PEMBAHASAN
فصل
والمتروك من الصلاة
“Sujud Syahwi”
Oleh : Zaenal Abidin
Syaikh Abu Syujak berkata :
فصل :
والمتروك من الصلاة ثلاثة أشياء : فرض وسنة وهيئة فالفرض لاينوب عنه سجود السهو،
بل إن ذكره والزمان قريب أتى به وبنى عليه وسجد للسهو.
“Hal-hal yang ditinggalkan dalam shalat
ada tiga macam, yaitu fardhu, sunnah, dan haiah. Maka yang fardhu tidak dapat
diganti dengan sujud syahwi, tetapi jika seseorang teringat terhadap fardhu
yang ditinggalkannya itu dan masanya baru sebentar, maka ia boleh mendatangi
fardhu yang tertinggal itu dan meneruskan shalatnya serta sujud syahwi”.
Sujud sahwi disyari’atkan karena adanya cacat yang
terjadi dalam shalat, baik fardhu maupun shalat sunnah. Ada suatu qaul yang
mengatakan sujud syahwi tidak disyari’atkan dalam shalat sunnah. Kemudian
batasan sujud sahwi ada kalanya seperti menambah berdiri, rukuk, atau sujud
selain pada pada tempatnya karena lupa atau karena meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan, seperti meninggalkan ruku’, sujud, berdiri, meninggalkan Al-Fatihah
yang wajib atau meninggalkan tasyahud yang wajib. Orang yang mengalami demikian
itu, dianjurkan melakukan sujud syahwi setelah menyusulkkan perbuatan yang di
tinggalkannya itu.
Jika ia teringat hal yang ditinggalkannya itu, dan
ia masih di dalam keadaan shalat, maka ia harus mengganti apa yang telah ia
tinggalkan itu dan menyempurnakan shalatnya. Jika ia teringat setelah salam,
maka dilihat dulu. Jika waktunya belum lama, ia boleh menyusulkannya dengan
sujud syahwi, menurut qaul yang shahih. Jika masanya telah lama, maka ia wajib
mengulangi shalatnya lagi, tidak boleh hanya mengganti tentang apa yang
ditinggalkan itu dan meneruskan shalatnya, sebab urutan tartib shalat berubah
karena lama perceraiannya.
Tentang batasan lama itu, ada qaul bagi imam Syafi’I,
yang lebih jelas dan telah di nash oleh imam Syafi’i dalam kitab al-umm, bahwa
ukuran lama itu menurut kebiasaan. Qaul yang lain yang dan telah din ash dalam
kitab al-bauwaithi, yang dinamakan perceraian yang lama itu adalah masa yang
melebihi satu raka’at dalam shalat. Jadi, kedudukan masalah itu terletak pada
orang yang meyakini rukun yang ditinggalkannya. Apabila seseorang itu telah
salam shalatnya kemudian ia ragu-ragu terhadap apa yang telah ia tinggalkan,
menurut mazhab yang shahih ia tidak berkewajiban apa-apa dan shalat yang ia
kerjakan sah, sebab pada dzahirnya ia tlah menunaikan shalatnya dengan
sempurna. Datangnya keraguan itu memang sering terjadi, apalagi apabila
waktunyapun telah lama. Yang demikian itu tentu merumitkan, sedangkan dalam
agama tidak ada permasalahan apa pun. Yang demikian itu berbeda datangnya
keraguan di dalam shalat, orang yang ragu di dalam pelaksanaan shalat, harus
melanjutkan shalatnya ddengan dasar yakin. Jadi, jika orang itu ragu di
tengah-tengah shalatnya, apakah telah melaksanakan shalat tiga raka’at atau
empat raka’at, ia hartus mengambil yang yakin, yaitu tiga rakaat dan
menambahkannsatu rakaat lagi kemudian sujud syahwi. Kuatnya dugaan bahwa ia
telah shalat empat raka’at tidak bermanfaat baginya dan dalam hal ini
ijtihadnya tidak akan berpengaruh. Yang dijadikan dalil untuk masalah diatas
adalah sabda Nabi Muhammad SAW :
إذا شك
أحدكم في صلاته فلم يدر كَمْ صلى، أثلاثا أم أربعا، فليطرح الشك وليبن على
مااستيقن، ثم يسجد سجدتين قبل أن يسلم. فإن كان صلى خمسا شفعن له صلاته، وإن كان
صلى تمام الأربع كانتا ترغيما للشيطان. (رواه مسلم)
“jika salah seorang diantara kalian ada
yang ragu dalam shalatnya, lalu tidak mengerti telah berapa raka’at shalatnya,
tiga atau empat raka’at, maka buanglah keraguan dan lanjutkanlah shalat menurut
keyakinannya, lalu sujud dua kali sebelum salam. Jika telah shalat lima raka’at
itu, maka raka’atnya dapat menggenapi shalatnya. Dan jika telah sempuna empat
raka’at, maka kedua sujudnya itu dapat menghinakan syaitan (mengecewakan
syaitan)”.
