabila ia menyengaja tidak melakukan tasyahhud tersebut, kemudian ia kembali sebelum berdiri tegak (kembali ketika mendekati berdiri tegak, maka batal shalatnya dan kembali sebelum mendekati berdiri tegak, tidak batal shalatnya). Wallahu-a’lam.
Setelah kita mengetahui tentang permasalahan tentang tasyahhud awal, kemudian kami akan menjelaskan tentang permasalahan qunut. Semisal, imam meninggalkan qunut disebabkan imam tidak meyakini akan kesunnatan qunut (kaum yang bermadzhab hanafi atau ia lupa untuk melakukan qunut), jika makmum mengetahui bahwa sekiranya ia qunut tidak dapat mengejar imam dalam keadaan sujud, maka ia tidak usah qunut. Sedangkan, jika ia mengetahui bahwa sekiranya ia qunut atau imam tidak mendahuluinya dengan sujud, maka makmum sunnah melakukan qunut tersebut. Pendapat Imam Rafi’I dan Imam Ghazali memutlakkan bahwa diperbolehkan bagi makmum untuk melakukan qunut, jika qunutnya itu sebentar saja, dan dapat mengejar imam. Tetapi, Al-Qadhi Husain mengkiaskan dengan halnya orang yang shalat shubuh dibelakang imam yang mengerjakan shalat dzuhur, dan makmumpun mengerjakan qunut, maka batal shalatnya. Dan Ibnu Rif’ah menjelaskan maksud dari pendapat Al-Qadhi Husain itu yakni hal tersebut digambarkan tatkala makmum menyelisihi ketertiban shalat imam, itulah yang mungkin arah permasalahan yang dikemukakan oleh Al-Qadhi Husain. Wallahu-a’alam.
Syaikh Abu Syujak berkata :
والهيئة لايعود إليها بعد تركها، ولايسجد للسهو عنها. وإذا شك في عدد ماأتى به من الركعات بنى على اليقين وهو الأقل، ويسجد له سجود السهو، ومحله قبل السلام، وهو سنة.
“Sunnah Hai’ah, bagi orang yang meninggalkan sunnah tersebut, maka tidak boleh mengulanginya dan tidak sunnah untuk melakukan sujud syahwi. Jika seseorang ragu terhadap jumlah bilangan raka’t yang telah dilakukannya, maka ia harus melanjutkan shalatnya berdasarkan keyakinannya, yakni mengambil bilangan raka’at yang lebih sedikit, dan karena keraguannya itu, ia disunnahkan untuk melakukan sujud syahwi. Dan tempat sujud syahwi terletak sebelum melakukan salam, hukum melakukannya sunnah”.
Yang dimaksud dengan sunnah hai’ah adalah segala sesuatu yang disunnahkan di dalam shalat, sepert tasbih, takbir, intiqal, ta’awudz, dan lain sebagainya. Bagi orang yang meninggalkanya maka tidak disunnahkan untuk menggantikannya dengan sujud syahwi, dikarenakan meninggalkannya itu bukan dari unsure keterlibatannya dengan shalat (baik meninggalkannya sengaja atau tidak) berbeda dengan halnya sunnah ab’adh yang telah dijelaskan didepan. Jadi, dari segi penalarannya adalah sujud syahwi itu merupakan tambahan di dalam keadaan shalat. Oleh karena itu, tidak boleh melakukan sujud syahwi apabila tidak adanya perintah dari syar’I, dan perintah syar’I itu datang dari sunnah ab’adh. Dari Al-Baghawi berpendapat bahwa, “jika ia melakukan sujud syahwi itu dengan dugaan bahwa hal itu boleh dilakukan, maka batallah shalatnya. Kecuali bagi orang yang baru masuk islam atau orang awam yang masih belum mengetahui tentang hukum. Dari sebagian ulama’ yang lain berkata bahwa, “boleh melakukan sujud syahwi karena meninggalkan tasbih dalam ruku’ dan sujud. Dari sebagian yang lain berpendapat “jika ia meninggalkan surat yang dibaca setelah Al-Fatihah”. Dari sebagian yang lain juga menyebutkan “jika meninggalkan apa yang disunnahkan untuk dilakukan dalam shalat”. Dalam fatwa Rasululloh SAW dalam hadits yang menjelaskan tentang melakukan sujud syahwi dan hukum melakukannya yakni sunnah, yang berbunyi :
كانت الركعة والسجدتان نافلة.
“Satu raka’at dan dua sujud adalah sunnah (tambahan)”.
Dan sujud syahwi menjadi ganti tentang sesuatu hal yang tidak wajib. Sedangkan, hampir ada kemiripan antara sujud syahwi dengan sujud tilawah. Yang membedakan kedua tersebut hanya terletak pada pelaksanaanya saja.

Refrensi Utama : Kitab Kifayatul Akhyar

0 komentar:

Posting Komentar