PEMBAHASAN
فصل
وركعات الصلوات
“Raka’at-raka’at Shalat”
Oleh : Non Muchlas
Berkata syekh abu sujak :
فصل :
وركعات الصلوات المفروضة سبع عشرة ركعة.
“rakaat shalat yang difardhukan adalah
tujuh belas raka’at”
Yang dikatakan oleh pengarang itu adalah apabila
shalatnya dilakukan dalam negeri dan bukan pada hari jumat. Jika hari jumat
berkurang dua rakaat, dan apabila shalat itu diqashar , berkurang empat rakaat
atau enam rakaat.perkataan pengarang “tujuh belas rakaat,” dan seterusnya itu
dapat diketahui kebenarannyadengan memikirkannya, dan tidak menimbulkan apa-apa
faedah.wallahu-a’lam.
Berkata syekh abu sujak:
ومن عجز عن
القيام في الفريضة صلى جالسا، فإن عجز عن الجلوس صلى مضطجعا.
"barang siapa yang lemah dalam
berdiri diwaktu shalat fardhu, boleh shalat dengan duduk, jika lemah dari duduk
dapat shalat dengan tidur miring".
Jika seseorang yang lemah dari berdiri dalam shalat
fardhu, ia dapat shalat dengan duduk, dan tidak mengurangi pahalanya, sebab
orang itu mendapat uzdur. Nabi muhammad bersabda:
صل قائما،
فإن لم تستطع فقاعدا، فإن لم تستطع فعلى جَنْبٍ.
“shalatlah kamu dengan berdiri, apabila
tidak mampu, shalatlah dengan duduk, apabila kamu tidak mampu, shalatlah atas
lambungmu”
(riwayat bukhori)
An-nasa’i menambahkan pula :
فإن لم
تستطع فمستلقيا، لايكلف الله نفسا إلا وسعها.
“Apabila kamu tidak berkuasa, shalatlah
dengan terlentang. Allah tidak membebankan kepada diri seseorangselain apa yang
ia kuasai.”
Dan masalah ini telah dinukil adanya ijma’ ulama’
padanya. Ketahuilah, bahwa yang dimaksud dengan lemah disini bukanlah ketiadaan
kemungkinan untuk berdiri,duduk atau terlentang tetapi yang dimaksud adalah
kekhawatiran mati atau bertambah sakit mendapatkan kepayahan yang sangat atau
tenggelam dan mabuk kepayang (kepala berputar-putar) bagi orang yang naik
bahtera. Imam haromain berkata: batasan lemah adalah datangnya kepayahan yang
dapat menghilangkan khusuk. Demikianlah yang dinukil oleh imam nawawi dari imam
haromain dalam kitab Arraudhah dan menyatakan syahnya, tetapi dalam syarah al
muhaddab imam nawawi mengatakan bahwa menurut madhab yang kuat, menyelisihi
pendapat imam haromain. Imam
syafi’i berkata: yang dinamakan lemah adalah tidak mampu shalat berdiri,
kecuali kepayahan yang tidak tertanggung oleh diri. Ibnu Rif’ah berkata : yang
dimaksud kepayahan adalah yang sangat berat.
Ketahuilah bahwa
rukun duduk itu tidak dinyatakan bentuknya jadi bagaimanapun dilakukan cara
duduk itu boleh adapun yang lebih utama ada dua qoul: yang ashah adalah duduk
dengan iftirosy(duduk bertumpu pada kaki), sebab itu lebih mudah untuk
berdiri,selain itu duduk dengan obersila adalah semacam enak-enakan.qoul yang
kedua duduk dengan bersila adalah lebih utama,agar dapat dibedaklan antara
duduk yang menjadi ganti dan duduk yang asal. Jika seseorang tidak mampu dengan
duduk, maka boleh shalat dengan tidur
miring dan tidurnya tersebut hendaklah pada lambung sebelah kanan, menurut
madzhab yang dinash oleh imam syafi’i orang yang shhalat dengan tidur miring
hendaklah menghadap kiblat. Jika seseorang tidak mampu shalat dengan tidur, ia
boleh shalat dengan terlentang rukuk dan sujudnya dengan isyarat mengangguk
menghadap kiblat jika tidak mampu rukuk dan sujud, biarlah sujudnya lebih
rendah dari rukuknya. Jika tidak mampu dari semua yang telah disebutkan itu,
maka memberi isyarat dengan kedipan mata sebab itu atas batas kemampuannya jika
tidak mampu dari memberi isyarat dengan kedipan mata, maka ia menjalankan
shalat dengan hatinya. Kemudian jika keadaan tidak mampu itu ia dapat membaca
takbir, membaca Al-Fatihah, tasyahud dan salam maka ia harus membacanya, jika
tidak dapat membaca maka apa-apa yang wajib dibacanya itu tidak mengurangi
pahalanya.dan ia tidak boleh meninggalkan shalat selama akalnya masih sehat,dan
orang yang menjalankan shlalat dengan yang demikian itu tidak wajib mengulangi
shalatnya.
Imam Ghazali berhujjah terhadap ketidak bolehan
meninggalkan shalat selama masih ‘aqil dengan sabda Rasululloh SAW :
إذا أمرتكم
بأمر فأتوا منه مااستطعتم.
“Jika aku memerintahkan kamu sekalian
dengan suatu perintah, kerjakanlah olehmu sekalian, selama kamu sekalian mampu
melaksanakannya.”
Dari dalil ini ditentang oleh Imam Rafi’I, bagi kami
ada suatu pandangan bahwa orang yang ‘aqil (seperti orang yang habis disalaib,
dll), ia boleh tinggalkan sholat, tetapi wajib menqadha’nya.
Cabang Permasalahan :
Jika seseorang mungkin menjalankan shalat dengan
berdiri, seandainya ia shalat sendirian, dan jika ia shalat berjama’ah ia duduk
dalam sebagian sholatnya. Imam Syafi’I telah menashkan bahwa ia boleh
menjalankan salah satu dari keduanya, dan yang pertama adalah yang lebih utama,
sebab hal itu untuk menjaga rukun shalat. Yang demikian itu dijalankan oleh Al-Qadhi
Husain dan murid-muridnya, yakni Al-Baghawi dan Al-Mutawalli, dan pendapat
inilah yang ashah.
Al-Qadhi Husain, Al-Baghawi, dan Al-Mutawalli berkata “seandainya
orang itu berdiri dengan membaca Al-Fatihah saja, dan seandainya ia tidak mampu
meneruskan berdiri ketika ingin membaca surat, maka lebih utama baginya adalah
berdiri dengan membaca Al-Fatihah saja, tidak usah membaca surat. Syaikh
Abu Hamid berkata : Shalat jama’ah walaupun dengan duduk itu lebih utama.
Refrensi Utama : Kitab Kifayatul Akhyar
Refrensi Utama : Kitab Kifayatul Akhyar
0 komentar:
Posting Komentar