PEMBAHASAN
فصل
في شروط قصر الصلاة
“Qashar Shalat”
Oleh : Syaiful Anwar
Syaikh Abu Syujak Berkata :
فصل :
ويجوز للمسافر قصر الصلاة الرباعية بأربعة شرائط : أن يكون سفره في غير معصية.
Fashl : “Orang yang bepergian (Musaffir) boleh
meringkas sholat yang empat roka’at menjadi dua roka’at dengan empat syarat
yakni bepergian itu bukan untuk melakukan kemaksiatan”
Syarat yang pertama yakni : bepergiaannya itu
bukan untuk kemaksiatan.
Tidak diragukan lagi bahwa pada umumnya bepergian
itu untuk menyelamatkan badan dari sesuatu yang ditakuti atau untuk mencapai
sesuatu yang dicari. Titik utama dari bepergian adalah tempat dugaan adanya
kepayahan, sedangkan kepayahan tersebut menarik kepada kemudahan , oleh karena
itu shalat yang empat roka’at dikurangi menjadi dua roka’at.
Kitab Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ para ulama’
menunjukkan tentang adanya kebolehan dalam qashar sholat pada waktu bepergian
yang jarak tempuhnya sangat jauh. Mengenai pembahasan kebolehan mengqashar
sholat yang diqadha’, terdapat khilaf dan insya’alloh akan dirinci pada
pembahasan berikut ini. Alloh SWT telah berfirman dalam QS. An-Nisa’ ayat 101,
yang berbunyi :
وإذا ضربتم
في الأرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصلاة إن خفتم أن يفتنكم الذين كفروا.
Artinya : “jika kamu sekalian bepergian di muka
bumi, maka tidak ada kesempitan bagimu sekalian untuk meringkas sebagian
shalat, bila kamu sekalian takut akan fitnah orang-orang kafir.” (QS.
An-Nisa’ : 101)
Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim
diriwayatkan dari Mas’ud RA, beliau berkata :
صليت مع
رسول الله صلعم ركعتين ركعتين، ومع أبي بكر ركعتين، ومع عمر ركعتين.
“Aku sholat bersama Rasululloh SAW dua
raka’at dan bersama Abu Bakar RA dua raka’at, serta bersama ‘Umar RA dua
raka’at.”
Dan Ibnu ‘Umar RA berkata :
سافرت مع
رسول الله صلعم وأبي بكر وعمر وكانوا يصلون الظهر والعصر ركعتين وكعتين.
“Aku bepergian bersama Rasululloh SAW,
Abu Bakar, dan ‘Umar, dan keiga-tiga mereka sholat dzuhur dan ashar dua raka’at
dua raka’at.”
Disyaratkan bepergiannya itu bermanfa’at bukan
bepergian karena untuk kemaksiatan, oleh karena itu, bepergiannya itu meliputi
yang wajib seperti pergi haji, pergi untuk membayar hutang, dan lain-lain. Yang
kedua meliputi sunnah, seperti haji tathawwuk, silaturahim, dan lain-lain.
Ketiga boleh (mubah) seperti berdagang dan tamasya. Dan keempat makruh yakni
seperti bepergian seorang diri tanpa ada tujuan (Raakibut ta’aasif). Beberapa
pendapat dari para ulama’ tentang bepergian yang diperbolehkan untuk melakukan
qoshor diantaranya :
a.
Syaikh Abu Muhammad berkata, “diantara
tujuan yang rusak (tujuan benar tetapi rusak karena hal lain atau tujuan lain)
seperti segolongan orang muslim yang bertujuan untuk observasi tentang
negaranya tetapi dia hanya melihat-melihat kota-kota atau negeri-negeri lain”.
b.
Imam Haramain mengatakan, “bepergian
itu tidak disyaratkan harus karena ketaatan”. Hal ini juga disepakati oleh
para ulama’.
c.
Dalam kitab At-Talkhis
diriwayatkan bahwa, “bepergiannya itu harus karena ketaatan”.
