FASE KELIMA (350 H – 656 H)
MASA KELEMAHAN BANI ABBASIAH
Kekuatan kekuasaan Dinasti Abbasiyah semakin
masa semakin lemah,
apalagi dengan sempitnya wilayah
kekuasaan Dinasti Abbasiyah
ini sangat menunjukkan betapa lemahnya
kekuatan politik Dinasti
Abbasiyah ini. Sebagaimana terlihat dalam periodisasi
khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai pada awal periode
kedua.
Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang
secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada
periode pertama, hanya karena
khalifah pada periode ini sangat kuat, para
menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah
lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur,
masing-masing
faktor tersebut saling berkaitan satu
sama
lain, beberapa diantaranaya
adalah adanya persaingan antar bangsa, kemerosotan ekonomi, konflik keagamaan,
dan ancaman dari luar.
TUMBUHNYA JIWA TAQLID, TIMBULNYA MAZHAB
DAN KEGIATAN FUQAHA DALAM PERIODE TAQLID
Periode berlangsung dari abad 10 / 11 M sampai abad 19 M,
yaitu pada akhir Khalifah Abbasiyyah. Periode ini disebut taqlid karena para
fuqaha pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan
kepada kandungan madzhab yang sudah ada seperti madzhab Hanbali.
1. Pengertian
Taqlid
Taqlid
menurut bahasa adalah mengikuti orang lain tanpa berpikir. Sedangkan taqlid
secara syara’ adalah melaksanakan pendapat orang lain tanpa disertai hujjah
yang kuat. Misalnya orang awam yang mengambil pendapat seorang mujtahid, atau
seorang mujtahid yang mengambil pendapat mujtahid lain.
2. Asal Usul Istilah
Periode ini disebut sebagai periode
Taqlid karena para fuqoha pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu yang baru
untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah ada, seperti madzhab
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, serta madzhab lain yang sudah mencapai
tahap kemajuan dan sudah dibukukan bersamaan dengan ilmu-ilmu syar’i yang
lainnya.
3. Sejarah Kemunculan Taqlid
Bagi orang yang mengamati perjalanan
syariat islam pada fase ini, tentu akan mendapati bahwa jiwa kemandirian
sebagian para fuqoha sudah mati dan beralih kepada taklid , tanpa ada semangat
untuk mencari terobosan dan kreatifitas baru.
Mereka telah meletakkan diri pada ruang
yang sempit ,yaitu ruang madzhab yang tidak boleh dilewati apalagi dilompati,
sehingga mereka hanya ikut-ikutan( Taqlid) saja.
Walaupun fase ini penuh dengan semangat
taqlid, namun sebenarnya masih ada beberapa ulama yang memiliki kemampuan untuk
berijtihad dan mengistinbatkan hukum seperti pendahulu mereka. Akan tetapi, mereka sudah menutup
celah itu dan merasa cukup dengan apa yang sudah dilakukan oleh pendahulunya
yaitu para ulama mazhab. Hal itu disebabkan tingkat ketakwaan dan ke-wara’ an
mereka sehingga lebih memilih berputar diatas bahtera fiqih yang sudah ada.
Diantara ulama-ulama tersebut adalah Abu Al Hasan Al Karkhi, Abu Bakar Ar-Razi
dari kalangan mazhab Hanafi, Ibnu Rusyd Al Qurthubi dari mazhab Maliki, Al
Juwaini Imam Al Haramain dan Al Ghazali dari kalangan mazhab Syafi’i.
