“BAB LI’AN”
"فصـــل في اللعــان"
Syaikh Abu
Syujak berkata :
﴿ فصل وإذا رمى الرجل زوجته بالزنا فعليه حد القذف، إلا أن يقيم البينة أو يلاعن،
فيقول عند الحاكم على المنبر في جماعة من المسلمين : "أشهد بالله إنني لمن
الصادقين فيما رميت به زوجتي فلانة من الزنا، وأن هذا الولد من زنا وليس مني" (أربع مرات) ، ويقول في الخامسة بعد أن يعظه الحاكم: وعلي
لعنة الله إن كنت من الكاذبين ﴾
[Apabila si lelaki menuduh isterinya berzina, maka wajib atas lelaki
dihukum qadhf, kecuali ia dapat mendatangkan saksi, atau meli’an dengan berkata
diatas mimbar yang berada disisi hakim dan dalam kumpulan orang Islam, “Saya
persaksikan kepada Allah bahwa saya benar terhadap tuduhan saya kepada isteri
saya fulanah, bahwa dia berzina, dan anak ini dari hasil zina bukan dari saya”.
Ungkapan tersebut diulangi sebanyak empat kali. Dan setelah hakim
menasehatinya, ungkapan yang kelima kalinya ia berkata, “Atasku laknat Allah
jika aku berdusta].
Kata اللعان
adalah masdar dari kata "لاعن – يلاعن" yang berarti terjauh dari rahmat Allah. Dua orang yang
berli’an disebut demikian, karena ia akan mengakibatkan dosa dan terjauh dari
rahmat Allah. Karena dari keduanya berjanji li’an (hal yang tak disukai oleh Allah
SWT). Jikalau salah satu dari keduanya berdusta, maka ia statusnya menjadi
ma’lun (yang dikutuk). Ada yang mengatakan karena masing-masing dari keduanya
dijauhkan dari temannya dengan diharamkan selamanya.
Arti menurut syara’ ialah suatu ungkapan (ibarat) kata-kata tertentu yang
dijadikan alasan bagi orang yang terpaksa menuduh karena tikarnya dikotori,
menyusul malu yang akan dialaminya. Lafadz li’an dikecualikan dari kemarahan
(ghadab) dan kesaksian (syahadah) karena li’an adalah suatu lafadz yang ganjil
(gharib), dan sesuatu barang itu terkenal sebab keasingannya. Dan ada yang
mengatakan karena li’an itu kutukan dari si lelaki seperti disebutkan
sebelumnya.
Dasar tentang li’an, sesuai firman Allah SWT :
والذين يرمون أزواجهم ولم يكن لهم شهداء إلا أنفسهم، فشهادة
أحدهم أربع شهادات بالله إنه لَمِنَ الصادقين ﴿6﴾ والخامسة أن لعنة الله عليه إن
كان من الكاذبين ﴿7﴾ (سورة النور : 6-7)
Artinya :“Dan
orang-orang yang menuduh isterinya (berzina) padahal mereka tak membawakan
saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat
kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang
yang benar. Dan (sumpah) yang kelima; bahwa laknat Allah atasnya, jika dia
termasuk orang-orang yang berdusta”. (An-Nuur : 6-7)
Asbabun Nuzul
ayat ini ialah ketika Hilal bin Umayyah menuduh isterinya berzina dengan Syarik
Ibnus Samha’ kepada Rasulullah SAW, maka Rasulullah berkata padanya :
البينة أو حد في ظهرك. فقال: يا رسول الله! إذا رأى أحدنا
على امرأته رجلا ينطلق يلتمس البينة؟ فجعل النبي صلى الله عليه وسلم يقول: البينة
أو حد في ظهرك. فقال هلال: والذي بعثك بالحق إني لصادق، ولينزلن الله ما يبرئ ظهري
من الحد.
Artinya :
“Bawa saksi atau engkau dihukum (dipukul) pada punggungmu. Hilal lalu berkata :
Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melihat seorang laki-laki lain
dengan isterinya (berbuat curang), apakah dia harus pergi mencari saksi? Maka
Nabi tetap berkata: Bawa saksi atau (engkau) dihukum (dipukul) pada punggungmu.
Hilal berkata: Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan hak, sesungguhnya
aku benar. Dan Allah pasti akan menurunkan sesuatu yang dapat membebaskan
punggungku dari hukuman (pukulan)”.