Mushannif menjelaskan juga tentang beberapa maksud
bepergian karena kemaksiatan, seperti bepergian untuk menyamun, memeras,
mendatangkan arak (ganja), orang-orang yang diperintah oleh orang dzalim untuk
mengambil uang sogok, perjalanan wanita yang tidak mendapatkan izin suaminya,
dan banyak contoh lain. Semua hal yang telah disebutkan di atas atau hal yang
sejenis dengannya, maka orang tersebut tidak mendapatkan atau tidak
diperbolehkan qashar, dikarenakan qashar itu adalah kemurahan dari Alloh. Jadi,
jelas segalah ruskhoh atau kemurahan itu tidak dapat dikaitkan dengan perbuatan
maksiat. Dan mushannif juga menjelaskan untuk sholat-sholat yang diperbolehkan
untuk diqoshor adalah sholat yang raka’atnya terdiri empat raka’at. Untuk
sholat maghrib dan shubuh itu tidak diperkenankan untuk diqoshor sesuai
pendapat para ulama’ seperti Imam Rafi’I dan Imam Nawawi dengan dalil ijma’nya.
Tetapi, ulama’ dari madzhab lain berpendapat, “Bahwasannya boleh meringkas
sholat shubuh menjadi satu raka’at, jika seseorang tersebut dalam keadaan
takut”, sebagaimana hal ini sesuai madzhab Ibnu Abbas RA. Wallahu a’lam.
Syarat yang kedua, Sayikh Abu Syujak berkata, :
وأن تكون
مسافته ستة عشر فرسخا.
“Jarak bepergiannya harus ada enam belas
farsakh (±80/90 KM)”.
Disyaratkan dalam diperbolehkannya melakukan qashar
shalat, harus jauh bepergiannya yakni enam belas farsakh. Sebagaimana, telah
disebutkan oleh mushannif enam belas farsakh itu sama dengan empat puluh
delapan mil Hasyimi, empat barid, jarak tempuh perjalanan dengan menggunakan
unta selama dua hari yang cukupan (perjalanan yang sederhana), atau sekitar
±80/90 KM. Perjalanan ini dihitung secara tahdidi (tepat), yaitu menurut qaul
yang rajah. Dan jika perjalanan dilautan itu sama halnya dengan jarak
perjalanan di daratan. Tetapi, jika seseorang berada di lautan, karena ditahan
oleh angin, Ad-Darimi berpendapat bahwa hal itu sama halnya dengan mukim di
sebuah kota tanpa berniat. Ketahuilah, bahwa jarak pulang dari bepergian itu
tidak diperhitungkan. Jadi, seandainya seseorang menuju kesuatu tempat tujuan
dengan jarak satu marhalah dengan niat tidak bermukim, maka tidak boleh
menqashar sholatnya (baik berangkat maupun kembalinya). Meskipun, dia payah
dengan perjalanan jarak tempuh dua marhalah (satu marhalah dan satu marhalah
kembali), dikarenakan hal tersebut tidak dinamakan perjalanan jauh.
Cabang Permasalahan
Orang yang berniat untuk menempuh perajalanan dalam
jarak yang jauh, kemudian ia berangkat dan berniat jika ia bertemu dengan
seseorang itu, ia akan pulang, dan jika ia tidak bertemu dengannya, ia akan
melanjutkan perjalanan. Menurut qaul yang ashah dengan mengambil keputusan
bahwa ia mendapat ruskhah utuk mendapatkan qashar, selama ia tidak bertemu
dengan orang yang dimaksudnya itu. Apabila ia bertemu dengan orang tersebut,
maka ia terkeluar dari bepergian dan tidak mendapatkan ruskhoh untuk mengqoshar
sholatnya dan statusnya sebagai orang yang mukim. Seandainya ia pergi dan
berniat ke suatu tempat tujuan, jika ia tiba di suatu kota yang berada di
tengah-tengah perjalanan, maka ia akan mukim empat hari atau lebih. Dan
jika antara temapt berangkat dan tempat tujuan kedua mencukupi jarak qashar,
maka ia boleh mengqashar sholatnya, dan jika jaraknya kurang dari apa yang
telah ditentukan untuk qashar, maka ia juga mendapatkan ruskhah untuk melakukan
qashar menurut qaul yang ashah. Wallahu a’lam.