Dari penjelasan diatas, dapat kita ketahui bahwa ada
sebagian fuqoha yang memiliki kapasitas untuk memahami, beristinbat, dan
berijtihad secara mutlak, namun mereka lebih memilih untuk ber-taklid dan
mengikat pikiran mereka dengan semua prinsip serta masalah cabang yang ada
dalam mazhab. Adapun
sebab terjadinya taqlid adalah sebagai berikut :
a)
Pembukuan Kitab
Mazhab
Dalam pembahasan sebelumnya, kita telah
membahas bahwa kebangkitan fiqh Islam telah ditandai dengan telah ditulisnya
fiqh Islam serta dijadikan rujukan dalam menjawab semua persoalan yang dihadapi
masyarakat sehingga sangat mudah untuk diketahui secara cepat. Sehingga hal tersebut membuat para
ulama pada periode ini tidak mempunyai keinginan untuk berijtihad lagi.
b)
Fanatisme Mazhab
c)
Para ulama pada masa ini sibuk dengan menyebarkan ajaran
mazhab dan mengajak orang lain untuk ikut dan berfanatik kepada pendapat fuqaha
tertentu. Bahkan sampai kepada tingkat di mana seseorang tidak berani berbeda
pendapat dengan imamnya, seakan keberadaan semuanya ada pada sang guru kecuali
beberapa ulama yang tidak ikut-ikutan seperti Abu Al-Hasan Al-Kurkhiy dari
ulama Hanafiyah, bahkan ada yang berani mengatakan,”Setiap ayat yang
bertentangan dengan pendapat mazhab kami maka ayat itu perlu ditakwilkan atau
dihapuskan,” termasuk juga hadis Nabi. Inilah bentuk pemikiran yang tersebar
pada saat itu yang disebabkan oleh loyalitas kepada imam secara berlebihan ,
yang kemudian menutup mata mereka dari Ijtihad.
d)
Jabatan Hakim
Para khalifah biasanya tidak memberikan
jabatan hakim, kecuali kepada mereka yang memang mampunyai kemampuan dalam
bidang ilmu Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW serta memiliki kemampuan untik
berijtihad dan menggali hukum. Dan
manhaj para khalifah dalam meminta para hakim agar dalam memutuskan perkara
harus berdasarkan kepada Al-Qur’an dan sunnah Rasul, dan logika yang dekat
dengan kebenaran. Namun , ketika kondisi sosial sudah berubah bersama
pergeseran waktu, para khalifah lebih mengutamakan para hakim yang hanya bisa
bertaqlid, ikut pada mazhab tertentu yang sudah ditetapkan oleh khalifah.
Inilah salah satu penyebab mengapa orang yang akan menjabat sebagai hakim harus
mengikuti salah satu mazhab dan tidak melangkahinya.
e) Ditutupnya Pintu Ijtihad
Petaka besar menimpa Fiqih Islam pada
periode ini, dimana kesucian ilmu ternodai, orang-orang berani berfatwa,
menggali hukum sedangkan mereka sangat jauh dari pemahaman terhadap kaidah dan
dalil-dalil Fiqih yang pada akhirnya mereka berbicara tentang agama tanpa Ilmu.
Keadaan ini memaksa para penguasa dan ulama untuk menutup pintu ijtihad pada
pertengahan abad keempat hijriah agar mereka mengklaim diri sebagai mujtahid
tidak bisa bertindak leluasa dan menyelamatkan masyarakat umum dari fatwa yang
menyesatkan. Akan
tetapi sangat disayangkan, larangan ini telah memberi efek yang negatif
terhadap Fiqih Islam sehingga menjadi jumud dan ketinggalan zaman. Seharusnya
para fuqoha periode ini meletakkan beberapa aturan yang bisa digunakan untuk
membantah pendapat ulama gadungan tersebut. Salah satunya dengan menjelaskan
dalil dan bukti yang menyingkap aib mereka didepan orang banyak, dan melarang
masyarakat untuk mengikutinya karena fatwa mereka tanpa ilmu dan menyesatkan
dan bukan menutup pintu ijtihad. Andaikan hal ini mereka lakukan , niscaya
mereka telah memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan fiqih Islam
dan lebih baik dari pada menutup pintu ijtihad sama sekali.
