PEMBAHASAN
فصل
في صلاة الجماعة
“Shalat Jama’ah”
Oleh : M. Irsyad
Syaikh Abu Syujak berkata :
فصل :
وصلات الجماعة سنة مؤكدة، وعلى المأموم أن ينوي الجماعة دون الإمام.
Fashl : “Shalat jama’ah itu hukumnya sunnah
muakkadah. Bagi makmum wajib niat berjama’ah, sedangkan bagi imam tidak wajib”.
Untuk jama’ah shalat jum’at hukumnya fardhu a’in.
Adapun selain dari shalat jum’at ada beberapa khilaf. Yang shahih menurut imam
Rafi’i hukum berjama’ah adalah sunnah, sementara qaul lain yang dishahihkan
oleh Imam Nawawi mengatakan hukum dari jama’ah adalah fardhu kifayah. Disini
terdapat beberapa hujjah (dalil) baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah, yang menjadi
landasan dalam ijma’ ulama, diantaranya :
1.
Dari Al-Qur’an surat An-Nisa’
ayat 102 dan seterusnya, yang berbunyi :
وإذا
كنت فيهم فأقمت لهم الصلاة، فلتقم طائفة منهم معك. (سورة النساء : 102)
“Jika berada
dilingkungan kaum muslim, kemudian engkau mendirikan shalat, hendaklah sebagian
kaum muslim mendirikan shalat bersamamu”. (QS. An-Nisa’ : 102)
2.
Hujjah ulama’ yang mengatakan
bahwa shalat jama’ah hukumnya sunnah, yakni dari hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibnu ‘Umar, yang berbunyi :
صلاة
الجماعة أفضل من صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة. (رواه الشيخان)
“Shalat jama’ah
itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 27 derajat”. (HR. Imam
Bukhari dan Imam Muslim dari Ibnu ‘Umar)
3.
Hujjah ulama’ yang mengatakan
bahwa shalat jama’ah hukumnya fardhu kifayah, yakni dari sabda Rasulullah SAW
yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Imam Ahmad, An-Nas’I, Ibnu Hibban, dan
Al-Hakim dari Abu Darda’, yang berbunyi :
مامن
ثلاثة في قرية أو بدو لاتقام فيهم الصلاة إلا استحوذ عليهم الشيطان، فعليكم
بالجماعة، فإنما يأكل الذئب من الغنم القاصية.
“Tiap-tiap tiga
orang dalam desa atau pelosok desa yang tidak adanya didirikan shalat jama’ah
di dalamnya, mereka pasti dikuasai syetan. Oleh karena itu, berjama’alah kamu
sekalian, sebab srigala itu akan memangsa kambing yang jauh dari
kawan-kawanya”.
4.
Hujjah ulama’ yang mengatakan
bahwa shalat jama’ah hukumnya fardhu a’in, yakni dari sabda Rasullah SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, yang berbunyi :
لقد
هممت أن آمر بالصلاة فتقام، ثم آمر رجلا فيصلي بالناس، ثم أنطلق مع رجال معهم حزم
من حطب إلى قوم لايشهدون الصلاة فأحرق عليهم بيوتهم بالنار. (رواه
الشيخان)
“Sungguh aku
mempunyai kehendak yang kuat untuk memerintahkan shalat supaya diiqomahkan,
lalu aku memerintahkan seseorang utuk mengimami para muslimin, kemudian aku
bersama beberapa orang yang membawa longgokan kayu bakar kepada orang-orang
yang tidak mendatangi shalat jama’ah, kemudian aku akan membakar rumah-rumah
mereka dengan api”.
(HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Dari jawaban sebagian ulama’ yang
tidak menghukumi fardhu a’in menukil pendapat ulama’ yang menghukumi fardhu
a’in dengan landasan hadits diatas, bahwasannya Nabi SAW itu tidak membakar
rumah-rumah mereka, melainkan sabda Nabi SAW itu ditujukan kepada orang-orang
yang munafiq.
