Pages

أهلا وسهلاعلى بلدي بلوق أن يفسر معنى في رحم الإسلام

Selasa, 16 April 2013

QASHAR SHALAT


PEMBAHASAN
فصل في شروط قصر الصلاة
“Qashar Shalat”
Oleh : Syaiful Anwar
Syaikh Abu Syujak Berkata :
فصل : ويجوز للمسافر قصر الصلاة الرباعية بأربعة شرائط : أن يكون سفره في غير معصية.
Fashl : “Orang yang bepergian (Musaffir) boleh meringkas sholat yang empat roka’at menjadi dua roka’at dengan empat syarat yakni bepergian itu bukan untuk melakukan kemaksiatan”

Syarat yang pertama yakni : bepergiaannya itu bukan untuk kemaksiatan.
Tidak diragukan lagi bahwa pada umumnya bepergian itu untuk menyelamatkan badan dari sesuatu yang ditakuti atau untuk mencapai sesuatu yang dicari. Titik utama dari bepergian adalah tempat dugaan adanya kepayahan, sedangkan kepayahan tersebut menarik kepada kemudahan , oleh karena itu shalat yang empat roka’at dikurangi menjadi dua roka’at.
Kitab Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ para ulama’ menunjukkan tentang adanya kebolehan dalam qashar sholat pada waktu bepergian yang jarak tempuhnya sangat jauh. Mengenai pembahasan kebolehan mengqashar sholat yang diqadha’, terdapat khilaf dan insya’alloh akan dirinci pada pembahasan berikut ini. Alloh SWT telah berfirman dalam QS. An-Nisa’ ayat 101, yang berbunyi :
وإذا ضربتم في الأرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة إن خفتم أن يفتنكم الذين كفروا.
Artinya : “jika kamu sekalian bepergian di muka bumi, maka tidak ada kesempitan bagimu sekalian untuk meringkas sebagian shalat, bila kamu sekalian takut akan fitnah orang-orang kafir.” (QS. An-Nisa’ : 101)
Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diriwayatkan dari Mas’ud RA, beliau berkata :
صليت مع رسول الله صلعم ركعتين ركعتين، ومع أبي بكر ركعتين، ومع عمر ركعتين.
“Aku sholat bersama Rasululloh SAW dua raka’at dan bersama Abu Bakar RA dua raka’at, serta bersama ‘Umar RA dua raka’at.”
Dan Ibnu ‘Umar RA berkata :
سافرت مع رسول الله صلعم وأبي بكر وعمر وكانوا يصلون الظهر والعصر ركعتين وكعتين.
“Aku bepergian bersama Rasululloh SAW, Abu Bakar, dan ‘Umar, dan keiga-tiga mereka sholat dzuhur dan ashar dua raka’at dua raka’at.”
Disyaratkan bepergiannya itu bermanfa’at bukan bepergian karena untuk kemaksiatan, oleh karena itu, bepergiannya itu meliputi yang wajib seperti pergi haji, pergi untuk membayar hutang, dan lain-lain. Yang kedua meliputi sunnah, seperti haji tathawwuk, silaturahim, dan lain-lain. Ketiga boleh (mubah) seperti berdagang dan tamasya. Dan keempat makruh yakni seperti bepergian seorang diri tanpa ada tujuan (Raakibut ta’aasif). Beberapa pendapat dari para ulama’ tentang bepergian yang diperbolehkan untuk melakukan qoshor diantaranya :
a.         Syaikh Abu Muhammad berkata, “diantara tujuan yang rusak (tujuan benar tetapi rusak karena hal lain atau tujuan lain) seperti segolongan orang muslim yang bertujuan untuk observasi tentang negaranya tetapi dia hanya melihat-melihat kota-kota atau negeri-negeri lain”.
b.        Imam Haramain mengatakan, “bepergian itu tidak disyaratkan harus karena ketaatan”. Hal ini juga disepakati oleh para ulama’.
c.         Dalam kitab At-Talkhis diriwayatkan bahwa, “bepergiannya itu harus karena ketaatan”.
