PEMBAHASAN
فصل
في مبطلات الصلاة
“Hal-hal yang Membatalkan Shalat”
Berkata Syatkh Abu Syujak:
فصل : والذي تبطل به الصلاة أحد عشر شيئا :
الكلام العمد والعمل الكثير.
Fashl : yang
membatalkan shalat ada sebelas perkara: Pembicaraan yang disengaja, dan
pergerakan yang banyak.
Apabila seseorang musholli
berkata-kata dengan sengaja yang sesuai untuk di tujukan kepada anak adam,maka
batallah shalat nya, baik ia berkaitan dengan maslahat shalat atau
lainya,meskipun dengan suatu perkataan sekalipun,yaitu sebagaimana diriwayatkan
dari pada zaid bin arqam r.a, ia berkata: Pada suatu waktu, kami pernah
berkata-kata di dalam shalat,sehingga turun Firman Allah Ta’ala:
وقوموا لله
قانتين. {البقرة : 238}
“Dan tegaklah untuk memenuhi perintah
Allah”.
(Al-Baqoroh:238)
Karena itulah kami disuruh berdiam diri dan dilarang
berkata-kata di dalam sholat. Dan pernah Rasululloh SAW berkata kepada
Mu’awiyyah bin Al-Hakam As-Sulaimi, karena ia telah mendo’akan orang yang
bersin di dalam sholat, beliau bersabda :
إن هذه
الصلاة لايصلح فيها شيء من كلام الناس، إنما هو التسبيح والتكبير وقراءة القرآن.
{أخرجه مسلم}
“Sesungguhnya shalat ini tidak boleh dicampurkan sesuatu dari
bicara manusia, bahwasannya ynag diperbolehkan yaitu bertasbih, bertakbir, dan
membaca Al-Qur’an.” (HR.
Muslim).
Dan pengarang kitab berkata “lisannya berkata dengan
sengaja”, dikecualikan kalau karena terlupa. Dan dalam maksud ini juga, kalau
Mushalli masih tidak mengerti dalam pengharamannya dikarenakan masih baru
memeluk islam. Dan dalam pengertian itu juga barang siapa yang terlanjur
lisannya berkata tanpa maksud, maka tidak batal shalatnya. Demikian pula karena
tidak tertahan diri untuk tertawa, sesuai dengan sabda Nabi SAW:
رفع عن
أمتي الخطأ والنسيان ومااستكرهوا عليه.
“diangkat kalam dari ummatku (yakni
tidak dikira) kekhilafan, karena terlupa dan yang dipaksakan keatasnya”.
Apabila Mushalli dipaksa untuk berbicara, maka jelas
batallah shalatnya menurut qaul yang ashah, karena perkara-perkara yang serupa
dengan itu jarang berlaku. Adapun pergerakan yang banyak, seperti tiga kali
berturut –turut, dan begitu pula pukulan yang berturut-turut, semua hal ini
membatalkan shalat. Dalam hal ini tidak ada perbedaannya antara perbuatan yang
sengaja atau terlupa, sebagaimana yang dimutlakkan pengarang. Pokok menetapkan
hukumnya yang seperti ini adalah pergerakan yang banyak akan merusak peraturan
shalat dan menghapuskan kekhusukan, yang maksud itu merupakan maksud utama dari
shalat menurut ijma’ ulama’. Dan diperjelas dari perkataan pengarang, bahwasannya
pergerakan yang sedikit (tidak sampai melebihi tiga kali gerakan) tidak akan membatalkan
shalat.
Berkata Syaikh Abu Syujak :
والحدث.
Dan hal yang membatalkan shalat yang selanjutnya
yakni “Hadats”.