Dengan begitu,
apabila orang laki-laki menuduh zina isterinya, maka wajib atasnya hukuman
(had) sebagaimana telah ditentukan dalam nash Al-Qur’an, dan ia berhak
membebaskan diri dari had dengan dua cara. Dengan membawa saksi atau dengan
mel’an, seperti yang telah ditentukan oleh Hadits di atas. Kemudian jika suami
sudah yakin bahwa isterinya berzina, disebabkan ia melihatnya sendiri bahwa
isterinya berzina, maka ia boleh menuduh isterinya berzina. Demikian juga,
jikalau si isteri mengaku kepada si suami bahwasannya ia benar melakukan zina
dengan orang lain, dan hatinya membenarkan pengakuan si isteri, atau juga orang
yang dapat dipercaya memberitahukan kepada suami, atau memang kabar tentang
isterinya tersebut sudah tersebar luas bahwa isterinya telah melakukan zina
dengan laki-laki lain, disaat salah satu masyarakat melihat sendiri ketika laki-laki
itu keluar dengan si isteri dengan gerak-gerik yang mencurigakan. Jikalau
memang beritanya tersebar luas tetapi tidak ada satupun dari masyarakat
melihatnya sendiri, maka si suami tidak boleh menuduh si isteri melakukan hal
tersebut, menurut qaul yang ashah. Dan Imam Haramain berkata : kalau si suami
melihat seorang laki-laki bersama isterinya dengan tanda-tanda si isteri dalam
keadaan yang boleh diingkari, atau melihat isterinya bersama laki-laki itu
beberapa kali ditempat yang mencurigakan, maka itu samalah dengan berita yang
tersiar disertai melihat. Qaul ini diikuti Imam Ghazali dan
lain-lain. Imam Nawawi mempertegas dengan perkataaan para sahabat-sahabat kami
dengan ungkapan, “apabila si suami tidak melihat si isteri melakukan hal
tersebut, dan si suami hanya mendengarnya dari orang lain, maka si suami tidak
boleh meli’annya dengan bukti yang menjawabnya sendiri seperti tibanya anak
dalam kandungan si isteri yang menurut si suami bukan hasil dari perkawinannya
dengan si isteri”. Dan Imam Nawawi mengatakan pula “lebih baik mentalaknya
jikalau ia benci dengan si isteri setelah mendengar bahwa melakukan hal itu”.
Wallahu a’lam.
Jumhur ulama’ menambah keterangan dari
perkataan Imam Nawawi “jikalau diyakini anak tersebut bukan darinya, maka wajib
atas suami menolak kehadiran tersebut dengan meli’an. Dan dalam satu wajah yang
lain mengatakan tidak wajib menolaknya. Imam Al-Baghawi dan ulama’ lainnya
berkata, “kalau suami yakin dengan keberadaan anak itu hadir dari isteri yang
berzina, maka ia boleh menuduhnya berzina karena boleh jadi anak itu dari suami
sebelumnya atau dari wathi syubhat”. Perkataan para Imam, keyakinan hanya dapat
terjadi apabila suaminya tidak pernah mencampuri sama sekali, atau
mencampurinya tetapi si isteri melahirkan anak itu lebih dari 4 tahun sejak
dari waktu campur atau kurang dari 6 bulan.
Apabila suatu perkara berakhir kepada
li’an, ia harus mengucapkan kelima perkataan tersebut sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya, perkataan tersebut adalah sesuai dengan perintah hakim
atau wakilnya. Dan ia harus menyebutkan isterinya, jikalau si isteri berada
jauh dari negerinya atau dari tempat pertemuan serta menghubungkan nasab isteri
kepada bapak-bapaknya agar perempuan tersebut terbeda dengan perempuan yang
lainnya. Dan jikalau si
isteri hadir maka cukup menunjuknya, menurut qaul yang shahih, karena dengan
hal itu, maka sudah dapat dibedakan sehingga tidak perlu menyebutkan nama dan
nasabnya. Dan ada yang mengatakan harus menyebutkan nama dan
menunjuknya. Ketika keduaya hadir, pada sumpah yang kelima ia harus berkata,
“Bahwa laknat Allah atasku jika aku termasuk orang-orang yang berdusta
berkenaan zina yang aku tuduhkan kepadanya”. Kenapa dengan demikian? Dikarenakan
hal ini adalah ketentuan nash Al-Qur’an, jikalau ada anak, maka ia
menyebutkannya dalam kata-katanya yang kelima, karena dalam hal ini anak
tersebut adalah sebagai kesaksian, dengan mengatakan, “Bahwa anak ini atau
kandungan ini dari zina dan bukan dariku”.