Mushannif menjelaskan juga tentang beberapa maksud bepergian karena kemaksiatan, seperti bepergian untuk menyamun, memeras, mendatangkan arak (ganja), orang-orang yang diperintah oleh orang dzalim untuk mengambil uang sogok, perjalanan wanita yang tidak mendapatkan izin suaminya, dan banyak contoh lain. Semua hal yang telah disebutkan di atas atau hal yang sejenis dengannya, maka orang tersebut tidak mendapatkan atau tidak diperbolehkan qashar, dikarenakan qashar itu adalah kemurahan dari Alloh. Jadi, jelas segalah ruskhoh atau kemurahan itu tidak dapat dikaitkan dengan perbuatan maksiat. Dan mushannif juga menjelaskan untuk sholat-sholat yang diperbolehkan untuk diqoshor adalah sholat yang raka’atnya terdiri empat raka’at. Untuk sholat maghrib dan shubuh itu tidak diperkenankan untuk diqoshor sesuai pendapat para ulama’ seperti Imam Rafi’I dan Imam Nawawi dengan dalil ijma’nya. Tetapi, ulama’ dari madzhab lain berpendapat, “Bahwasannya boleh meringkas sholat shubuh menjadi satu raka’at, jika seseorang tersebut dalam keadaan takut”, sebagaimana hal ini sesuai madzhab Ibnu Abbas RA. Wallahu a’lam.
Syarat yang kedua, Sayikh Abu Syujak berkata, :
وأن تكون مسافته ستة عشر فرسخا.
“Jarak bepergiannya harus ada enam belas farsakh (±80/90 KM)”.
Disyaratkan dalam diperbolehkannya melakukan qashar shalat, harus jauh bepergiannya yakni enam belas farsakh. Sebagaimana, telah disebutkan oleh mushannif enam belas farsakh itu sama dengan empat puluh delapan mil Hasyimi, empat barid, jarak tempuh perjalanan dengan menggunakan unta selama dua hari yang cukupan (perjalanan yang sederhana), atau sekitar ±80/90 KM. Perjalanan ini dihitung secara tahdidi (tepat), yaitu menurut qaul yang rajah. Dan jika perjalanan dilautan itu sama halnya dengan jarak perjalanan di daratan. Tetapi, jika seseorang berada di lautan, karena ditahan oleh angin, Ad-Darimi berpendapat bahwa hal itu sama halnya dengan mukim di sebuah kota tanpa berniat. Ketahuilah, bahwa jarak pulang dari bepergian itu tidak diperhitungkan. Jadi, seandainya seseorang menuju kesuatu tempat tujuan dengan jarak satu marhalah dengan niat tidak bermukim, maka tidak boleh menqashar sholatnya (baik berangkat maupun kembalinya). Meskipun, dia payah dengan perjalanan jarak tempuh dua marhalah (satu marhalah dan satu marhalah kembali), dikarenakan hal tersebut tidak dinamakan perjalanan jauh.
Cabang Permasalahan
Orang yang berniat untuk menempuh perajalanan dalam jarak yang jauh, kemudian ia berangkat dan berniat jika ia bertemu dengan seseorang itu, ia akan pulang, dan jika ia tidak bertemu dengannya, ia akan melanjutkan perjalanan. Menurut qaul yang ashah dengan mengambil keputusan bahwa ia mendapat ruskhah utuk mendapatkan qashar, selama ia tidak bertemu dengan orang yang dimaksudnya itu. Apabila ia bertemu dengan orang tersebut, maka ia terkeluar dari bepergian dan tidak mendapatkan ruskhoh untuk mengqoshar sholatnya dan statusnya sebagai orang yang mukim. Seandainya ia pergi dan berniat ke suatu tempat tujuan, jika ia tiba di suatu kota yang berada di tengah-tengah perjalanan, maka ia akan mukim empat hari atau lebih. Dan jika antara temapt berangkat dan tempat tujuan kedua mencukupi jarak qashar, maka ia boleh mengqashar sholatnya, dan jika jaraknya kurang dari apa yang telah ditentukan untuk qashar, maka ia juga mendapatkan ruskhah untuk melakukan qashar menurut qaul yang ashah. Wallahu a’lam.