Ketahuilah, bahwa shalat jama’ah
itu terlaksana dengan mengerjakan di rumah yakni berjama’ah bersama istri atau
dengan orang lain. Tetapi, yang lebih utama adalah berjama’ah di masjid.
Apabila terdapat banyak masjid, maka masjid yang banyak jama’ahnyaitulah yang
lebih utama. Jadi, seandainya terdapat banyak diantaranya masjid dekat yang
hampir sedikit jama’ahnya, sedangkan di masjid yang jauh terdapat banyak
jama’ahnya, maka jama’ah di masjid yang jauhlah itu yang lebih utama. Kecuali
dalam dua hal ; Pertama, apabila yang jama’ah di masjid dekat itu
kosong, karena pindahnya orang yang jama’ah ke masjid yang jauh. Kedua,
apabila imam di masjid yang jauh itu adalah seorang ahli bid’ah I’tiqadiyyah
(dalam permasalahan keyakinan), misalnya orang mu’tazilah yang menjadi imam
atau imam di masjid yang dekat itu seorang yang berbeda madzhab seperti madzhab
hanafi, maliki, dan lain-lain. Diperbolehkan berjama’ah kepada imam yang
berbeda madzhab dan shalatnya tetap sah.
Seandainya, makmum masbuq
mendapatkan imam sebelum imam itu salam, maka ia dapat memperoleh fadhilah
jama’ah menurut qaul yang shahih yang dipastikan oleh jumhur ‘ulama’, sebab ada
sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan isnadnya yang tidak
dianggap lemah. Tetapi, dalam isnad hadits ini terdapat Yahya bin Abu Salman
Al-Madani (dari sini Imam Bukhari berkata bahwa Yahya bin Abu Salman adalah
munkar haditsnya. Sementara itu, Ibnu Hibban berkata bahwa Yahya bin Abu Salman
adalah Tsiqqah / dapat dipercaya). Dimana hadits tersebut berbunyi :
إذا
جاء أحدكم الصلاة ونحن سجود فاسجدوا ولاتعدوها شيئا، ومن أدرك الركوع فقد أدرك
الركعة.
“Apabila salah seorang diantara
kamu sekalian datang utuk berjama’ah shalat dan kami sedang sujud, maka ikut
sujudlah kamu sekalian. Dan jangan kamu hitung sebagai satu raka’at, dan barang
siapa yang mendapatkan ruku’ imam, maka jelaslah ia mendapatkan satu raka’at”.
Imam Ghazali berkata, tidak dapat
melakukan jama’ah, bilamana tidak mendapatkan satu raka’at. Imam Nawawi
mengatakan dalam kitab Ar-Roudhoh, bahwasannya pendapat Imam Ghazali tersebut
menyendiri lagi (dha’if). Dan Imam Nawawi berkata, apa yang dikatakan oleh Imam
Ghazali itu dipastikan dari Al-Furani. Syaikh Al-Jili dan Al-Qadhi Husain dari
sebagian besar ulama’ Madzhab Syafi’I menukil yang menjadi arti perkataan Imam
Ghazali itu dari kaum Marwazi. Jadi, dari sinilah banyak beberapa pendapat yang
menjelaskan tentang jama’ahny makmum masbuq kepada imam yang sudah melakukan
tasyahhud akhir. Adapun makmum masbuq mendapatkan imam dalam keadaan ruku’,
apakah makmum itu mendapatkan satu raka’at ? Qaul yang shahih yang dipegangi
oleh para ulama’ dan disepakati oleh para imam seperti Al-Mawardi, Imam Nawawi,
Imam Rafi’I dan lain-lain adalah sebagaimana yang dikatakan dalam kitab
Ar-Roudhoh bahwasannya makmum itu mendapatkan satu raka’at. Sedangkan, Ibnu
Khuzaimah dan As-Sibghi dari segolongan ulama’ Al-Mawardi mengatakan,
bahwasannya tidak mendapatkan satu raka’at. Imam Bukhari berkata, yang
membolehkannya mendapatkan satu raka’at, karena tidak ada perselisihan dari
ulama’ yang berpendapat kewajiban membaca Al-Fatihah bagi orang yang shalat