KESUNGGUHAN ULAMA DALAM PEMBENTUKAN
HUKUM PADA PERIODE INI
Walaupun sebetulnya banyak faktor yang membuat para ulama
berhenti melakukan ijtihad mutlak dan mengembangkan hukum-hukum syari’at dari
sumber-sumbernya yang pertama, namun tidaklah berarti bahwa mereka juga mandek
dan berhenti kesungguhannya dalam upaya pembentukan hukum dilingkungan daerah
mereka yang terbatas. Oleh karena itu, para ulama pada tiap-tiap mazhab bisa
dibagi menjadi beberapa level atau tingkatan, yaitu:
Level pertama: ahli ijtihad dan mazhab.
Mereka ini tidak berijtihad dalam hukum syari’at secara
ijtihad mutlak, mereka hanya berijtihad mengenai berbagai kasus yang terjadi
dengan dasar-dasar ijtihad yang telah dirumuskan oleh para imam mazhab mereka.
Diantara mereka ialah: al-Hasan bin Ziyad(204 H/820 M) dari mazhab Hanafi, Ibnu
al-Qasim (191 H/) dan Asyhab (204 H/820 M) dari mazhab Maliki, dan al-Buwaithiy
(231 H) dan al-Muzanny(264 H) dari mazhab Syafi’i. Dasar-dasar para imam
merekalah yang digunakan sebagai dasar-dasar dalam pengembangan hukum-hukum.
Level kedua: Ahli ijtihad mengenai beberapa masalah yang
tidak ada riwayat dari imam mazhabnya.
Mereka ini tidak menyalahi para imam mereka dalam
berbagai hukum cabang dan juga tidak menyalahi dasar-dasar ijtihad yang mereka
gunakan. Mereka hanya mengistinbatkan hukum-hukum mengenai berbagai masalah
yang tidak ada riwayatnya sesuai dasar-dasar yang digunakan para imam mereka
dan dengan meng-qiyaskan kepada cabang-cabang hukum mereka. Mereka yang
termasuk dalam level kedua ini adalah al-Khashshaf (261 H), al-Thahawiy(lahir
230 H), dan al-Karkhiy(340 H) dari penganut mazhab Hanafi. Al-Lakhamiy(498 H), Ibnu
al-Arabiy(542 H) dan Ibnu Rusyd (1198 M) dari penganut mazhab Maliki. Abu Hamid
al-Ghazaliy(505 H/1111 M) dan Abu Ishaq al-Isfirayiniy (418 H) dari penganut
mazhab Syafi’i.
Level
ketiga: Ahli Takhrij.
Mereka ini
tidak berijtihad dalam mengistinbatkan hukum mengenai berbagai masalah. Akan
tetapi, karena keterikatan mereka kepada dasar-dasar dan rujukan mazhab yang
dianutnya, maka mereka tidak berusaha mengeluarkan illat-illat hukum dan
prinsipnya. Dengan dasar inilah mereka membatasi diri hanya pada memberi
interpretasi terhadap pendapat-pendapat imamnya yang masih bersifat global atau
menentukan arah tertentu bagi suatu hukum yang mengandung kemungkinan dua arah.
Yang termasuk dalam level ketiga ini ialah seperti Al Jahshash(370 H) dan
rekan-rekannya dari mazhab Hanafi.
Level
keempat: Ahli Tarjih
Mereka ini
mampu membandingkan diantara beberapa riwayat yang bermacam-macam yang
bersumber dari para imam mazhab mereka dan sekaligus mampu mentarjih,
menetapkan mana yang kuat antara satu riwayat dengan riwayat lainnya. Mereka
yang termasuk dalam level ini adalah al Qadury(428 H) dan pengarang kitab al
Hidayah, serta rekan-rekannya sesama penganut mazhab Hanafi.
Level
Kelima: Ahli Taqlid
Mereka ini
mampu membeda-bedakan antara riwayat-riwayat yang jarang dikenal dan riwayat
yang sudah terkenal dan jelas, dan mampu membada-bedakan antara dalil-dalil
yang kuat dan yang lemah. Mereka yang termasuk dalam level kelima ini adalah
pengarang kitab matan-matan yang terkenal dan mu’tabar dikalangan mazhab
Hanafi, seperti pengarang kitab al Kanz dan al Wiqoyah.