Syaikh Abu Syujak mengatakan syarat selanjutnya yakni :
وأن يكون مؤديا للصلاة الرباعية، وأن ينوي القصر مع الإحرام.
“Hendaklah ia menunaikan jenis shalat yang terdiri empat raka’at pada waktunya dan hendaklah berniat qashar bersamaan dengan takbiratul ihram”.
Sesuai hujjah dan dalil-dalil adanya shalat qashar harus secara ada’ (tunai). Adapun tentang shalat qadha’, jiaka shalat itu tertinggalnya waktu di rumah (atau mukim) dan akan di qadha’ pada waktu bepergian, maka wajib menyempurnakan shalatnya (4 raka’at), sebab shalat itu telah terhenti dan menjadi tanggungan dalam keadaan empat raka’at. Menurut Ibnu Mundzir, Imam Ahmad, dan para ulama’ sepakat bahwa adanya ijma’ untuk melakukan kewajiban itmam (menyempurnakan shalatnya) itu. Sedangkan, Al-Muzani dan Al-Mawardi mengatakan bahwa boleh untuk diqashar, sebab yang diperhitungkan adalah waktu menjalankan qadha’ itu yakni menqadha’ dalam keadaan perjalanan. Dan apabila dari mushalli itu ragu-ragu apakah ia niat qashar ataukah tidak dalam melakukan shalat tersebut dan ia tidak mengetahui tentang masalah keharamannya, maka ia wajib itmam. Sekalipun ia ingat bahwa ia telah berniat untuk mengqashar, disebabkan adanya keragu-raguan itu yang menjadikan wajib untuk melakukan itmam. Dapat disimpulkan, bahwa pada shalat qashar itu diperlukan empat syarat : Pertama : Niat, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh mushannif. Kedua : ia harus bepergian semenjak dari permulaan shalat hingga akhirnya. Jadi, seandainya ia niat untuk bermukim di tengah-tengah shalat atau bahteranya, dan ketika ia telah tiba di tempat mukim itu, maka ia harus itmam. Ketiga : Harus mengetahui tentang diperbolehkannya untuk melakukan qashar. Jadi, apabila seseorang tidak mengetahuinya, kemudian ia melakukan qashar, maka tidak sah shalatnya disebabkan yang demikian itu berarti ia bermain-main. Dan perkara tersebut telah dinash oleh Imam Syafi’I di dalam kitab Al- Umm. Sedangkan, Imam Nawawi mengatakan bahwa perkara tersebut dilakukan, maka ia wajib mengulangi shalatnya dengan empat raka’at. Keempat : orang yang akan melakukan qashar tersebut tidak boleh bermakmum kepada orang yang mukim atau orang yang melakukan shalat secara itmam, dan jika ia melakukannya maka sholatnya batal qasharnya dan berkewajiban untuk itmam. Tetapi apabila ia bermakmum kepada seseorang yang melakukan shalat qashar juga (baik sama niatnya atau tidak), maka sholat qasharnya tetap sah.
Syaikh Abu Syujak berkata :
ويجوز للمسافر أن يجمع بين الظهر والعصر وبين المغرب والعشاء في وقت أيهما شاء.
“Bagi Musafir boleh mengumpulkan (menjama’) antara shalat dzuhur dan ashar, dan antara maghrib dan isya’ didalam waktu keduanya yang ia kehendaki”.