(HR. Muslim)
Syaikh Abu Syujak mengatakan :
والمسنون
لايعود إليه بعد التلبس بغيره، لكنه يسجد للسهو.
“Dan yang sunnat yang ditinggalkan oleh
seseorang yang shalat, tidak boleh diulangi setelah menjalankan yang lain,
tetapi yang meninggalkannya itu hendaklah melakukan sujud syahwi”.
Maksudnya, bahwa shalat mengandung rukun, sunnah
ab’adh, dan sunnah hai’ah. Untuk rukun adalah perkara-perkara yang harus
dilakukan dan batal shalatnya, apabila rukun tersebut ditinggalkan. Sunnah
ab’adh sunnah yang tidak termasuk bagian dari rukun shalat. Sunnah ab’adh ini
boleh diganti dengan sujud syahwi tatkala ditinggalkanya karena terlupa, dalam
permasalahan ini tanpa ada khilaf. Sedangkan, menurut qaul yang rajah apabila
sunnah ab’adh tersebut ditinggalkan dengan cara disengaja dan kesengajaan
tersebut menjadi unsure kecacatan yang lebih besar dalam shalat, maka sujud
syahwi ini yang lebih utama untuk menggantikannya. Sunnah-sunnah aba’dh ini
terdapat enam dalam shalat diantaranya ; (1). Tasyahhud awal (duduk pada
tasyahhud awal), (2). Qunut pada waktu shalat shubuh, (3). Qunut pada akhir
shalat witir di dalam separuh akhir bulan ramadhan, (4). Berdiri untuk qunut,
(5). Sholawat kepada Nabi Muhammad SAW pada tasyahhud awal, (6). Sholawat
kepada keluarga Nabi dalam tasyahhud akhir. Untuk dalil yang dijadikan
landasan dalam hal sujud syahwi ketika meninggal tasyahhud awal yakni hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Buhainah, yang
berkata :
أن النبي
صلعم ترك التشهد الأول ناسيا فسجد قبل أن يسلم.
“Bahwasannya Nabi SAW meninggalkan
tasyahhud awal karena terlupa, lalu beliau sujud sebelum melakukan salam”. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Pada umumnya, sujud syahwi itu hanya ditujukan bagi
qunut shubuh dan qunut sholat witir pada bulan ramadhan. Adapun qunut nazilah,
bagi orang yang meninggalkannya tidak disunnahkan melakukan sujud syahwi,
menurut qaul yang ashah didalam kitab At-Tahqiq. Perbedaan antara qunut shubuh,
ramadhan, dengan qunut nazilah, yakni lebih kuat (kukuh) qunut shubuh dan
ramadhan. Sedangkan, qunut nazilah tidak kuat (tidak kukuh) seperti halnya
qunut shubuh dan ramadhan. Imam Ghazali menganggap adanya ‘illat dalam
menentukan sujud syahwi, yakni dikarenakan meninggalkan enam hal yang telah
disebutkan diatas, dikarenakan enam hal tersebut syi’ar yang nyata yang tentu
di dalam shalat.