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa
kesungguhan aktivitas para ulama dalam pembentukan hukum pada periode ini
adalah mencurahkan perhatiannya kepada pendapat-pendapat dan hukum-hukum yang
sudah dibentuk dan ditetapkan oleh para imam mazhab mereka. Mereka membatasi
diri mereka hanya pada pembahasan mengenai pendapat-pendapat imam mazhab mereka
dan illat-illat yang mereka jadikan dasar pertimbangan, serta mereka mentarjih,
menetapkan mana pendapat yang lebih kuat diantara pendapat imam mazhab mereka
yang kelihatan kontradiksi antara satu dengan yang lainnya.
Pada periode sebelumnya, umat islam yang bertaklid hanya
kalangan awam, sedang para tokoh imam mereka hanya ditaklidi. Akan tetapi pada periode ini seluruh
umat Islam menjadi pentaqlid. Para ulama telah lupa apa yang pernah diucapkan
Abu Hanifah ketika mengomentari keberadaan ulama fiqih sebelumnya.
هم رجال ونحن رجال
“Mereka ini adalah tokoh-tokoh ulama dan kami juga sama-sama
tokoh ulama”
Juga
melupakan apa yang pernah diucapkan imam Malik bin Anas, yang berbunyi
:
ما من احد الا ويؤخذ مامن قوله ويترك
الا المعصوم ص م
“Tak ada seorangpun kecuali pendapatnya
boleh diambil dan boleh ditinggalkan kecuali sabda orang ma’sum, Nabi SAW”
Demikian juga mereka lupa apa yang diucapkan imam
Syafi’i, yang berbunyi :
اذا صح الحديث فهو مذهبى
“Kalau hadist itu sudah shahih, maka
itulah mazhabku”
RUMUSAN KAEDAH-KAEDAH ISTINBATH
A. IMAM ABU HANIFAH
1. Kehidupan Imam Abu Hanifah
Abu Hanifah merupakan imam pertama dari keempat imam dan yang paling
dahulu lahir juga wafatnya, ia mampu memeperoleh kedudukan yang terhormat
dalam masyarakat yang menghimpun factor-faktor positif dan factor-faktor
negative, sehingga tidak heran ia di juluki Imam A’zham (pemimpin terbesar), ia
juga dikenal sebagai fakih irak, dan imam Ar-Ra’y (Imam Aliran Rasional)
Beliau dilahirkan di kota Kuffah, pada tahun 80 H (699 M), beliau benama
asli Nu’mam bin Tsabit Bin Zhauth Bin Mah, ayah beliau keturunan bangsa persi (
Kabul Afganistan) yang menetap di Kuffah, tsabit bapak dari abu hanifah lahir
sebagai seorang muslim dan diriwayatkan dia berasal dari bangsa anbar. Adapula
ia mukim di tirtmidz, ada lagi yang mengatakan ia bermukim di Nisa, bisa jadi
ia bermukim di tiap-tiap kota itu sementara waktu. Ia adaalah seorang pedagang
yang kaya dan taat beragama, sebagai mana ia pernah berttemu dengan ali bin Abi
Thalib, lalu sang imam mendoakan dan keturunananya dengan kebaikan dan
keberkahan.
2.
Pendidikan Imam
abu Hanifah
pada masa abu
hanifah terdapat empat sahabat, mereka adalah: Anas bin Malik, Abdullah bin Abu
Aufa, Sahl bin Sa’ad dan Abu Thufail, mereka adalah sahabat-sahabta yang paling
akhir wafat, namun abu Hanifah tidak Berguru kepada mereka.
Mengapa tidak
berguru kepada mereka?, mungkin diantara mereka ada yang sudah wafat sedang abu
hanifah masih kecil, seperti Abdullah bin Aufa yang meninggal pada tahun 87
hijriyah sehinggga umur abu hanifah pada waktu itu baru 7 tahun, dan
seperti abu Sahl bin Sa’ad yang wafat tahun 88 atau 91 hijriyah dan umur Imam
Hanafi baru berumur 11 tahun. Sementara Anas bin Malik wafat pada tahun 90 atau
92 atau 95 hijriyah dank ala itu abu Hanifah berumur 15 tahun dan belum mulai
mencari ilmu, ketika itu beliau masih berdagang.