Dan jikalau si
suami mengatakan sebagian dari sumpah itu dengan singkat, seperti “dari zina”,
apakah cukup? Sebagian banyak ulama’ mengatakan tidak cukup, karena kemungkinan
benarnya ia menyangka wathi’ syubhat itu sama dengan zina, sehingga dengan demikian
anak tidak tertolak. Dan qaul yang ashah dari keduanya sebenarnya cukup. Dan
jikalau ia berkata singkat “bukan dariku”, tidak cukup. Dan jikalau ia lupa
menyebut anak dalam sebagian kata li’annya, maka ia perlu mengulangi li’an
tersebut, karena dengan begitu berarti tidak menolak anak.
Mushannif
mengatakan, “ia berkata pada hakim”, ini harus dilakukan sebagai ketentuan
sahnya li’an, dikarenakan li’an itu sebenarnya adalah sumpah. Oleh karena itu,
dengan perintah hakim seperti sumpah-sumpah yang lain.
Mushannif juga
mengatakan, “aku persaksikan”, lafadz ini juga diharuskan. Oleh karena itu,
kalau seseorang menggantikannya dengan berkata, “aku bersumpah demi Allah.....
sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang benar, atasku laknat (la’an) Allah
jika aku berdusta”, kata la’an tidak sah menurut qaul yang ashah jika diganti
dengan lafadz ib’ad (terjatuh dari rahmat Allah), atau menggantinya dengan
lafadz ghadhab (murka), atau menggantinya dengan lafadz sukhth (marah), atau
menggantikannya dengan kata sebaliknya. Dan ada yang berpendapat tidak sama
sekali, karena semua hal itu dapat merusak lafadz yang memang telah
diperintahkan sehingga serupa dengan orang yang menjadi saksi yang merusakkan
lafadz syahadah (kesaksian).
Jikalau si
suami telah sampai pada ucapan la’an (kutuk) atau si isteri sampai pada ucapan
ghadhab (murka), sunnat bagi hakim berkata, “sumpah yang kelima ini
mendatangkan siksa di dunia, dan siksa dunia lebih ringan daripada siksa
akhirat”. Oleh karena itu, takutlah engkau kepada Allah SWT, karena aku
sebenarnya khawatir kalau engkau tidak dan kembali dengan membawa kutukan dari
Allah SWT, semua itu dilakukan oleh hakim guna untuk mengingatkan supaya
kembali, dan kemudian hakim membaca pula ayat dibawah ini :
إن الذين يشترون بعهد الله وأيمانهم ثمنا قليلا أولئك لا
خلاق لهم في الآخرة ولا يكلمهم الله ولا ينظر إليهم يوم القيامة ولا يزكيهم ولهم
عذاب أليم. (سورة آل عمران : 77)
Artinya :
“Sesungguhnya
orang-orang yang menukar (mengingkari) janji Allah dan sumpah-sumpah mereka
dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapatkan kebahagiaan (pahala) di
Akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka, dan tidak akan
melihat mereka pada hari kiamat, dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi
mereka azab yang pedih”. (Ali Imran :
77)
Jika si suami dan si isteri tetap saja
akan meneruskan li’an, maka hakim membiarkan saja. Dan sebaiknya hakim
menyebutkan pula hadits Rasulullah di bawah ini :
أيما امرأة أدخلت على قوم من ليس منهم فليست من الله في شيء
ولن يدخلها الله الجنة. وايما رجل جحد ولده وهو ينظر إليه احتجب الله منه وفضحه
على رؤوس الأولين والآخرين. (وفي رواية) على رؤوس الخلائق يوم القيامة.
Artinya :
“Barangsiapa
dari perempuan yang memasukkan kedalam suatu kaum, orang yang bukan dari itu,
maka perempuan tersebut tidak sedikitpun akan dipandang oleh Allah dan Allah
tidak akan memasukkannya kedalam surge. Dan barangsiapa dari lelaki mengingkari
anaknya, sedangkan ia melihatnya, Allah tetutup baginya, dan dia akan membuka
a’ibnyad dimuka orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian”. (dan dalam satu riwayat),
berbunyi :
“dan dipan seluruh makhluk pada haqri kiamat kelak”.
Diriwayatkan oleh Abu Daud, An Nasa’I,
dan Ibnu Majjah. Ibnu Hibban dan
Al-Hakim mengatakan sumber haidts tersebut shahih, dan ia berkata
menurut syarat muslim. Wallahu a’alam.
Syaikh Abu Syujak berkata :
﴿ويتعلق بلعانه خمسة أحكام: سقوط الحد عنه، ووجوب الحد عليها،
وزوال الفراش، ونفي الولد، والتحريم على الأبد.﴾
[Dan ada lima ketentuan hukum yang berkaitan dengan li’an dari pihak laki-laki,
yaitu ; 1. Gugur hukuman (had) pada si lelaki, 2. Wajib had atas si perempuan, 3.