Syaikh Abu Syujak mengatakan syarat selanjutnya
yakni :
وأن يكون
مؤديا للصلاة الرباعية، وأن ينوي القصر مع الإحرام.
“Hendaklah ia menunaikan jenis shalat
yang terdiri empat raka’at pada waktunya dan hendaklah berniat qashar bersamaan
dengan takbiratul ihram”.
Sesuai hujjah dan dalil-dalil adanya shalat qashar
harus secara ada’ (tunai). Adapun tentang shalat qadha’, jiaka shalat itu
tertinggalnya waktu di rumah (atau mukim) dan akan di qadha’ pada waktu
bepergian, maka wajib menyempurnakan shalatnya (4 raka’at), sebab shalat itu
telah terhenti dan menjadi tanggungan dalam keadaan empat raka’at. Menurut Ibnu
Mundzir, Imam Ahmad, dan para ulama’ sepakat bahwa adanya ijma’ untuk melakukan
kewajiban itmam (menyempurnakan shalatnya) itu. Sedangkan, Al-Muzani dan
Al-Mawardi mengatakan bahwa boleh untuk diqashar, sebab yang diperhitungkan
adalah waktu menjalankan qadha’ itu yakni menqadha’ dalam keadaan perjalanan.
Dan apabila dari mushalli itu ragu-ragu apakah ia niat qashar ataukah tidak
dalam melakukan shalat tersebut dan ia tidak mengetahui tentang masalah
keharamannya, maka ia wajib itmam. Sekalipun ia ingat bahwa ia telah berniat
untuk mengqashar, disebabkan adanya keragu-raguan itu yang menjadikan wajib
untuk melakukan itmam. Dapat disimpulkan, bahwa pada shalat qashar itu
diperlukan empat syarat : Pertama : Niat, sebagaimana yang telah
dijelaskan oleh mushannif. Kedua : ia harus bepergian semenjak
dari permulaan shalat hingga akhirnya. Jadi, seandainya ia niat untuk bermukim
di tengah-tengah shalat atau bahteranya, dan ketika ia telah tiba di tempat
mukim itu, maka ia harus itmam. Ketiga : Harus mengetahui tentang
diperbolehkannya untuk melakukan qashar. Jadi, apabila seseorang tidak
mengetahuinya, kemudian ia melakukan qashar, maka tidak sah shalatnya
disebabkan yang demikian itu berarti ia bermain-main. Dan perkara tersebut
telah dinash oleh Imam Syafi’I di dalam kitab Al- Umm. Sedangkan, Imam
Nawawi mengatakan bahwa perkara tersebut dilakukan, maka ia wajib mengulangi
shalatnya dengan empat raka’at. Keempat : orang yang akan
melakukan qashar tersebut tidak boleh bermakmum kepada orang yang mukim atau
orang yang melakukan shalat secara itmam, dan jika ia melakukannya maka
sholatnya batal qasharnya dan berkewajiban untuk itmam. Tetapi apabila ia
bermakmum kepada seseorang yang melakukan shalat qashar juga (baik sama niatnya
atau tidak), maka sholat qasharnya tetap sah.
Syaikh Abu Syujak berkata :
ويجوز
للمسافر أن يجمع بين الظهر والعصر وبين المغرب والعشاء في وقت أيهما شاء.
“Bagi Musafir boleh mengumpulkan
(menjama’) antara shalat dzuhur dan ashar, dan antara maghrib dan isya’ didalam
waktu keduanya yang ia kehendaki”.