3.
Dasar-Dasar
Istinbath Mazhab Imam Abu Hanifah
Mazhab abu
Hanifah adalah gambaran yang hidup dan jelas bagi relevansi Hukum Islam
dengan tuntutan masyarakat, beliau mendasarkan mazhabnya pada :
a.
Al-Qur’an: Alqur’an
merupakan sumber pokok huku islam sampai akhir zaman.
b.
Hadits: Hadits
merupakan penjelas dari pada Al-Qur’an yang asih bersifat umum.
c.
Aqwalus
shahabah
(Ucapan Para Sahabat): ucapan para sahbat menurut Imam hanafi itu sangat
penting karena menurut beliau para sahabat meupakan pembawa ajaran rasul
setelah generasinya.
d.
Qiyas: beliau akan
menggunakan Qiyas apa bila tidak ditemukan dalam Nash Al-Qur’an, Hadits, maupun
Aqwalus shahabah.
e. Istihsan:
merupakan kelanjutan dari Qiyas. Epnggunaan Ar-Ra’yu lebih menonjol
lagi,istihsan menurut bahasa adalah “menganggap lebih baik”, menurut
ulama Ushul Fiqh Istihsan adalah meninggalkan ketentuan Qiyas yang jelas
Illatnya untuk mengamalkan Qiyas yang bersifat samar.
f. Urf, beliaua
mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dalam kebutuhan srta
memeperhatikan muamalh manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka.
Beliau menggunakan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an ,As-Sunnah
dan Ijma’ atau Qiyas ), beliau akan menggunakan Istihsan, jika tidak bisa
digunakan dengan istihsan maka beliau kembalikan kepada Urf manusi
4. Pendirian Imam
Abu Hanifah tentang Taqlid
Sebagai seorang
ulama, beliau tidak membenarkan seorang bertaklid buta dengan beliau
(tidak mengetahui dasar/dalil yang digunakan). Begitu juga kepada para Ulama
beliau menginginkan seorang bersikap kritis dalam menerima fatwa dalam ajaran
agama. Bahkan beliau pernah berkata “Tidak Halal bagi seorang yang ating
fatwa dengan perkataanku, selama ia belum
mengerti dari mana perkataanku”.
Dalam
mengistinbathkan hukum, beliau melihat terlebih dahulu kepada kitabullah, bila
tidak ditemukan dilanjutkan kepada sunnah jika tidak ditemukan pula dalam
sunnah beliau melihat kepada perkataan para sahabat, lalu beliau menggunakan
jalan pikiran untuk mengambil pendapat mana yang sesuai dengan jalan pikiran dan
ditinggal mana yang tidak sesuai.
B.
IMAM MALIK
1. Kehidupan Imam
Malik
Imam malik
dilahirkan dikota Dzu Al-muruwah di selatan kota madinah, lalu pindah ke aqiq
dan kemudian pindah ke madinah, menurut riwayat beliau dilahirkan diamdinah
pada tahun 93 H, namun ada yang mengatakan pula pada tahun 91 H,94 H, 95 H, 96
H, bahkan ada pula yang mengatakan tahun 97 H. diriwayatkan ibunya mengandung
beliau selama dua tahun, ada lagi yang mengatakan tiga tahun, beliau bernama
asli malik bin Anas bin Malik bin Abu amir bin amr bin ghaimah bin Khutsail bin
amr bi Harits ia termasuk bani taim bin Murrah.
Kakek keduanya,
abu Amir bin Amr adalah seorang sahabat Rasulullah SAW, sedangkan kakek
pertamanya, malik bin Abu Amir adalah salah satu tokoh Tabi’in.