Mushannif memperjelas dari perkataannya (dan
diperkokoh oleh pendapat dari Imam Syafi’I dan ulama’-ulama’ yang mengikuti
madzhabnya) yakni tentang “Sunnah yang ditinggalkan oleh mushalli tidak boleh
diulangi setelah dijalankannya yang lain,” semisal jika mushalli telah berdiri tegak
dan ia meninggalkan tasyahhud awal atau juga ketika ia langsung sujud dan ia
meninggalkan qunut, jika permasalahan dalam meninggalkan hal tersebut
dikarenakan lupa dan ia ingat ketika berdiri tegak atau sujud, maka ia tidak
boleh kembali untuk melakukan tasyahhud awal atau qunut. Dan jika ia kembali
dengan sengaja dan tahu tentang hukum keharamannya, maka batal sholatnya
dikarenakan dia telah menambah bilangan dari shalat tersebut. Dan menurut yang
ashah jika ia kembalinya dikarenakan lupa, maka tidak batal shalat. Tetapi,
apabila ia teringat di saat ia dalam keadaan berdiri, maka ia haruslah tetap
dalam keadaan berdiri setelah itu ia harus menyempurnakan itu dengan sujud
syahwi. Tetapi, kalau ia kembali duduk dengan sengaja dan tidak tahu akan
keharamannya, maka menurut qaul yang ashah hukumnya sama dengan orang yang
lupa, yakni sah shalatnya. Dari penjelasan tersebut itu adalah salah satu hukum
yang ditujukan pada orang yang sholat sendirian atau mushalli yang menjadi
imam. Adapun shalatnya orang yang menjadi makmum, semisal imam memasuki rukun
berdiri dan imam juga meninggalkan tasyahhud awal karena lupa, maka makmum
tidak boleh duduk sendirian (tasyahhud awal sendirian) meskipun makmum
mengetahui kalau imam belum melaksanakan tasyahhud awal, jika makmum
melakukannya maka batallah shalatnya. Tetapi, apabila imam kembali duduk untuk
melakukan tasyahhud awal dikarenakan imam lupa, maka makmum tidak boleh duduk
untuk mengikuti imam disebabkan makmum mengetahui kalau imamnya belum melaksanakan
tasyahhud awal, jika ia melakukan hal tersebut maka batallah shalat si makmum.
Tetapi, apabila makmum terlupa maka menurut qaul yang shahih makmum wajib
kembali mengikuti imam, jika ia tidak kembali mengikuti imam, maka batallah
shalat si makmum.
Dari penjelasan di atas menjelaskan panjang lebar
tentang permasalahan yang ditujukan kepada mushalli yang meninggalkan tasyahhud
awal dan bergerak memasuki berdiri secara terlupa. Adapun apabila ia menyengaja
tidak melakukan tasyahhud tersebut, kemudian ia kembali sebelum berdiri tegak
(kembali ketika mendekati berdiri tegak, maka batal shalatnya dan kembali
sebelum mendekati berdiri tegak, tidak batal shalatnya). Wallahu-a’lam.
Setelah kita mengetahui tentang permasalahan tentang
tasyahhud awal, kemudian kami akan menjelaskan tentang permasalahan qunut.