Boleh mengumpulkan (menjama’) dzuhur dan ashar,
maghrib dan isya’ dengan jama’ taqdim (yakni menjama’ di waktu shalat yang
pertama, dan juga dengan jama’ takhir (yakni menjama’ di waktu shalat yang
kedua) pada waktu bepergian jauh. Dan untuk shalat shubuh tidak boleh
dikumpulkan dengan shalat yang lain, dan shalat ashar tidak boleh dikumpulkan
dengan shalat maghrib. Sesuia yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal RA,
beliau berkata :
خرجنا مع
رسول الله صلعم في غزوة تبوك فكان يجمع بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء، فأخر
الصلاة يوما، ثم خرج فصلى الظهر والعصر جميعا، ثم دخل ثم خرج فصلى المغرب والعشاء
جميعا.
“kami berangkat bersama Rasulullah SAW
dalam perang tabuk, kemudian Rasulullah SAWmengumpulkan shalat dzuhur dan
ashar, dan mengumpulkan shalat maghrib dan isya’. Kemudian kemudian suatu hari
Rasulullah SAW mengakhirkan shalat, lalu pergi. Kemudian beliau melakukan
shalat dzuhur dan ashar dengan dikumpulkan bersama. Kemudian beliau masuk (dikemah).
Kemudian beliau keluar, lalu shalat maghrib dan isya’ dengan dikumpulkan
bersama”.
Syarat-syarat jama’ taqdim ada tiga, diantaranya :
1.
Hendaklah memulai dengan shalat
yang pertama, maksudnya melakukan shalat dzuhur sebelum shalat ashar atau melakukan
shalat maghrib sebelum shalat isya’, disebabkan jama’ taqdim itu untuk shalat
yang pertama dan shalat yang kedua itu mengikuti shalat yang pertama. Jika
shalat yang kedua mendahului shalat yang pertama, maka jelas shalatnya tidak
sah dan hendaknya ia mengulanginya setelah shalat shalat yang pertama.
2.
Hendaklah niat jama’ ketika
takbiratul ihram shalat yang pertama atau ditengah-tengah shalat yang pertama,
menurut qaul yang adzhar, jadi tidak boleh berniat jama’ setelah salam shalat
yang pertama.
3.
Hendaklah bersamaan (beriringan)
antara shalat yang pertama dan shalat yang kedua, disebabkan shalat yang kedua
ini mengikuti shalat yang pertama. Dan untuk hal ini mengikuti cara yang datang
dari Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, shalat rawatib diantara dua shalat
tersebut boleh ditinggalkan dulu.
Jadi, seandainya terdapat
perpisahan dengan jarak waqktu yang lama, maka hukumnya tidak boleh lagi
mengumpulkan shalat yang kedua dengan shalat yang pertama itu dan wajib
mengakhirkan shalat yang kedua itu pada waktunya, baik lamanya perpisahan itu
disebabkan oleh adanya unsure seperti lupa, pingsan, atau yang lainnya.
Sebagian besar madzhab syafi’I
membolehkan mengumpulkan dua shalat dengan tayammum. Dalam keadaan yang
demikian itu ada perpisahan antara dua shalat itu seumpama mencari-cari untuk
mendapatkan air, tetapi disyaratkan perpisahan itu harus sebentar saja. Menurut
qaul yang shahih, ukuran perpisahan itu harus dikembalikan kepada adat
(kebiasaan).
Adapun untuk jama’ ta’khir tidak
disyaratkan adanya tertib antara dua shalat tersebut dan tidak disyaratkan
berniat jama’ ketika shalat, menurut qaul yang shahih, dan tidak disyaratkan
pula beriringan. Memang benar, tetapi disyaratkan hendaklah berniat jama’ di
dalam waktu shalat yang pertama penta’khiran sebagai pembeda antara
penta’khiran karena lalai dan penta’khiran karena jama’, dan hendaknya waktu
itu tidak sunyi dari perbuatan atau azam. Apabila seseorang itu tidak berniat
ta’khir atau jama’, maka ia telah berdosa dan jadilah shalat yang pertama
sebagai qadhak. Wallahua’alam.
Syaikh Abu Syujak berkata :
ويجوز
للحاضر في المطر أن يجمع بينهما في وقت الأولى منهما.
“Orang yang ada di rumah (bukan
musafir) pada waktu hujan boleh menjama’ (mengumpulkan ) dua shalat di dalam
waktu shalat yang pertama”.