2. Pendidikan Imam
Malik
Imam Malik
berguru kepada banyak guru diantaranya adalah Abdurrahman ibnu hurmuz, Rabi’ah bi
Abdurrahman Farrukh, ati’ budak Abdullah bin Umar, Ja’far bin Muhammad Baqir,
Muhammad bin Muslim Az-Zuhri, Abdurrahman Dzakwan, Yahya bin Sa’id Al-Anshari,
Abu hazim Salamah bin Dinar, dan guru-gurunya yang lain dari kalangan tabi’in,
seperti yang di ungkapkan oleh An-Nawawi.
Imam malik
menurut riwayat An-Nawawi bahwa imam Malik berguru kepada pada 900 guru, 300
dari kalangan tabi’in, dan 600 dari kalangan tabi’it tabi’in yang terdiri dari
ulama yang ia pilih, ia akui agamanya, fiqihnya, pemenuhan kewajiban
periwayatan dan syarat-syaratnya, serta ia percaya.
3. Dasar-Dasar
Istinbath Mazhab Imam Malik
Mazhab Imam
Malik adalah sebagai berikut:
a. Al-qur’an:
Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena
Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia
dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an.
b. Sunnah rasul
yang beliau pandang sah.
c. Ijma’ para
Ulama Madinah, tetapi beliau kadang-kadang menolak hadits apabila nyata-nyata
berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama madinah.
d. Qiyas : Qiyas
menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata
Qasa. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain
dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya.
e. Mashalihul
Mursalah (Istislah): Maslahah mursalah menurut lughat terdiri atas dua
kata, yaitu maslahah dan mursalah. Kata mursalah berasal
dari kata bahasa arab sholaha- yasluhu menjadi sholhan
atau mashlahatan yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan,
sedangkan kata mursalah berasal dari kata kerja yang ditafsirkan sehingga
menjadi isim maf’ul, yaitu: arsala- yursilu- irsalan- mursalan yang
berarti diutus, dikirim atau dipakai (dipergunakan). Perpaduan dua kata menjadi
“maslahah mursalah” yang berarti prinsip kemaslahatan (kebaikan) yang
dipergunakan menetapkan suatu hukum islam, juga dapat berarti suatu perbuatan
yang mengandung nilai baik (manfaat).
4.
Pendirian Imam
Malik tentang Taqlid
Imam Malik,
imam penduduk Madinah, berkata :
Sesungguhnya
saya adalah manusia biasa, yang dapat salah dan dapat juga benar. maka
perhatikan secara kritis pendapatku. Jika sesuai dengan kitab dan Sunnah
ambillah, dan setiap pendapat yang tidak sesuai dengan kitab dan Sunnah
tinggalkanlah. Setiap orang sesudah Nabi dapat diambil
ucapannya dan dapat pula ditinggalkan, kecuali, Nabi Muhammad SAW.
C.
IMAM AS-SYAFI’I
1. Kehidupan Imam
Syafi’i
Syafi’I lahir
di Gaza, palestina pada tahun 150 Hijriyah inilah pendapat paling masyhur
dikalangan ulama namun ada juga riwayat ynag mengatakan bahwa imam syafi’I
lahir di daerah Asqalan, sebuah daerah yang berjarak kuarang lebih tiga Fasakh
(8KM) dari Gaza dan sejauh dua atau tiga marhala, dari Baitul maqdis,
bahka ada juga yang mengatakan bahwa beliau dilahirkan di Yaman. Namun menurut
An-Nawawi “pendapat paling masyhur yang dipegang oleh jumhur ulama bahwa
imam Syafi’I lahir di Gaza”
Nama lengkap
beliau adalah: Abu Abdullah bin Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin
Syafi’I bin Sa’id bin Ubaid bin abu Yazid bin Hasyim bin Muthalib bin Abdu
Manaf, nasabnya samapai kepada rasulullah saw, pada kakeknya Abdu Manaf, oleh
karena itu ia dikatakan tentang Syafi’I, “cucu sepupu Nabi saw”.
2. Pendididkan Imam Syafi’I
Imam Syafi’I hafal Al-qur’an ketika umurnya masih belia, kemudian beliau
juga menghafal hadist dan berhasil menghafalnya, ubeliau sangat ertarik kepada
kaidah-kaidah Arab dan kalimat-kalimtnya, demi hal itu ia pergi ke pedalaman
dan tinggal bersama kabilah Hudzail sekitar sepuluh tahun.