Boleh mengumpulkan (menjama’) dzuhur dan ashar, maghrib dan isya’ dengan jama’ taqdim (yakni menjama’ di waktu shalat yang pertama, dan juga dengan jama’ takhir (yakni menjama’ di waktu shalat yang kedua) pada waktu bepergian jauh. Dan untuk shalat shubuh tidak boleh dikumpulkan dengan shalat yang lain, dan shalat ashar tidak boleh dikumpulkan dengan shalat maghrib. Sesuia yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal RA, beliau berkata :
خرجنا مع رسول الله صلعم في غزوة تبوك فكان يجمع بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء، فأخر الصلاة يوما، ثم خرج فصلى الظهر والعصر جميعا، ثم دخل ثم خرج فصلى المغرب والعشاء جميعا.
“kami berangkat bersama Rasulullah SAW dalam perang tabuk, kemudian Rasulullah SAWmengumpulkan shalat dzuhur dan ashar, dan mengumpulkan shalat maghrib dan isya’. Kemudian kemudian suatu hari Rasulullah SAW mengakhirkan shalat, lalu pergi. Kemudian beliau melakukan shalat dzuhur dan ashar dengan dikumpulkan bersama. Kemudian beliau masuk (dikemah). Kemudian beliau keluar, lalu shalat maghrib dan isya’ dengan dikumpulkan bersama”.
Syarat-syarat jama’ taqdim ada tiga, diantaranya :
1.             Hendaklah memulai dengan shalat yang pertama, maksudnya melakukan shalat dzuhur sebelum shalat ashar atau melakukan shalat maghrib sebelum shalat isya’, disebabkan jama’ taqdim itu untuk shalat yang pertama dan shalat yang kedua itu mengikuti shalat yang pertama. Jika shalat yang kedua mendahului shalat yang pertama, maka jelas shalatnya tidak sah dan hendaknya ia mengulanginya setelah shalat shalat yang pertama.
2.             Hendaklah niat jama’ ketika takbiratul ihram shalat yang pertama atau ditengah-tengah shalat yang pertama, menurut qaul yang adzhar, jadi tidak boleh berniat jama’ setelah salam shalat yang pertama.
3.             Hendaklah bersamaan (beriringan) antara shalat yang pertama dan shalat yang kedua, disebabkan shalat yang kedua ini mengikuti shalat yang pertama. Dan untuk hal ini mengikuti cara yang datang dari Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, shalat rawatib diantara dua shalat tersebut boleh ditinggalkan dulu.
Jadi, seandainya terdapat perpisahan dengan jarak waqktu yang lama, maka hukumnya tidak boleh lagi mengumpulkan shalat yang kedua dengan shalat yang pertama itu dan wajib mengakhirkan shalat yang kedua itu pada waktunya, baik lamanya perpisahan itu disebabkan oleh adanya unsure seperti lupa, pingsan, atau yang lainnya.
Sebagian besar madzhab syafi’I membolehkan mengumpulkan dua shalat dengan tayammum. Dalam keadaan yang demikian itu ada perpisahan antara dua shalat itu seumpama mencari-cari untuk mendapatkan air, tetapi disyaratkan perpisahan itu harus sebentar saja. Menurut qaul yang shahih, ukuran perpisahan itu harus dikembalikan kepada adat (kebiasaan).
Adapun untuk jama’ ta’khir tidak disyaratkan adanya tertib antara dua shalat tersebut dan tidak disyaratkan berniat jama’ ketika shalat, menurut qaul yang shahih, dan tidak disyaratkan pula beriringan. Memang benar, tetapi disyaratkan hendaklah berniat jama’ di dalam waktu shalat yang pertama penta’khiran sebagai pembeda antara penta’khiran karena lalai dan penta’khiran karena jama’, dan hendaknya waktu itu tidak sunyi dari perbuatan atau azam. Apabila seseorang itu tidak berniat ta’khir atau jama’, maka ia telah berdosa dan jadilah shalat yang pertama sebagai qadhak. Wallahua’alam.
Syaikh Abu Syujak berkata :
ويجوز للحاضر في المطر أن يجمع بينهما في وقت الأولى منهما.
“Orang yang ada di rumah (bukan musafir) pada waktu hujan boleh menjama’ (mengumpulkan ) dua shalat di dalam waktu shalat yang pertama”.