dibelakang imam. Apabila, terdapat ulama’ yang berpendapat akan kewajiban
membaca Al-Fatihah terhdap makmum, maka makmum tersebut tidak memperoleh
raka’at, meskipun dalam keadaan ruku’. Dari pendapat Ibnu Rif’ah dari kitab
Syara Al-Muhadzdzab, bahwasannya orang yang lalai terhadap takbirnya hingga
makmum ruku’, maka ia tidak memperoleh raka’at (walaupun ia mendapatkan imam
dalam keadaan ruku’. Ar-Ruyani meriwayatkan, bahwa makmum dapat memperoleh
raka’at dari ruku’ imam, dengan syarat jika imam itu baligh. Tetapi, Ar-Ruyani
menganggap salah dari pendapatnya itu. Kemudian apabila kita mempercabangkan
hukum dapat memperoleh raka’at dengan dua syarat ; Pertama,
hendaklah ruku’ imam itu dianggap sah, jika ruku’ imam itu tidak sah, maka
otomatis makmum tidak memperoleh raka’at. Semisal imam dalam keadaan hadats
ataupun najis. Kedua, makmum harus tuma’ninah sebelum imam bangun
dari sekurang-kurangnya ruku’, sebab ruku’ tanpa tuma’ninah dianggap tidak sah.
Oleh karena itu, ketiadaan tuma’ninah dalam ruku’ berarti tidak ada ruku’. Syarat
ini dikemukakan oleh Imam Rafi’I dan Imam Nawawi. Sedangkan, Ibnu Rif’ah
mengatakan bahwa jelas pendapat para imam yakni tuma’ninah tidak menjadi
syarat.
Seandainya makmum mendapatkan
imam di dalam keadaan bangun dari ruku’, maka jelas makmum itu tidak memperoleh
raka’at tanpa adanya khilaf, dan wajib mengikuti imam di dalam rukun yang lain.
Seandainya makmum mendapatkan imam di dalam keadaan tasyahhud akhir, maka Imam
Nawawi dalam kitab Ar-Roudhoh yakni makmum wajib mengikuti imam dalam duduknya
dan makmum tidak wajib membaca tasyahhud. Menurut qaul yang shahih dimana telah
dinash oleh Imam Syafi’I yakni sunnah membaca tasyahhud. Sedangkan, Al-Mawardi
menukil dari pendapat Imam Nawawi bahwa hukumnya wajib membaca tasyahhud,
dikarenakan makmum telah berniat untuk mengikuti imam, maka ia wajib mengikuti
imam. Wallahu-a’lam.
Selanjutnya, salah satu syarat
akan kesuksesan sholat jama’ah yakni makmum wajib berniat mengikuti imam
beserta takbir. Atau makmum cukup berniat dengan niat mengikuti imam yang
didepannya, meskipun ia tidak tahu (tidak mengenal) orang yang diikutinya. Jika
makmum tersebut niat mengikuti imam dengan menyebutkan namanya, maka apabila
makmum tersebut benar dalam menyebutkan namanya maka shalat jama’ahnya sah.
Tetapi apabila makmum salah maka batallah shalatnya. Sebagaimana apabila
seseorang menentukan mayit pada waktu shalat jenazah dan ternyata dari ketentuan
tersebut dia salah, maka tidak sah shalat jenazahnya. Dengan demikian, ketidak
sahan shalat jama’ah yang dilakukan oleh makmum masbuq tersebut disebabkan
ketidak adanya isyarat yang diberikan oleh makmum. Jika makmum masbuq itu
berniat mengikuti gerakan imam, maka batallah shalatnya, menurut qaul yang
shahih. Jika makmum ini ragu di tengah-tengah shalat dalam hal demikian, maka
dilihat terlebih dahulu apabila makmum ini mengetahui sebelum ia mengikuti
imam, maka tidak batal shalatnya. Tetapi, apabila ia mengetahuinya setelah ia
mengikuti imam, maka batallah shalatnya.
Syaikh Abu Syujak berkata :
ويجوز
أن يأتم الحر بالعبد والبالغ بالمراهق.