Hilang tikar (cerai antara suami isteri), 4. Kalau ada anak , anak itu tidak
dapat diakui oleh suami, 5. Haram (kawin) selama-lamanya].
Perlu diketahui,
bahwa suami tidak dapat dipaksa untuk berli’an sesudah ia menuduh zina, tetapi
ia boleh menahan diri, dan ia wajib di hukum sesuai dengan had menuduh zina
seperti orang lain. Isteri dalam hal ini juga tidak dapat dipaksa berli’an
sesudah suami meli’annya. Selanjutnya, jikalau suami meli’an dan setelah
melengkapi hal-hal yang mengenai li’an, maka berlakulah hukum berturut-turut
sebagimana berikut :
1. Gugur hukuman/pukulan
(had) ke atas suami, sesuai dengan ayat yang mulia itu, sebab ayat tersebut
menempatkan li’an pada kedudukan saksi dipihak suami.
2. Si isteri wajid
dihukum (had), apabila suami menuduhnya berzina yang dihubungkannya pada
keadaan suami-isteri, sedangkan si isteri seorang muslimah, sesuai dengan
firman Allah SWT, yang berbunyi :
ويدرأ عنها العذاب أن
تشهد أربع شهادات بالله إنه لمن الكاذبين. (سورة النور : 8)
Artinya : “Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh
sumpahnya empat kali atas nama Allah, sesungguhnya suaminya itu benar-benar
termasuk orang yang berdusta”. (An- Nur : 8)
3. Terjadi perceraian
antara suami isteri. Itulah yang diungkapkan mushannif dengan “hilangnya tikar”.
Perceraian ini terjadi lahir batin, baik si isteri benar maupun si suami benar.
Ada yang mengatakan kalau si isteri
benar tidak terjadi perceraian batin. Dan qaul yang shahih ialah yang pertama. Alasannya
ialah dalam sebuah Hadits Rasulullah SAW, yang berbunyi :
أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم فرق بين رجل وامرأته تلاعنا في زمنه عليه الصلاة والسلام وألحق الولد بالأم.
رواه ابن عمر رضي الله عنه أخبره الإمام البخاري والمسلم.
Artinya : “Sesungguhnya Rasulullah SAW telah
menceraikan seorang lelaki dengan isteri yang saling berli’an pada zamannya
Rasulullah SAW, dan beliau mengikutkan anak kepada ibu”. Diriwayatkan oleh
Ibnu Umar RA dan diberitakan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
4. Kalau ada anak,
maka anak itu tidak diakui oleh suami, karena alasannya sesuai dengan hadits di
atas.
5. Haram buat selama-lamanya
antara kedua suami-isteri apabila terjadi percearaian dengan lian, dikarenakan
Al-‘Ajlani berkata sesudah berli’an, “aku berdusta kepadanya jika aku masih
menahannya, maka ia ditalak tiga”, kemudian Rasulullah SAW bersabda, :
لاسبيل لك
عليها.
Artinya : “Tidak ada jalan lagi bagimu kepadanya”.
Nabi meniadakan
jalan secara mutlak. Seandainya tidak menjadi haram selamanya tentu beliau
menerangkan sebabnya seperti beliau menerangkan sebab pada perempuan yang
ditalak tiga.
Dan diriwayatkan
pula
:
المتلاعنان
لايجتمعان أبدا.
“Dua orang suami isteri yang berli’an tidak akan berkumpul buat selamanya”.
Kalau suami
telah mentalaknya dengan talak baa’in sebelum li’an, kemudian ia meli’annya,
apakah keharaman menjadi selamanya? Ada dua wajah; yang ashah dari kedua wajah;
“YA” (menjadi haram selamanya).
Ketentuan-ketentuan
ini tergantung semata-mata kepada li’an dari suami dan ketentuan-ketentuan
tersebut sedikitpun tidak tergantung atas li’an dari isteri, juga tidak atas
keputusan hakikm. Dan seandainya suami mengajukan saksi terhadap zina yang
diperbuat isteri, maka si isteri tidak berhak meli’an untuk menolak hukuman
had, karena li’an tersebut adalah alasan yang lemah, oleh sebab itu, li’an
tidak dapat melawan saksi. Wallahu a’lam.