Bagi orang yang mukim
diperkenankan mengumpulkan (menjama’) dua shalat dikarenakan hujan diwaktu
shalat yang pertama, dzuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya’, menurut qaul
yang shahih. Dengan syarat harus shalatnya di suatu tempat yang apabila ia
berjalan menuju tempat itu akan kehujanan dan membasah kuyupkan pakaiannya. Imam
Rafi’I dan Imam Nawawi mensyaratkan walaupun hujan itu hanya sedikit (gerimis).
Al-Qadhi Husain dan Al-Mutawalli mensyaratkan membasahi alas kakinya
sebagaimana membasahi pakaiannya. Untuk diperbolehkannya jama’ karena hujan itu
telah dijadikan hujjah oleh para ulama’ dengan hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibnu Abbas RA :
أن
النبي صلعم صلى بالمدينة ثمانيا جميعا وسبعا جميعا الظهر والعصر والمغرب والعشاء.
“Bahwasannya Rasulullah SAW
shalat di Madinah delapat raka’at dengan jama’ dan shalat tujuh raka’at dengan
jama’, yakni dzuhur dengan ashar serta maghrib dengan isya”.
Dari hadits di atas Imam Muslim
meriwayatkan haditsnya dengan menambahi lafadz yang berate “tanpa ada kekhawatiran
dan tidak bepergian”. Disamping diperbolehkannya menjama’ antara dzuhur
dengan ashar, maka boleh juga menjama’ antara shalat jum’at dengan ashar. Jadi,
diperbolehkannya menjama’ disebabkan karena hujan dan disyaratkan kenyataan
adanya hujan pada permulaan shalat yang pertama dan permulaan shalat yang
kedua. Dan juga disyaratkan oleh qaul yang shahih yang dipastikan oleh
ulama’-ulama’ Iraq yakni adanya hujan ketika salam dari shalat yang pertama.
Dimana, penjelasan di atas din ash oleh Imam Syafi’I dan menjadi suatu
kepastian oleh ulama’ yang bermadzhab Syafi’i. Mushannif dan menurut qaul yang
adzar mengambil pengertian bahwasannya tidak diperkenankan mengumpulkan dua
shalat tersebut pada waktu shalat yang kedua dikarenakan adanya hujan. Qaul
lain mengatakan boleh menjama’ pada waktu shalat yang kedua, disebabkan qaul
ini kias dari penjelasan jama’ dalam keadaan bepergian. Para ulama’ menukil
dari pendapat qaul yang memperbolehkan menjama’ shalat pada waktu shalat
yang kedua karena kias pada jama’ dalam keadaan bepergian yakni bepergian
itu adalah suatu perkara yang berlangsung atau tidaknya itu tergantung oleh
sang musafir, maksudnya musafir itu yang menentukan antara meneruskan
perjalanannya atau tidak. Berbeda dengan menjama’ disebabkan karena adanya
hujan, karena hujan itu tidak bisa ditentukan secara pasti oleh seseorang
dikarenakan berlangsung atau tidaknya hujan itu telah ditentukan oleh sang
penguasa dunia yakni Alloh SWT. Wallahu’alam.
Cabang Permasalahan
Yang telah termasyhur di dalam
madzhab Syafi’i bahwasannya tidak boleh mengumpulkan dua shalat Karena sakit
atau jalan berlumpur atau juga karena takut. Imam Haramain dan At-Tirmidzi
menyatakan ada sepakat ulama’ akan terlarangnya jama’ dikarenakan sakit.
Sedangkan, Al-Qadhi Husain, Al-Mutawalli, Ar-Ruyani, Al-Khatthabi, Imam Ahmad,
dan orang-orang yang mengikuti (taqlid) Imam Ahmad (yang termasuk kalangan yang
sama atau semadzhab dengan Imam Haramain dan At-Tirmidzi) dimana, mereka semua
menentang pendapat dari Imam Haramain dan At-Tirmidzi tentang jama’ yang tidak
boleh dilakukan dikarenakan sakit dengan suatu keputusan yang mereka kemukakan
yakni boleh melakukan jama’ dikarenakan sakit. Dari Imam Nawawi berpendapat
tentang diperbolehkannya melakukan jama’ dikarenakan sakit dengan suatu landasan
hadits shahih Muslim, yang berbunyi :
جمع
بالمدينة من غير خوف ولامطر.