“Orang yang merdeka boleh
bermakmum kepada budak (hamba) dan orang baligh boleh bermakmum kepada anak
yang murahhiq (anak yang hampir dewasa)”.
Hujjah (dalil) yang dijadikan
landasan hukum dalam diperbolehkannya orang yang merdeka bermakmum kepada budak
(hamba) yakni tertulis dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,
bahwasannya Siti Aisyah RA berkata :
كان يؤمها عبدها ذكوان.
“Aisyah RA
pernah diimami oleh budaknya yang bernama Dzakwaan”.
Tetapi, yang lebih utama bagi
orang yang merdeka bermakmum kepada orang yang merdeka, sebab kedudukan menjadi
imam itu suatu kedudukan yang mulia. Sah shalatnya apabila ummi bermakmum
kepada imam yang ummi, dikarenakan hal ini sama dengan bermakmumnya wanita
kepada imam wanita. Adapun bolehnya bermakmum kepada anak kecil. Seperti halnya
‘Amr bin Salamah RA yang mengimami kaumnya pada masa Rasulullah SAW dan ketika
itu ia baru berumur enam atau tujuh tahun. Dan hadits ini diriwayatkan oleh
Imam Bukhari. Tetapi, yang lebih utama orang yang baligh daripada anak-anak,
meskipun anak tersebut lebih pandai tentang masalah agama atau lebih banyak
hafal ayat-ayat Al-Qur’an, dikarenakan orang yang baligh ini telah disepakati
oleh banyak ulama’ yakni shalatnya orang yang baligh adalah wajib atas dirinya,
jadi itu salah satu sebab akan kuatnya orang yang baligh dalam menjaga
aturan-aturan shalat. Pendapat Imam Rafi’I itu menunjukkan bahwa anak kecil
menjadi imam tidak makruh. Tetapi, di dalam kitab Al-Buwaithi, secara jelas
diterangkan akan kemakruhannya.
Syaikh Abu Syujak Berkata :
ولايأتم
رجل بإمرأة ولاقارئ بأمي.
“Laki-laki tidak boleh makmum
kepada wanita atau orang yang tidak dapat membaca Al-Fatihah (orang yang ummi).
Ketidak sahan akan laki-laki yang
bermakmum kepada seorang wanita, yakni berdasarkan firman Alloh SWT dalam QS.
An-Nisa’ ayat 34, yang berbunyi :
الرجال
قوامون على النساء. (سورة النساء : 34)
“Laki-laki menguasai atas
wanita”. (QS.
An-Nisa’ : 34)
Wanita itu aurat dan wanita yang
mengimami laki-laki itu mengandung fitnah. Yang berdasarkan akan sabda
Rasulullah SAW yang berbunyi :
أخروهن من حيث أخرهن الله.
“Tempatkanlah olehmu sekalian
wanita-wanita itu di belakang, karena Alloh SWT menempatkan mereka di
belakang”.
Berdasarkan sabda Rasulullah SAW
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, hanya saja pada rawinya terdapat yang cacat,
dimana hadits tersebut berbunyi :
ألا لا تؤمن إمرأة رجلا.
“Ingatlah! Jangan sekali-kali
wanita mengimami laki-laki”.
Sebagai ulama’ yang lain
berlandasan dalil dari sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari, An-Nasa’I, At-Tirmidzi, dan Imam Ahmad bin Hanbal dari Abu Bakrah,
yang berbunyi :
لن يفلح قوم ولوا أمرهم إمرأة.
“Tidak ada bahagia bagi kaum yang
menguasakan perkaranya kepada wanita”.
Adapun ikutnya orang yang bisa
membaca Al-Fatihah kepada orang yang ‘Ummi, tentang kesahannya ada dua qaul
yang berpendapat, qaul jaded yang adzhar, tidak sah shalatnya, berdasarkan
sabda Rasulullah SAW, yang berbunyi :
يؤم القوم أقرؤهم.
“Kaum yang shalat harus diimami
oleh orang yang lebih baik bacaannya”.