Pertama beliau berguru kepada Syaikhnya, Muslim Khalid Az-Zinzi dan
imam-imam makkah lainnya lalu belia pergi ke Madinah kala berusia 13 tahun, ia
tetap berguru kepada malik hingga ia wafat.
Diantara guru-guru syafi’I di makkah antara lain: Muslim bin Khalid
Az-Zinzi, Sufyan bin Umayah, Sa’id bin Salim Al-Qidah, Daud bin Abdurrhaman
Al-Athar, dan Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abu Daud.
Dan diantara guru-gurunya di Madinah antara lain: Malik bin Anas (Imam
Malik), Ibrahim bin Sa’ad Al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad Ad-darawardi,
Ibrahim bin Yahya Al-asami, Muhammad bin Sa’id bin Abdu Fadik, dan Abdullah bin
Nafi Ash-Shaigh.
3. Dasar-Dasar
Mazhab Imam Syafi’I
Mazhab Imam
adalah sebagai berikut:
a. Al-qur’an:
Alqur’an merupakan sumber pokok huku islam sampai akhir zaman.
b. Hadits; Sumber kedua dalam
menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an,
maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an.
c.
Ijma’ Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum
setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW
seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum
dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.
d.
Qiyas
e.
Istishab; Istishhab secara bahasa adalah
menyertakan, membawa serta dan tidak melepaskan sesuatu.
4.
Pendirian Imam
Syafi’I terhadap Taqlid
Beliu selalu member
peringatan terhadap murid-muridnya agar tidak begitu saja menerima apa-apa yang
disampaikan oleh beliau samapikan dalam masalah agama, yang tidak ada nashnya
dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Diantara nasiat
beliau tentang talid buta, beliau pernah berkata kepada muridnya yaitu Imam
Ar-Rabi : “Ya Abi Ishak, janganlah engkau bertaklid kepadaku, dalam
tiap-tiap yang apa aku atinga, dan pikirkanlah benar-benar bagi dirimu sendiri
karena ia adalah urusan agama”.
Dari pernyataan
tersebut di atas kiranya cukup jelas pendapat imam Syafi’I tentang taklid buta
sungguh beliau melarang taklid buta kepada beliau dan kepada para ulama lainnya
dalam urusan hokum-hukum agama.
D.
IMAM IBNU
HANBAL
1. Kehidupan Ibnu
Hanbal
Ibnu hanbal
lahir pada tahun 164 hijriyah di Baghdad setelah ibunya membawanya pindah
keyika ia masih dalam kandungan dari kota marwa tempat tinngal ayahnya kekota
bagdad.
Ia adalah Abu
aabdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin
Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasit bin Mazin bin
Syaiban Al-Marwazi lalu Al-Baghdadi, nasab ibnu hanbal sampai kepada rasulullah
saw, pada Nizar bin Ma’ad bin Adnan.
Penisbatan Inbu
Hanbal yang terkenal adalah kepada kakeknya Hanbal, maka orang-orang mengatakan
Ibnu Hanbal.
2. Pendidikan Ibnu
Hanbal
Ibnu Hanbal
hafal Al-Qur’anul Karim, mempelajari Ilmu Bahsa, dan belajar membaca dan
menulis di diwan (tempat belajar dan menulis). Ibnu Hanbal pertama kali belajar
kepada Abu yusuf Ya’kub bin Ibrahim Al-Qadhi, murid abu hanifah kepadanya ia
belajar hadist dan fiqih, karenanya Abu Yusuf dikenal sebagai guru pertama Ibnu
Hanbal.
Namun pengaruh
Abu Yusuf tidak begitu kuat tertanam dalam jiwa Ibnu Hanbal sehingga ada yang
berpendapat bahwaa Abu Yusuf bukan guru pertamanya. Sementara guru pertamanya
adalah Hasyim bin Basyir bin Kazim Al-Wasiti, karena ia adalahguru yang palin
kuat pengaruhnya kepada Inbu Hanbal, Ibnu Hnbal berguru kepadanya selama empat
tahun.