Jadi, ijma’ ulama’ telah sepakat dalam hal batalnya
shalat yakni seorang mushalli yang berhadats. Maksudnya, apabila mushalli
sholat dalam keadaan berhadats, maka sudah jelas shalatnya batal baik mushalli
sengaja maupun karena lupa, karena semua hal tersebut sama-sama berlaku sebelum
melakukan shalat, ataupun tidak, sesuai sabda Rasulullah SAW, yang diriwayatkan
oleh Aby Daud, dan yang telah dikatakan oleh At-Tirmidzi bahwa hadits ini Hasan
(baik) :
إذا فسا
أحدكم في صلاته فلينصرف فليتوضأ وليعد صلاته.
“Apabila salah satu dari kalian
terkentut di dalam keadaan shalat, maka hendaklah ia mengehentikan shalatnya
dan berwudhu’lah, dan kemudian ulangilah shalatnya itu”.
Kemudian Syaikh Abu Syujak melanjutkan tentang
pembahasan hal yang membatalkan shalat :
وحدوث
النجاسة وانكشاف العورة.
Yakni : “Dalam keadaan Najis dan terbukanya
aurat”.
Dari penjelasan di atas maksudnya menurut
Al-Bandaniji adalah jika seseorang sengaja menyentuh najis yang tidak dima’fu,
maka jelas batallah shalat tersebut, karena hal tersebut sama halnya dengan ia
menyengaja melakukan shalat dalam keadaan berhadats. Adapun najis yang dima’fu,
seperti halnya membunuh kutu pada waktu shalat dan lain sebagainya, maka hal
tersebut tidak membatalkan shalatnya, dikarenakan darah kutu itu dima’fu. Dan
jika sang mushalli kejatuhan najis ketika melakukan shalat, maka dilihat dulu.
Jika ia menyingkirkannya dengan serta-merta mengebaskannya, maka tidak
membatalkan shalatnya, dikarenakan sukarnya menjaga badan dari najis itu,
sedangkan ia tidak lalai. Hal ini berbeda dengan hadats sebab hadats masa
sucinya itu lama. Mengenai terbukanya aurat terdapat
dua masalah : Pertama, jika si
Mushalli menyengaja membuka aurat, dan kemudian menutupnya kembali aurat tersebut,
maka hal ini membatalkan shalatnya dikarenakan menutupi aurat termasuk syarat
syahnya shalat. Dan permasalahan ini sama halnya dengan mushalli yang melakukan
shalat dalam keadaan berdahats dan hal ini dilakukan dengan secara sengaja. Kedua, jika si Mushalli melakukan shalat,
tiba-tiba auratnya terbuka karena tiupan angin yang kencang ataupun kain yang
dipakainya atau pengikat pakaiannya terlucut, kemudian ia menutup aurat
tersebut seketika itu, maka shalatnya tidak batal dikarenakan tidak ada unsure
kenyegajaan dalam hal ini.
Kemudian Syaikh Abu Syujak berkata :
وتغيير
النية.
“Merubah Niat”
Dalam perubahan niat ini terdapat beberapa
pemasalahan diantaranya :
Pertama, jika si
Mushalli memutuskan niat, misalnya ia berniat keluar dari shalat, maka seketika
itu juga batallah shalat tersebut tanpa ada khilaf, dikarenakan syarat syahnya
shalat adalah berlangsungnya niat hingga selesai (salam). Dalam hal ini berbeda
dengan seseorang yang berniat keluar dari puasa, yang menurut qaul yang ashah
yakni tidak batal puasanya, dikarenakan puasa itu adalah menahan diri dari makan,
minum, dan sesuatu yang membatalkannya, oleh karena itulah niat keluar dari
puasa tidak berpengaruh (tidak membatalkan). Sedangkan, shalat adalah perbuatan
yang berbeda yang tidak bersambung
antara satu dengan yang lainnya, jikalau tidak dengan niat, maka jelas hilang
niatnya, hilang pula sambungannya. Kedua,
jika si Mushalli merubah niatnya dari niat fardhu ke niat fardhu lain, atau
fardhu ke niat sunnah, menurut qaul yang ashah yakni batallah shalat tersebut,
dikarenakan sebagian ulama’ telah memastikan kebatalannya. Ketiga, jika
si Mushalli berkehendak kuat untuk memutuskan shalatnya, misalnya pada raka’at
pertama ia mantap akan memutuskan shalatnya pada roka’at kedua, maka seketika
itu juga batallah shalatnya meskipun belum memasuki roka’at kedua, dikarenakan
ia telah memutuskan keterusan niat, yaitu syarat ketetapan berlangsungnya niat
hingga shalatnya. Keempat, jika si Mushalli ragu-ragu apakah ia
telah memutuskan niat, misalnya ia ragu-ragu apakah ia keluar dari shalat atau
meneruskannya, maka dari permasalahan ini jelas membatalkan shalat, dikarenakan
berlangsungnya niat yang diperlukan dengan keberlangsungannya telah hilang
dengan keragu-raguan tersebut.