Selain baik bacaanya, imam juga
bisa mempertanggung jawabkan atas bacaan Al-Fatihah makmum, jika makmum
tersebut adalah makmum masbuq yang mendapatkan raka’atnya dari ruku’ imam.
Sedangkan, orang yang ummi tidak bisa mempertanggung jawabkan akan Al-Fatihah
makmum masbuq. Beberapa orang yang tergolong sebagai orang yang ummi antara
lain ; Pertama, orang yang arat yakni orang yang mengidghamkan
suatu huruf dengan huruf yang lain pada tempat yang tidak idgham(orang yang
sengau). Kedua, orang yang altsagh yakni orang yang menggantikan
suatu huruf dengan huruf yang lain. Ketiga, orang yang berlidah
ampang yang tidak bisa mengucapkan tasydid.
Syaikh Abu Syujak berkata :
وأي
موضع صلى في المسجد بصلاة الإمام فيه وهو عالم بصلاته أجزأه مالم يتقدم عليه.
“Ditempat mana saja seseorang itu
shalat dengan mengikuti imam di dalam masjid. Maka ia harus mengetahui shalat
imam, dan shalatnya juga tidak terlalu ke depan dari imam”.
Ketahuilah, bahwasannya sah
shalatnya mengikuti imam itu, dengan dibutuhkannya beberapa syarat :
1.
Harus mengetahui shalat imam,
yakni mengetahui gerakan imam dengan jelas. Syarat tersebut syarat yang harus
ada dan hal ini telah din ash oleh Imam Syafi’I dan telah di sepakati oleh
ulama’-ulama’ yang bermadzhab syafi’i. Pengetahuan makmum terhadap imam itu
adakalanya melihat imam, melihat shaf, mendengarkan suara imam, atau mendengar
suara muballigh (orang yang menyampaikan suara imam). Seandainya muballigh
tersebut anak-anak. Maka, Syaikh Abu Muhammad mengatakan dalam Al-Furuq dan
Ibnu Ustadz dalam kitab Syarah Al-Wasith, bahwa syarat dari muballigh harus
tsiqah (dapat dipercaya). Tetapi, Imam Nawawi di dalam kitab Syarah
Al-Muhadzdzab mengatakan dalam bab adzan, bahwa jumhur ulama’ mengatakan boleh
menerima berita dari anak kecil dalam hal mengetahuinya secara langsung.
Seperti menunjukkan orang buta kea rah kiblat dan lain-lain.
2.
Makmum harus tidak berada di
tempat yang paling depan dari tempat berdirinya imam. Salah satu contoh
orang-orang yang bermakmum kepada Nabi Muhammad SAW, yang tidak pernha diriwayatkan
bahwa mereka itu berada di depan Nabi Muhammad SAW. Jadi, apabila makmum berada
di depan imam, maka batallah shalatnya, menurut qaul jaded. Sebagaimana makmum
mendahului imam dalam gerakan imam atau takbiratul ihram. Maka makmum tersebut
lebih buruk dari hal yang menyelisihi imam. Meskipun makmum tersebut maju ke
depan imam pada saat ditengah-tengah shalat, maka jelaslah batal shalatnya
disebabkan adanya penyelisihan terhadap imam. Untuk batasan orang berdiri dalam
hal berdiri yang tidak sampai berdirinya imam yakni tumit (bagian belakang
kaki) imam. Kemudian untuk batasan orang yang shalat dengan duduk yakni
punggungnya. Dan batasan bagi orang yang shalat dengan cara tidur miring yakni
lambungnya. Terkecualikan bagi orang yang shalat dikeliling ka’bah,
diperbolehkan shalat di dekat ka’bah asalkan berada di arah lain selain arah
imam, menurut qaul yang rajah yang sudah dipastikan.