Cabang Permasalahan
Seandainya perempuan
yang dili’an itu seorang hamba sahaya, kemudian hamba sahaya yang dili’an
dimiliki suami, maka untuk dapat mencampurinya dengan halal ada dua jalan; dan
yang diputuskan oleh ulama’ Iraq dilarang mencampurinya. Dan ada yang
mengatakan terdapat khilaf dalam hal apabila si suami mentalak isterinya yang
hamba sahaya dengan talak tiga. Kemudian suami memilikinya, apakah halal
baginya atau tidak? Qaul yang ashah, tidak bagi si suami, sampai isteri tadi
dinikahi dengan orang lain, dan lalu mentalaknya menurut syarat-syaratnya,
sesuai dengan maksud jelas di dalam ayat :
فإن طلقها فلاتحل له من بعد حتى تنكح زوجا غيره. (سورة البقرة : 230)
Artinya :
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan
itu tidak halal lagi baginya hingga dia berkawin dengan suami yang lain”. (Al- Baqarah : 230)
Ada pula yang
mengatakan perempuan itu halal, karena talak tiga tidak menghalanginya untuk
dimiliki, sehingga talak tiga itupun tidak dapat mencegah percampuran dengan
hamba sahaya yang dimiliki; berbeda dengan nikah yang pertama. Wallahu a’lam.
Syaikh Abu
syujak berkata :
﴿ويسقط الحد عنها بأن تلاعن، فتقول: أشهد بالله أن فلانا هذا من
الكاذبين فيما رماني به من الزنا (أربع مرات) وتقول في الخامسة بعد أن يعظها
الحاكم: وعلي غضب الله إن كان من الصادقينز﴾
[Hukuman (had) gugur pada isteri sebab ia meli’an. Maka ia berkata, “Aku
persaksikan kepada Allah bahwa fulan ini termasuk orang-orang yang berdusta
dalam zina yang ia tuduhkan kepadaku”- diucapkan empat kali- Dan pada sumpah
yang kelima sesudah hakim menasehatinya, ia berkata, “Dan atasku murka Allah,
kalau si fulan itu termasuk orang-orang yang benar”].
Telah anda
ketahui, bahwa isteri tidak dapat dipaksa untuk berli’an, tetapi ia boleh meli’an
untuk menangkis hukuman (had) sesuai dengan firman Allah SWT, yang berbunyi :
ويدرأ عنها العذاب أن تشهد أربع شهادات بالله إنه لَمِنَ
الكاذبين. (سورة النور : 8)
Artinya :
“Isteri itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah,
sesungguhnya suami itu benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta”.
(An- Nuur : 8)
Si perempuan
menunjuk kepada suaminya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, jika ia
hadir, ataupun si perempuan menyebutkan nama dan keturunannya yang dapat
membedakannya dengan yang lain, kalau suami itu tidak hadir. Dan pada sumpah
yang kelima si perempuan berkata, “Sesungguhnya murka Allah atas dirinya,
jikalau si fulan termasuk orang-orang yang benar”, sesuai ayat diatas. Dan si
perempuan tidak perlu menyebut anak di dalam li’annya karena jikalau
menyebutkan maka li’annya tidak mempengaruhi. Dan ada yang berpendapat si
perempuan harus menyebutnya supaya kedua li’an itu bertemu. Wallahu a’lam.
Cabang Permasalahan
Seseorang berkata
kepada yang lain, “Hai kaum Luth!”, apakah perkataan tersebut sindiran
(kinayah) dalam menuduh zina, ataukah tuduhan yang terang (sharih)? Pendapat madzhab
pada Imam Rafi’i, perkataan tersebut adalah kinayah bukan sharih. Kata Imam
Nawawi, perkataan tersebut biasanya diucapkan dengan maksud persetubuhan (wath’i)
pada lubang belakang (dubur). Bahkan hanya di artikan seperti itu saja. Oleh karena itu, sebaiknya
harus diyakinkan bahwa perkataan tersebut adalah sharih. Kemudian katanya,
bahwa yang sudah dipastikan bahwa perkataan tersebut adalah sharih. Mushannif kitab
At-Tanbih juga memastikan kebenaran pendapat tersebut, sekalipun yang
terkenal di dalam madzhab bahwa perkataan tersbut adalah kinayah. Dan yang
diherankan pula ia berkata di dalam pendapat yang diperbaiki di dalam At-Tanbih,
bahwa yang pasti adalah kinayah. Wallahu a’lam.
Cabang Permasalahan
Sering terdengar orang berkata kepada anak-anak dan
lainnya, “Hai anak zina!”. Kata-kata seperti ini suatu tuduhan terhadap ibu
anak yang ditujukan kata-kata itu. Oleh karena itu, wajib dihukum (had), karena
perkataan tersebut adalah tuduhan (qadzf) yag sharih. Wallahu’ a’lam.
Refrensi Utama : Kitab Kifayatul Akhyar
0 komentar:
Posting Komentar