Bagi orang yang mukim diperkenankan mengumpulkan (menjama’) dua shalat dikarenakan hujan diwaktu shalat yang pertama, dzuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya’, menurut qaul yang shahih. Dengan syarat harus shalatnya di suatu tempat yang apabila ia berjalan menuju tempat itu akan kehujanan dan membasah kuyupkan pakaiannya. Imam Rafi’I dan Imam Nawawi mensyaratkan walaupun hujan itu hanya sedikit (gerimis). Al-Qadhi Husain dan Al-Mutawalli mensyaratkan membasahi alas kakinya sebagaimana membasahi pakaiannya. Untuk diperbolehkannya jama’ karena hujan itu telah dijadikan hujjah oleh para ulama’ dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibnu Abbas RA :
أن النبي صلعم صلى بالمدينة ثمانيا جميعا وسبعا جميعا الظهر والعصر والمغرب والعشاء.
“Bahwasannya Rasulullah SAW shalat di Madinah delapat raka’at dengan jama’ dan shalat tujuh raka’at dengan jama’, yakni dzuhur dengan ashar serta maghrib dengan isya”.
Dari hadits di atas Imam Muslim meriwayatkan haditsnya dengan menambahi lafadz yang berate “tanpa ada kekhawatiran dan tidak bepergian”. Disamping diperbolehkannya menjama’ antara dzuhur dengan ashar, maka boleh juga menjama’ antara shalat jum’at dengan ashar. Jadi, diperbolehkannya menjama’ disebabkan karena hujan dan disyaratkan kenyataan adanya hujan pada permulaan shalat yang pertama dan permulaan shalat yang kedua. Dan juga disyaratkan oleh qaul yang shahih yang dipastikan oleh ulama’-ulama’ Iraq yakni adanya hujan ketika salam dari shalat yang pertama. Dimana, penjelasan di atas din ash oleh Imam Syafi’I dan menjadi suatu kepastian oleh ulama’ yang bermadzhab Syafi’i. Mushannif dan menurut qaul yang adzar mengambil pengertian bahwasannya tidak diperkenankan mengumpulkan dua shalat tersebut pada waktu shalat yang kedua dikarenakan adanya hujan. Qaul lain mengatakan boleh menjama’ pada waktu shalat yang kedua, disebabkan qaul ini kias dari penjelasan jama’ dalam keadaan bepergian. Para ulama’ menukil dari pendapat qaul yang memperbolehkan menjama’ shalat pada waktu shalat yang kedua karena kias pada jama’ dalam keadaan bepergian yakni bepergian itu adalah suatu perkara yang berlangsung atau tidaknya itu tergantung oleh sang musafir, maksudnya musafir itu yang menentukan antara meneruskan perjalanannya atau tidak. Berbeda dengan menjama’ disebabkan karena adanya hujan, karena hujan itu tidak bisa ditentukan secara pasti oleh seseorang dikarenakan berlangsung atau tidaknya hujan itu telah ditentukan oleh sang penguasa dunia yakni Alloh SWT. Wallahu’alam.
Cabang Permasalahan
Yang telah termasyhur di dalam madzhab Syafi’i bahwasannya tidak boleh mengumpulkan dua shalat Karena sakit atau jalan berlumpur atau juga karena takut. Imam Haramain dan At-Tirmidzi menyatakan ada sepakat ulama’ akan terlarangnya jama’ dikarenakan sakit. Sedangkan, Al-Qadhi Husain, Al-Mutawalli, Ar-Ruyani, Al-Khatthabi, Imam Ahmad, dan orang-orang yang mengikuti (taqlid) Imam Ahmad (yang termasuk kalangan yang sama atau semadzhab dengan Imam Haramain dan At-Tirmidzi) dimana, mereka semua menentang pendapat dari Imam Haramain dan At-Tirmidzi tentang jama’ yang tidak boleh dilakukan dikarenakan sakit dengan suatu keputusan yang mereka kemukakan yakni boleh melakukan jama’ dikarenakan sakit. Dari Imam Nawawi berpendapat tentang diperbolehkannya melakukan jama’ dikarenakan sakit dengan suatu landasan hadits shahih Muslim, yang berbunyi :
جمع بالمدينة من غير خوف ولامطر.