Apabila anda telah mengetahui apa
yang saya terangkan itu, maka keadaan makmum dan imam ada tiga macam,
diantaranya ; Pertama, makmum dan imam berada di luar masjid. Kedua,
imam berada di dalam masjid dan makmum berada di luar masjid. Ketiga, keduanya
berada di dalam masjid yang menurut mushannif diperbolehkan. Dari syarat yang
pertama dan syarat yang kedua sesuai yang dikatakan si mushannif “dan makmum
harus mengetahui gerakan imam selama tidak berada di depan imam”. Apabila
makmum dan imam berhimpun dalam satu masjid atau dalam masjid jami’, maka sah
ikutan makmum masbuq kepada imam tersebut, baik saf antara makmum dan imam itu
terputus maupun bersambung, baik keduanya ada sesuatu yang menghalangi maupun
tidak, keduanya berkumpul dalam satu tempat maupun tidak, sehingga andai kata
imam berada diatas menara tempat adzan dan makmum berada didalam sumur, atau
sebalikya, maka sah ikutannya sebagai makmum, karena ditempat itu adalah tempat
yang satu, yang mana tempat yang satu itu adalah (masjid) dan dibangun untuk
shalat. Seandaiya didalam masjid itu terdapat sungai, dan tidak dapat
menyeberanginya kecuali orang orang yang dapat berenang, apakah sungai itu
dapat menghalangi ikutnya makmum kepada imam? Ar-ruyani berkata bahwa tidak
dapat menghhalangi tanpa ada khilaf, walaupun dalam hal sebanding dengan
masalah ini terdapat khilaf, yaitu dalam hal bumi mati (tanah yang tak
bernyawa)-(mawar). Al-Qadhi Husain mengatakan bahwa jika sungai itu digali
setelah masjid didirikan, maka sungai tersebut tidak mencegah. Dan jika
penggalian tersebut setelah masjid berdiri maka tidak boleh. Sedangkan, jika
sungai itu digali sebelum masjid didirikan, ada dua wajah ; Imam Rafi’I dalam
kitab Syarah Ash-Shagir, berkata bahwa dalam kata-kata Abu Muhammad, seandainya
di sebelah masjid terdapat masjid yang lain yang menyendiri dengan imam,
jama’ah atau mu’adzdzin, maka hukumnya dinisbatkan kepada masjid yang kedua,
bagaikan hak milik yang bersebelahan dengan masjid. Imam Nawawi mengatakan
dalam kitab Ar-Roudhoh dan Syarah Al-Muhadzdzab, yang benar ialah apa yang
diterangkan oleh kebanyakan ulama’ seperti Syaikh Abu Hamid dan yang mempunyai
kitab Asy-Syamil dan kitab An-Tanbih dan lain-lain, bahwasannya beberapa masjid
yang pintu-pintunya berhubungan satu dengan yang lain adalah hukumnya sama
dengan satu masjid.
Sayikh Abu Syujak berkata :
وإن
صلى الإمام في المسجد والمأموم خارج المسجد قريبا منه وهو عالم بصلاته ولا حائل
هناك جاز.
“Apabila imam shalat di dalam
masjid dan makmum shalatnya berada di luar masjid yang berdampingan dengan
masjid itu dan makmum mengetahui shalat imam serta tidak ada unsure yang
menghalanginya maka hukumnya boleh”.
Keadaan imam dan makmum yang
kedua (masbuq) adalah tatkala imam berada di dalam masjid dan makmum berada di
luar masjid, diantara kedua tersebut tidak ada unsure yang menghalanginya, maka
shalat makmum tersebut sah dengan syarat jaraknya tidak melebihi dari tiga
ratus dzira’ (hasta). Jarak tersebut dihitung dari akhir masjid (shaf yang
paling belakang), menurut qaul ashah. Oleh karena itu, ruangan yang terpisah
dari masjid tidak termasuk batas. Gambaran dari permasalahan tersebut
dikemukakan dalam kitab asal Ar-Roudhah, yaitu makmum berdiri ditanah yang
kosong yang berdampingan dengan masjid. Imam Nawawi menggambarkan permasalahan
ini dalam kitab Al-Minhaj dengan hal bumi mati dan tidak mensyaratkan akan keharusan
berdampingan dengan masjid. Maksud dari hal tersebut Imam Nawawi
mengemukakannya dalam kitab Ar-Raudhah yang berbunyi seandainya makmum berdiri
dijalan umum dan yang berdampingan dengan masjid, maka hukumnya sama dengan
hukum bumi mati, menurut qaul yang shahih. Sedangkan, Ibnu Rif’ah memberlakukan
akan ketiadaan syarat yang harus berdampingan. Tetapi, seandainya tanah kosong
yang digunakan oleh si makmum itu adalah salah satu hak yang dimiliki, apakah
bisa dikatakan hukumnya sama dengan bumi mati
atau tidak ? Pendapat Al-Baghawi bahwa tidak sah jama’ahnya, jika
shaf-shafnya tidak bersambungan. Semua yang telah disebutkan di samping,
apabila tidak yang menghalangi. Tetapi, jika masjid itu berdinding, maka
dilihah terlebih dahulu. Jika terdapat pintu yang terbuka dan terdapat makmum
yang berdiri setentang dengan pintu itu (baik shafnya bersambung atau shafnya
sampai keluar dari arahnya), maka hukumnya boleh artinya sah mengikuti imam.