Semisal, imam meninggalkan qunut disebabkan imam tidak meyakini akan kesunnatan
qunut (kaum yang bermadzhab hanafi atau ia lupa untuk melakukan qunut), jika
makmum mengetahui bahwa sekiranya ia qunut tidak dapat mengejar imam dalam
keadaan sujud, maka ia tidak usah qunut. Sedangkan, jika ia mengetahui bahwa
sekiranya ia qunut atau imam tidak mendahuluinya dengan sujud, maka makmum
sunnah melakukan qunut tersebut. Pendapat Imam Rafi’I dan Imam Ghazali memutlakkan
bahwa diperbolehkan bagi makmum untuk melakukan qunut, jika qunutnya itu
sebentar saja, dan dapat mengejar imam. Tetapi, Al-Qadhi Husain mengkiaskan
dengan halnya orang yang shalat shubuh dibelakang imam yang mengerjakan shalat
dzuhur, dan makmumpun mengerjakan qunut, maka batal shalatnya. Dan Ibnu Rif’ah
menjelaskan maksud dari pendapat Al-Qadhi Husain itu yakni hal tersebut
digambarkan tatkala makmum menyelisihi ketertiban shalat imam, itulah yang
mungkin arah permasalahan yang dikemukakan oleh Al-Qadhi Husain.
Wallahu-a’alam.
Syaikh Abu Syujak berkata :
والهيئة
لايعود إليها بعد تركها، ولايسجد للسهو عنها. وإذا شك في عدد ماأتى به من الركعات
بنى على اليقين وهو الأقل، ويسجد له سجود السهو، ومحله قبل السلام، وهو سنة.
“Sunnah Hai’ah, bagi orang yang
meninggalkan sunnah tersebut, maka tidak boleh mengulanginya dan tidak sunnah
untuk melakukan sujud syahwi. Jika seseorang ragu terhadap jumlah bilangan
raka’t yang telah dilakukannya, maka ia harus melanjutkan shalatnya berdasarkan
keyakinannya, yakni mengambil bilangan raka’at yang lebih sedikit, dan karena
keraguannya itu, ia disunnahkan untuk melakukan sujud syahwi. Dan tempat sujud
syahwi terletak sebelum melakukan salam, hukum melakukannya sunnah”.
Yang dimaksud dengan sunnah hai’ah adalah segala
sesuatu yang disunnahkan di dalam shalat, sepert tasbih, takbir, intiqal,
ta’awudz, dan lain sebagainya. Bagi orang yang meninggalkanya maka tidak
disunnahkan untuk menggantikannya dengan sujud syahwi, dikarenakan
meninggalkannya itu bukan dari unsure keterlibatannya dengan shalat (baik
meninggalkannya sengaja atau tidak) berbeda dengan halnya sunnah ab’adh yang
telah dijelaskan didepan. Jadi, dari segi penalarannya adalah sujud syahwi itu
merupakan tambahan di dalam keadaan shalat. Oleh karena itu, tidak boleh
melakukan sujud syahwi apabila tidak adanya perintah dari syar’I, dan perintah
syar’I itu datang dari sunnah ab’adh. Dari Al-Baghawi berpendapat bahwa, “jika
ia melakukan sujud syahwi itu dengan dugaan bahwa hal itu boleh dilakukan, maka
batallah shalatnya. Kecuali bagi orang yang baru masuk islam atau orang awam yang
masih belum mengetahui tentang hukum. Dari sebagian ulama’ yang lain berkata
bahwa, “boleh melakukan sujud syahwi karena meninggalkan tasbih dalam ruku’ dan
sujud. Dari sebagian yang lain berpendapat “jika ia meninggalkan surat yang
dibaca setelah Al-Fatihah”. Dari sebagian yang lain juga menyebutkan “jika
meninggalkan apa yang disunnahkan untuk dilakukan dalam shalat”. Dalam fatwa
Rasululloh SAW dalam hadits yang menjelaskan tentang melakukan sujud syahwi dan
hukum melakukannya yakni sunnah, yang berbunyi :
كانت
الركعة والسجدتان نافلة.
“Satu raka’at
dan dua sujud adalah sunnah (tambahan)”.
Dan sujud syahwi menjadi ganti tentang sesuatu hal yang tidak wajib.
Sedangkan, hampir ada kemiripan antara sujud syahwi dengan sujud tilawah. Yang
membedakan kedua tersebut hanya terletak pada pelaksanaanya saja.Refrensi Utama : Kitab Kifayatul Akhyar
0 komentar:
Posting Komentar