Disela-sela
berguru kepada Hasyim, Ibnu Hanbal juga berguru kepada Umair bin Abdullah
bin Khalid, Abdurrahman bin Mahdi, dan Abu bakar bin Iyasy. Imam Syafi’I adalah
salah satu guru dari Ibnu Hanbal, bahkan ada yang mneganggap bahwa Syafi’I
merupakan guru kedua dari ibnu hanbal setelah Hasyim. Muhammad bin ishaq bi
Khuzaimah mangatakan “Ahmad bin Hanbal tidak lain hanyalah merupakan salah
satu pelayan Syafi’I”. ia juga berguru kepada Ibrahim bin Sa’ad, Yahya
Al-Qathan, Waki’ juga berguru kepada Sufyan bin Uyainah (pengganti Imam Malik).
3. Dasar-Dasar
Mazhab Imam Ibnu Hanbal
Mazhab Imam
Ibnu Hanbal adalah sebagai berikut:
a. Al-qur’an dan
Hadits:
yakni beliau jika telah mnemukan nahs dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits maka
beliau tidak memperhatikan dalil-dalil yang lain dan juga kepada pendapat para
sahabat yang menyalahinya.
b. Fatwa Shahaby: yaitu ketika
beliau tidak mendapatkan nash dan beliau mendapati suatu pendapat yang
tidak diketahuinya bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau berpegang
kepada pendapat ini, dengan tidak memenadang bahwa pendapat itu merupakan
ijma’.
c. Pendapat Sebagian Sahabat yaitu mengambil
pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, terrkadang beliau
tidak memberikan fatwa jika tidk memperoleh Pentarjih atas suatu
pendapat.
d. Hadits Mursal
atau Da’if:
Mursal menurut bahasa merupakan isim maf’ul yang berarti dilepaskan.
Sedangkan hadits mursal menurut istilah adalah hadits yang gugur perawi dari
sanadnya setelah tabi’in. Seperti bila seorang tabi’in mengatakan,”Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda begini atau berbuat begini”.
e. Qiyas: akan dipakai
jika benar-benar tidak ada ketentuan-ketentuan hukumnya dari poin a-d tersebutd
di atas, namun Qiyas ini mendapat posisi yang kecil dalam penentuan Hukum (pada
masa tersebut), namun tidak menutup kemunkinan Qiyas akan menjadi penting di
masa yang akan datang.
4. Pendirian Imam
Ibnu Hanbal terhadap taklid
Imam Ibnu
Hanbal merupakan seorang ahli sunnah dan ahli Atsar, dan beliau sangat keras
terhadap penggunaan ra’yu, maka demikian Imam Ibnu Hanbal pailng keras terhadap
taqlid buta dan orang yang bertaqlid terhadap urusan agama. Pendirian beliau
yang seperti itu dapat dibuktikan dengan ucapannya yang beliau sampaikan kepada
salah atu muridnya seperti Imam Abu Dawud pernah mendengar bahwa Imam Ibnu
Hanbal Berkata “janganlah engkau bertaqlid kepada saya, Imam Malik, Imam
Syafi’I, dan janganlah pula kepada Tsauri tetapi ambillah olehmu darimana
mereka Itu mengambil”. Dari perkataan beliau, jelas ras terhadap beliau
melarang keras terahadap taqlid, dan beliau memerinntahkan supaya orang
mengambil segala sesuatu dari sumbber yang telah mereka ambil (para Imam).
DAFTAR PUSTAKA
Terjemahan
Tarikh Tasyri’
As-sayis, Syekh Muhammad Ali, Pertumbuhan dan
Perkembangan Hukum Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995
Jaih Mobarok, Kodifikasi
hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Muh, Dr. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah,
PT. Raja Grafindo Husada, 1996. Cet. 1
Prof. Dr. H.
Suparman Usman, S.H, Hukum Islam, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002 )
0 komentar:
Posting Komentar