Tetapi, apabila masjid itu tidak berpintu (berpintu tetapi di kunci atau tidak
makmum yang berdiri setentang dengan pintu atau juga pintu itu hanya ditutup
dan makmum dapat mengetahui gerakan imam tersebut dari jendela tersebut). Maka
menurut qaul yang shahih yang diberlakukan oleh jumhur ulama’, bahwasannya
tidak sah bagi makmum mengikutinya. Sedangkan menurut Al-Baghawi dalam kitab
Al-Fatawa seandainya pintu itu terbuka tatkala makmum takbiratul ihram, dan
tiba-tiba pintu itu tertutup di tengah-tengah shalat, maka dalam hal ini tidak
dipermasalahkan hukumnya tetap boleh mengikuti imam tersebut.
Apabila imam dan makmum berhimpun
ditempat selain masjid yakni tanah kosong (seperti lapangan dan lain
sebagainya). Maka boleh mengikutinya dengan syarat jarak antara makmum dengan
imam itu kurang lebih dari tiga ratus dzira’ (hasta), menurut qaul yang shahih
disebabkan keduanya berhimpun menurut adat kebiasaan. Dan apabila makmum dan
imam itu tidak mendirikannya di tanah kosong, semisal imam ada di pekarangan
rumah dan makmum berada di teras rumah atau kamar rumah. Maka dalam permasalahan
ini terdapat dua qaul ; yang pertama menurut ulama’-ulama’ Marwazi dan
yang telah dibenarkan oleh Imam Rafi’I bahwasannya jika bangunan tersebut
terletak di kanan atau di kiri imam, maka disyaratkan shafnya harus
bersambungan. Dan apabila ulama’-ulama’ Marwazi mensyaratkan shafnya harus
bersambungan, maka harus ada orang yang melengkapi shaf tersebut. Tetapi,
menurut qaul yang kedua jika bangunan yang ditempati oleh makmum
tersebut berada di belakang dari bangunan yang ditempati shalat imam, maka menurut
qaul yang shahih sah mengikutinya, sebab kebutuhan ikut di belakang imam itu
masih berlaku.
Perhatian
Kedudukan shaf-shaf makmum yang
berdiri di sebelah pintu, bagaikan orang-orang yang bermakmum kepada makmum
itu. Jadi, apabila ada makmum masbuq atau orang-orang yang berada di shaf-shaf
itu, maka tidak boleh berada di depan makmum tersebut meskipun dia telah berada
di belakang imam.
Syarat-syarat keabshahan ikutnya makmum terhadap imam yakni selama
antara imam dan makmum ada ketetapan arah, semisal imam shalat di teras yang
tinggi dan makmum shalat di dataran rendah. Dan seandainya antara makmum dan
imam ini berada di lautan, semisal imam shalat di atas perahu dan makmum shalat
di perahu yang lain, yang mana keduanya tersebut terbuka terpencar. Maka,
menurut qaul yang shahih, ikutannya itu sah asalkan tidak melebihi dari tiga
ratus dzira’.
Refrensi Utama : Kitab Kifayatul Akhyar
0 komentar:
Posting Komentar