“Rasulullah SAW melakukan jama’
di Madinah tanpa ada ketakutan dan tanpa hujan”.
Yang menjadi saksi akan
diperbolehkannya jama’ dalam keadaan sakit adalah perkataan Ibnu Abbas RA. Hal
itu disebutkan oleh Ibnu Abbas RA ketika beliau menyebutkan dalam hadits
riwayatnya yang berbunyi :
جمع
بالمدينة بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء من غير خوف ولامطر.
“Rasulullah SAW menjalankan jama’
di Madinah antara shalat dzuhur dengan ashar dan maghrib dengan isya’ tanpa ada
ketakutan dan tanpa adanya hujan”.
Kemudian Sa’id bin Jubair
bertanya : Mengapa beliau menyatakan seperti itu?, Ibnu Abbas pun
menjawab : agar Rasulullah SAW tidak membikin sempit umatnya. Jadi, Ibnu
Abbas RA tidak menta’lili jama’ yang dilakukan oleh Rasululloh itu dengan
keadaan sakit atau dengan keadaan yang lainnya.
Beberapa Niat
dari Qashar, Jama’ dan Jama’ Qashar :
a.
Niat sholat
Qoshor (Dzuhur, Ashar, dan Isya’) :
أُصَلِّيْ فَرْضَ (الظُّهْرِ اوالعَصْرِ
اوالعِشَاءِ) رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا فَرْضًا لله تعالى.
b.
Niat sholat
jama’ :
1.
Jama’ Taqdim
Dzuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya’
أصلي فرض
(الظهر اوالعصر اوالمغرب اوالعشاء) أربع ركعات (اوثلاث ركعات) مَجْمُوْعًا بـ(الظهر
اوالعصر اوالمغرب اوالعشاء) جَمْعَ تَقْدِيْمٍ فرضا لله تعالى.
atau
أصلي فرض
(الظهر اوالعصر اوالمغرب اوالعشاء) أربع ركعات (اوثلاث ركعات) مجموعا مع(الظهر
اوالعصر اوالمغرب اوالعشاء) جمع تقديم فرضا لله تعالى.
2.
Jama’ Ta’khir
Dzuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya’
أصلي فرض
(الظهر اوالعصر اوالمغرب اوالعشاء) أربع ركعات (اوثلاث ركعات) مجموعا بـ(الظهر
اوالعصر اوالمغرب اوالعشاء) جمع تَأْخِيْرٍ فرضا لله تعالى.
atau
أصلي فرض
(الظهر اوالعصر اوالمغرب اوالعشاء) أربع ركعات (اوثلاث ركعات) مجموعا مع(الظهر
اوالعصر اوالمغرب اوالعشاء) جمع تأخير فرضا لله تعالى.
c.
Niat sholat
jama’ qoshor :
1.
Jama’ Taqdim
Qoshor Dzuhur dengan Ashar
أصلي فرض (الظهر اوالعصر) ركعتين مجموعا
بـ(الظهر اوالعصر) جمع تقديم قصرا فرضا لله تعالى.
atau
أصلي فرض (الظهر اوالعصر) ركعتين مجموعا مع(الظهر
اوالعصر) جمع تقديم قصرا فرضا لله تعالى.
2.
Jama’ Ta’khir
Qoshor Dzuhur dengan Ashar
أصلي فرض (الظهر اوالعصر) ركعتين مجموعا
بـ(الظهر اوالعصر) جمع تأخير قصرا فرضا لله تعالى.
atau
أصلي فرض (الظهر اوالعصر) ركعتين مجموعا مع(الظهر
اوالعصر) جمع تأخير قصرا فرضا لله تعالى
Refrensi Utama : Kitab Kifayatul Akhyar
0 komentar:
Posting Komentar