“Rasulullah SAW melakukan jama’ di Madinah tanpa ada ketakutan dan tanpa hujan”.
Yang menjadi saksi akan diperbolehkannya jama’ dalam keadaan sakit adalah perkataan Ibnu Abbas RA. Hal itu disebutkan oleh Ibnu Abbas RA ketika beliau menyebutkan dalam hadits riwayatnya yang berbunyi :
جمع بالمدينة بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء من غير خوف ولامطر.
“Rasulullah SAW menjalankan jama’ di Madinah antara shalat dzuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya’ tanpa ada ketakutan dan tanpa adanya hujan”.
Kemudian Sa’id bin Jubair bertanya : Mengapa beliau menyatakan seperti itu?, Ibnu Abbas pun menjawab : agar Rasulullah SAW tidak membikin sempit umatnya. Jadi, Ibnu Abbas RA tidak menta’lili jama’ yang dilakukan oleh Rasululloh itu dengan keadaan sakit atau dengan keadaan yang lainnya.
Beberapa Niat dari Qashar, Jama’ dan Jama’ Qashar :
a.         Niat sholat Qoshor (Dzuhur, Ashar, dan Isya’) :
أُصَلِّيْ فَرْضَ (الظُّهْرِ اوالعَصْرِ اوالعِشَاءِ) رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا فَرْضًا لله تعالى.
b.        Niat sholat jama’ :
1.         Jama’ Taqdim Dzuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya’
أصلي فرض (الظهر اوالعصر اوالمغرب اوالعشاء) أربع ركعات (اوثلاث ركعات) مَجْمُوْعًا بـ(الظهر اوالعصر اوالمغرب اوالعشاء) جَمْعَ تَقْدِيْمٍ فرضا لله تعالى.
atau
أصلي فرض (الظهر اوالعصر اوالمغرب اوالعشاء) أربع ركعات (اوثلاث ركعات) مجموعا مع(الظهر اوالعصر اوالمغرب اوالعشاء) جمع تقديم فرضا لله تعالى.
2.         Jama’ Ta’khir Dzuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya’
أصلي فرض (الظهر اوالعصر اوالمغرب اوالعشاء) أربع ركعات (اوثلاث ركعات) مجموعا بـ(الظهر اوالعصر اوالمغرب اوالعشاء) جمع تَأْخِيْرٍ فرضا لله تعالى.
atau
أصلي فرض (الظهر اوالعصر اوالمغرب اوالعشاء) أربع ركعات (اوثلاث ركعات) مجموعا مع(الظهر اوالعصر اوالمغرب اوالعشاء) جمع تأخير فرضا لله تعالى.
c.         Niat sholat jama’ qoshor :
1.         Jama’ Taqdim Qoshor Dzuhur dengan Ashar
أصلي فرض (الظهر اوالعصر) ركعتين مجموعا بـ(الظهر اوالعصر) جمع تقديم قصرا فرضا لله تعالى.
atau
أصلي فرض (الظهر اوالعصر) ركعتين مجموعا مع(الظهر اوالعصر) جمع تقديم قصرا فرضا لله تعالى.
2.         Jama’ Ta’khir Qoshor Dzuhur dengan Ashar
أصلي فرض (الظهر اوالعصر) ركعتين مجموعا بـ(الظهر اوالعصر) جمع تأخير قصرا فرضا لله تعالى.
atau
أصلي فرض (الظهر اوالعصر) ركعتين مجموعا مع(الظهر اوالعصر) جمع تأخير قصرا فرضا لله تعالى

Refrensi Utama : Kitab Kifayatul Akhyar

0 komentar:

Posting Komentar