Pendapat Imam Haramain bahwa dalam hal batalnya
shalat ini, aku tidak pernah mengetahui adanya khilaf. Selanjutnya, beliau
mengatakan bahwa datangnya keragu-raguan dalam hati tidak termasuk syak,
dikarenakan dalam pikrian terkadang datang keragu-raguan dan sesuatu yang
timbul daripadanya. Dan yang demikian itu tidak membatalkan shalat tersebut.
Kemudian Syaikh Abu Syujak melanjutkan :
واستدبار
القبلة.
“Membelakangi
Kiblat”
Jika si Mushalli melakukan shalat dengan cara
membelakangi kiblat, maka jelas batallah shalatnya, dikarenakan hal yang
disyaratkan telah hilang atau dikarenakan tidak adanya syarat tersebut.
Dan yang terakhir Syaikh Abu Syujak berkata :
والأكل
والشرب والقهقهة والردة.
“Makan, Minum,
Tertawa keras, dan Murtad (riddah)”.
Di antara hal-hal yang membatalkan shalat adalah
makan atau minum, dikarenakan makan atau minum itu dianggap berpaling dari
shalat. Yang dimaksud beribadah dengan gerakan badan itu adalah memperbaharui
iman dan mempersembahkan kata hati dengan ma’rifat serta kembali akan taat
kepada Alloh SWT. Makan atau minum itu bertentangan dengan maksud yakni
batalnya shalat disebabkan oleh makan atau minum jika si mushalli menyengaja
melakukannya. Tetapi jika ia terlupa atau tidak tahu hukum (keharaman) makan
atau minum ketika shalat disebabkan ia baru saja memeluk agama islam dan
sebagainya, maka tidak batallah shalatnya, sama saja halnya dengan puasa yang
kiranya sedikit tidak sengaja makan atau minum. Tetapi lebih benyak menurut
qaul yang ashah, batal shalatnya baik sengaja ataupun tidak sengaja.
Kemudian tertawa keras, jika mushalli menyengaja,
maka batallah shalatnya disebabkan tertawa keras itu termasuk meniadakan ibadah
atau shalatnya dianggap tidak sah apabila mengeluarkan dua buah huruf bersamaan
dengan tertawa tersebut. Jika tidak mengeluarkannya, maka tidak batallah shalat
tersebut, karena tertawa tersebut tidak dianggap sebagai perkataan atau
pembicaraan.
Sedangkan riddah, juga bisa menjadikan kufur seketika itu juga tanpa ada
khilaf, dan shalatnya pun juga batal. Yang dinamakan riddah disini adalah
memutuskan (keluar) dari agama islam, sama halnya dengan perbuatan seperti di
dalam shalatnya ia bersujud kepada berhala, kepada matahari, dengan ucapan
bahwa tuhan itu lebih dari satu, atau beri’tikad seperti berangan-angan di
dalam mengerjakan sholat bahwa alam ini adalah qadim kemudian mengi’tikadkan
keqadimkan sifat alam, dan lain sebagainya. Dengan demikian, hal tersebut
merusakkan niat dan jelas membatalkan shalatnya. Wallahu A’lam.Refrensi Utama : Kitab Kifayatul Akhyar
0 komentar:
Posting Komentar